SUARA SETARA: Perempuan sebagai Pecinta Alam di Tengah Pembangunan yang Maskulin
Pembangunan yang selama ini bersifat maskulin cenderung merusak alam. Kondisi ini memperlihatkan betapa pentingnya cara mencintai alam secara feminim.
Nida Nurhamidah
Gender Research Student Center.
14 Juni 2022
BandungBergerak.id - Perempuan sering kali dianggap tidak dapat masuk organisasi pecinta alam, dibenturkan dengan stereotip bahwa perempuan tak cukup tangguh untuk menaklukan alam. Perempuan yang masuk organisasi pecinta alam pun dianggap terlalu ‘laki’. Namun, apakah benar untuk menjadi pecinta alam, perempuan harus benar benar seperti laki-laki? Atau apakah benar definisi pecinta alam adalah seseorang yang mampu menaklukan beragam gunung?
Sebelumnya mari kita soroti, bagaimana perempuan ini dipandang? Perempuan sering kali diidentikan sebagai dapur, sumur, dan kasur. Dapur menganggap perempuan adalah seseorang yang memiliki tugas utama untuk mengolah dan menyajikan makanan. Lalu, sumur ketika perempuan memiliki kewajiban dalam membersihkan rumah, mengepel, menyuci, dan lain sebagainya. Lalu, untuk kasur, perempuan dianggap hanya sebatas melayani dan merawat suami juga anak anaknya. Peran perempuan yang diidentikan dengan tiga hal itu membuat ia terbatasi secara tindakannya, ketika menemui hal-hal yang menantang dan membahayakan dirinya.
Perempuan dan ranah domestik membuat ia sangat lekat dengan bagaimana kondisi alam, ketika harga pangan naik, secara tidak langsung perempuan akan memikirkan bagaimana caranya menghidangkan makanannya. Ketika terjadinya kekeringan, perempuan akan memikirkan bagaimana dirinya dapat mencuci. Perempuan terkukung dengan fungsi kasurnya untuk selalu diam di rumah.
Dapur, sumur, dan kasur dapat menjadi representasi bagaimana peran perempuan dalam fungsi produktif dan reproduktifnya. Sama dengan alam, alam yang memiliki fungsi produktif untuk menghasilkan buah yang nantinya buat dimakan, alam pun dapat menghasilkan tanaman tanaman lain yang dapat menghasilkan buah-buah. Kedua fungsi tersebut mengakibatkan perempuan dan alam sering kali dianggap objek dan dapat terus dikeruk keuntungannya.
Menurut pandangan ekofeminisme yang menjadi penggabungan isu lingkungan dan perempuan, lingkungan dan perempuan sama sama terdegradasi oleh sumber yang sama, yakni patriarki. Perjuangan pun dilakukan demi keadilan dan kesetaraan sosial-ekolologis. Begitu pula perusakan-perusakan yang terjadi pada alam, identik pada sifat-sifat maskulin yang dimiliki manusia. Sifat maskulin dapat menghantarkan bumi pada kehancuran yang lebih cepat.
Pembangunan, merupakan hal yang bersifat maskulin. Sifatnya yang mendukung segala prinsip kekerasan, dominasi, dan rasionalitas yang mengenyampingkan perasaan. Pembangunan pasti berdampak besar pada kondisi kerusakan ekologis yang terjadi saat ini. Berdasarkan data Global Footprint Network tahun 2020, Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42 persen. Hal ini membuktikkan bahwa kerusakan alam masih sangat masif di Indonesia.
Kondisi saat ini memperlihatkan bagaimana cara mencintai alam dengan unsur feminimitas sangat penting. Prinsip yang mengedepankan kedamaian, keselamatan, kasih, dan kebersamaan. Lalu, apakah perempuan dapat melawan dan mencegah kerusakan yang terjadi pada alam?
Baca Juga: SUARA SETARA: Mendefinisikan Ulang Konsep Perempuan Cantik
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
SUARA SETARA: Feminisme dan Hak Pendidikan di Indonesia
Perempuan Dapat Menjadi Pecinta Alam
Terdapat banyak bukti yang menjadikan bahwa perempuan pun dapat menjadi pecinta alam, contohnya adalah gerakan Chipko di India. Saat itu penduduk India menggantungkan hidup pada hutan yang memenuhi segala kebutuhan masyarakatnya, namun semenjak tahun 1821 kendali pengelolaan hutan mulai beralih kepada pemerintah. Banyak perlawanan yang dilakukan untuk menyikapi hal tersebut. Protes berlanjut untuk menyikapi setiap kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan lokal. Tahun 1974, pemerintah mengumumkan pelelangan 2.500 pohon di dekat desa Reni di Uttarakhand, Penduduk desa berkumpul untuk memprotes tindakan pemerintah dengan memeluk pohon. Gerakan tersebut dipimpin oleh Gaura Devi.
Di Indonesia pun banyak yang menjadi contoh bagaimana perlawanan-perlawanan perempuan untuk menjaga alam. Wadon Wadas, para perempuan wadas yang melawan pembangunan tetap melawan ketika hutan-hutan sumber pemenuhan segala kebutuhannya malah akan dijadikan lokasi pertambangan batu andesit. Wadon wadas merupakan barisan terdepan dalam menghadang ratusan polisi yang masuk ke Wadas. Wadon Wadas pun gigih dan selalu berjaga ketika ancaman-ancaman mulai masuk ke Wadas.
Selain itu, para Srikadi Kendeng yang melawan pembangunan pabrik semen yang berakibat pada hilangnya 109 mata air, 49 gua yang rusak, hilangnya 4 sungai bawah tanah, juga 58.368 hektar lahan pertanian yang terancam kekurangan air. Beragam aksi pun dilakukan, seperti sembilan petani menyemen kakinya dalam kotak kayu dihadapan Istana Merdeka.
Ada banyak lagi yang menjadi contoh bagaimana perlawanan para perempuan untuk menjaga alam sebagai bukti cintanya. Tentunya, diperlukan keberanian yang sangat besar untuk melakukan hal-hal tersebut. Perempuan dapat menjadi pecinta alam dengan segala tekad dan kelembutan yang dimiliki. Perempuan yang masuk organisasi pecinta alam juga merupakan realisasi atas diri perempuan untuk menjadi dirinya, terlepas dari stereotip yang dilayangkan bahwa perempuan tidak cukup mampu membuktikan bahwa dirinya adalah seseorang yang tangguh. Perempuan dapat menjadi manusia, tanpa perlu berhenti menjadi perempuan.
*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung