• Kolom
  • SUARA SETARA: Feminisme dan Hak Pendidikan di Indonesia

SUARA SETARA: Feminisme dan Hak Pendidikan di Indonesia

Feminisme dan hak pendidikan erat saling terkait. Kondisi objektif di Indonesia masih banyak yang harus dibenahi.

Anggi Meilani

Mahasiswi S1 FIP UPI. Mendalami isu disabilitas, gender, kesehatan mental. Bergiat di Great UPI, bisa dihubungi di [email protected].

Siswi SMA berkumpul sambil makan-makan di Taman Lansia, Bandung, sepulang sekolah, Selasa (31/5/2022). Para pelajar bisa kembali bertemu tahun ini setelah sekolah bisa menggelar 100 persen belajar tatap muka karena kasus pandemi telah menurun. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Juni 2022


BandungBergerak.idBila kita berbicara soal feminisme dan hak pendidikan, sangat banyak kaitannya. Feminisme sebagai gerakan sosial mempunyai tujuan kesetaraan gender. Gender menjadi alat analisis yang penting untuk melihat posisi dalam struktur sosial di masyarakat. Sedangkan pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara. Di Indonesia, payung hukum yang menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1-5.

Hal tersebut sebetulnya berkaitan juga dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam pasal 60 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 dan masih banyak lagi landasan hukum yang mengatur soal pendidikan dan HAM dengan banyak turunannya. Tapi bila dilihat dari kondisi objektif dan dikaitkan dengan landasan tersebut, apakah pendidikan di Indonesia sudah dikatakan memadai?

Kita bicara soal data dan fakta, IKG atau Indeks Ketimpangan Gender berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Indonesia mendapat poin 0,48 dan Singapura mendapat poin 0,065 se-ASEAN. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia menduduki poin tertinggi, lalu disambung dengan peringkat ketimpangan gender secara internasional Indonesia di tahun 2019 menduduki peringkat ke-121 dari 167 negara, sangat rendah dan tertinggal bukan? Artinya, belum secara keseluruhan indikator ketimpangan gender di Indonesia teratasi. 

IKG ini berkaitan dengan IPG (Indeks Pemberdayaan Gender & Indeks Pembangunan Gender), juga dengan IPM atau Indeks Pembangunan Manusia. Beberapa aspek yang menjadi indikator IKG meliputi kesehatan reproduksi dan fertilitas remaja yang ditandai dengan rendahnya Maternal Mortality Rate (MMR) dan Adolescence Birth Rate (ABR). Selain itu, kesetaraan capaian pendidikan, kesempatan kerja, dan keterlibatan perempuan di parlemen juga sudah sangat baik.

Sedangkan aspek untuk indikator IPM dibentuk dari 3 dimensi dasar yaitu, 1) umur panjang dan hidup sehat, 2) pengetahuan, 3) standar hidup layak. Lagi-lagi dalam IKG dan IPM terdapat irisan mengenai pendidikan, yaitu capaian pendidikan dan pengetahuan. Pengetahuan ini bisa didapat dengan salah satunya apabila hak mendapat mendidikan yang sama tercapai, hal tersebut berkaitan dengan indikator IPM yang mulanya Angka Melek Huruf pada metode lama diganti dengan Angka Harapan Lama Sekolah.

Angka Harapan Lama Sekolah tersebut diukur berdasarkan pembagian wilayah di Indonesia. Padahal sudah banyak tokoh Indonesia yang memperjuangkan pendidikan, sebut saja Ki Hajar Dewantara, R.A Kartini, dr. Tjipto Mangunkusumo & dr. Sutomo. Tapi, berdasarkan data yang dipublikasi oleh World Population Review, pada tahun 2021 lalu Indonesia masih berada di peringkat ke-54 dari total 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan tingkat pendidikan dunia.

Baca Juga: SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
SUARA SETARA: Mendefinisikan Ulang Konsep Perempuan Cantik
SUARA SETARA: Penindasan Ganda Buruh Perempuan

Masalah yang Perlu Dibenahi

Lalu apa yang menjadi masalah atau problematika pendidikan yang berkaitan dengan gender atau gerakan feminisme?

1. Kekerasan, berbentuk fisik atau verbal;

2. Stereotipe, pemberian label atau cap yang dikenakan pada seseorang sehingga menimbulkan anggapan yang salah yang merugikan;

3. Marginalisasi, peminggiran peran ekonomi bahwa perempuan adalah pencari nafkah tambahan serta peran politik perempuan dengan asumsi bahwa perempuan tidak bisa jadi pemimpin;

4. Subordinasi, melihat salah satu peran lebih rendah;

5. Diskriminasi, membeda-bedakan secara tidak adil.

Hal-hal tersebut terjadi karena salah satunya ada sistem patriarki (laki-laki pemegang kekuasaan) yang masih langgeng, sehingga muncullah gerakan feminisme yang bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan dan salah satunya dalam hal pendidikan. Bila dikaitkan dengan SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) nomor 4 (Quality of Education) dan nomor 5 (Gender Equality), seharusnya hal tersebut bisa menjadi salah satu tolok ukur untuk perbaikan Indeks Ketimpangan Gender, Indeks Pembangunan Manusia, dan kualitas pendidikan di Indonesia.

Beberapa hal yang perlu dibenahi adalah: kualitas pengajar/kompetensi guru, guru honorer dan apresiasinya, sistem pembelajaran/kurikulum yang kaku (kaku di sini seperti paham-paham lama yang membatasi kreativitas siswa, seperti nilai menjadi patokan, jurusan ini lebih menjamin, jurusan ini kurang memiliki prospek dsb).

Hal tersebut perlu dibenahi secara holistik dari berbagai elemen, pemerintah, pemangku kebijakan, orang tua/wali dan lain sebagainya yang terlibat dalam perjuangan feminisme dan hak pendidikan.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//