• Kolom
  • SUARA SETARA: Relasi Kuasa pada Kasus Kekerasan Dalam Pacaran

SUARA SETARA: Relasi Kuasa pada Kasus Kekerasan Dalam Pacaran

Menunda pacaran tidak menumbuhkan kesetaraaan dalam menjalani relasi. Bahkan berpotensi mereproduksi nilai patriarki dalam keluarga.

Sheila Rotsati Jasmine

Belajar dan bergiat di Gender Research Student Center, diskusi lebih lanjut hubungi @sheilartsti_

Gedung UPTD PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Jawa Barat di JalanL. L. R.E. Martadinata, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung, Senin (1/8/2022). Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan kerap kali naik setiap tahunnya, termasuk kekerasan dalam pacaran. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

12 Oktober 2022


BandungBergerak.id“Aku ga tau harus gimana, aku tau dia kasar tapi dia juga baik. Mungkin memang aku yang salah, kalau aja aku ga memicu amarahnya, dia ga bakal kasar sama aku,” ucapnya sambil berkaca-kaca.

Entah ini pukulan keberapa yang dia terima, entah berapa kali juga dia menyalahkan dirinya atas pukulan-pukulan itu. Bukan cuman pukulan, setiap ledakan emosi, kata-kata kasar, semua paksaan. Jelas-jelas dia yang terluka, tapi dia menyalahkan dirinya “kalau saja aku lebih nurut”, “kalau aja aku ga cari masalah”, “kalau saja aku lebih sabar”.

Mungkin kamu pernah mendengar cerita serupa dari temanmu, respons yang mucul biasanya kekesalan karena kamu tidak terima temanmu mendapat perlakuan semacam itu. Kamu buru-buru menyuruhnya putus dari pacarnya, meyakinkan bahwa kekerasan pasti berulang. Tapi sayangnya, temanmu tak kunjung putus, dia percaya kalau suatu hari pacarnya akan berubah.

Ilustrasi yang baru saja kamu baca, cerita temanmu tentang pacarnya yang kasar disebut sebagai Kekerasan Dalam Pacaran (KDP).

Kekerasan dalam relasi selalu rumit dan umumnya berlapis. Seorang penyintas kekerasan dalam pacaran mendapatkan kekerasan dalam bentuk fisik, emosional, psikologis, dan seksual. Tidak selalu 4 bentuk kekerasan tersebut muncul, umumnya penyintas mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan.

Di Indonesia, angka Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) masih terbilang tinggi. Survei INFID dikutip dari Katadata.co.id (3/2/21) menunjukkan 40,6 persen responden mengaku menjadi korban kekerasan seksual oleh pacar. Data lain dari Komnas Perempuan mencatat  sepanjang 2021 terdapat 1.685 kasus KDP.

Konstruk Gender di Balik Kekerasan Dalam Pacaran

KDP merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender, sehingga analisis faktor penyebabnya tidak dapat dilepaskan dari analisis gender.

Kita masih hidup dalam masyarakat patriarkal yang masih mempercayai pembagian peran gender sebagai tuntutan yang harus dipenuhi. Dalam masyarakat kita, laki-laki dilekatkan dengan sifat-sifat maskulin. Laki-laki dituntut untuk berani, mandiri, tegas, memimpin serta diasosiasikan dengan sifat-sifat agresif. Sebaliknya, perempuan dilekatkan dengan sifat feminin. Perempuan dituntut untuk lemah lembut, penyabar, merawat, penurut, pasif.

Sifat-sifat maskulinitas dianggap sebagai sifat yang unggul, sedangkan feminitas dianggap sebagai kurangnya sifat maskulinitas. Persepsi ini menimbulkan relasi gender yang tidak setara. Laki-laki dan maskulinitas dianggap lebih tinggi kedudukan, kuasanya dibanding perempuan dan feminitas. Ketimpangan kuasa ini memunculkan dominansi yang dapat mengarah pada kekerasan.

Studi menunjukkan persepesi mengenai peran gender berkorelasi dengan pengalaman kekerasan dalam pacaran. Individu yang memiliki pandangan tradisional mengenai gender cenderung menoleransi kekerasan dalam hubungan. Perempuan yang mengamini konstruk gender cenderung lebih rentan mengalami kekerasan dalam pacaran. Begitupun laki-laki yang mengamini konstruk gender lebih berisiko melakukan kekerasan dalam pacaran.

Baca Juga: SUARA SETARA: Merekayasa Budaya di Masyarakat dengan Sosiologi Keluarga dan Gender
SUARA SETARA: Makna Inklusif untuk Siapa? Bagaimana dengan Ragam Keagamaan?
SUARA SETARA: Mencari Pendidikan yang Mengabdi pada Rakyat

Upaya Mencegah KDP

Simplifikasi terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran kerap muncul, anggapan bahwa cara memutus rantai kekerasan dalam pacaran adalah dengan mengampanyekan gerakan antipacaran atau gerakan menikah muda. Pandangan ini menganggap bahwa akar masalah kekerasan dalam pacaran adalah hubungan pacaran itu sendiri. Simplifikasi semacam ini melepaskan KDP dari analisis gender. Menunda pacaran atau menikah muda tidak menumbuhkan pandangan pasangan sebagai individu yang setara dalam menjalani relasi. Bahkan berpotensi mereproduksi nilai patriarkal dalam keluarga.

Upaya mencegah KDP perlu dilakukan melalui edukasi yang spesifik serta mengedepankan kesetaran dan keadilan gender. Misalnya dalam menjelaskan angka kasus KDP, kita perlu menjelaskan analisis mengapa angka tersebut muncul. Mengapa banyak perempuan menjadi korban dan lelaki menjadi pelaku. Penjelasan yang tidak berbasis pada keadilan dan kesetaraan gender dapat menimbulkan sterotip baik pada laki-laki maupun perempuan. Penting juga menjelaskan konsep relasi setara dan sehat sebagai upaya memberikan gambaran mengenai relasi yang ideal.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//