• Kolom
  • SUARA SETARA: Merekayasa Budaya di Masyarakat dengan Sosiologi Keluarga dan Gender

SUARA SETARA: Merekayasa Budaya di Masyarakat dengan Sosiologi Keluarga dan Gender

Pembagian tugas laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya. Kehidupan masyarakat akan lebih nyaman tanpa beban ekspektasi gender.

Alifa Nur Arssy

Mahasiswi Pendidikan Sosiologi UPI.

Petugas kesehatan menyuntik vaksin pada anak balita dalam kegiatan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) di halaman Masjid At Taqwa di Sukagalih, Bandung, Jawa Barat, Selasa (2/8/2022). Ibu-ibu identik dengan tugas mengurus anak dan rumah tangga. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

2 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Seperti yang kita ketahui, dalam kehidupan bermasyarakat selalu saja berkaitan dengan sebuah interaksi antarindividu maupun kelompok, dan kita juga mengetahui bahwa lingkungan interaksi terkecil yang ada di masyarakat adalah keluarga. Dalam keluarga, biasanya kita melihat pembagian peran yang sudah dianggap menjadi hal yang lumrah, seperti ayah bekerja dan ibu memasak.

Pembagian peran tersebut disebut merupakan pelekatan sebuah perilaku kolektif yang membedakan gender perempuan dan laki-laki akibat dari budaya yang berkembang. Padahal kita tahu bahwa bukan hanya ayah yang bisa bekerja maupun ibu yang dapat memasak.

Istilah gender sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Konsep gender jika ditinjau secara biologis merupakan sebuah klasifikasi jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, sementara itu gender yang sebenarnya merupakan sebuah konstruksi sosial yang terbentuk baik dari budaya maupun sosial masyarakat lalu dilekatkan baik pada laki-laki maupun perempuan.

Sigmund Freud menjelaskan bahwa sosiologi keluarga merupakan cabang ilmu yang mempelajari mengenai terbentuknya keluarga karena adanya perkawinan pria dan wanita yang secara sah di mata hukum agama serta negara, melakukan peranannya untuk pembentukan generasi dengan perkawinan. Gender menurut Jary dan Jary dalam Dictionary of Sociology, bahwa gender lebih diartikan ke dalam pembagian masculine dan feminine melalui atribut yang melekat secara sosial dan psikologi sosial.

Baca Juga: SUARA SETARA: Kenapa Perempuan Harus Rapi?
SUARA SETARA: Guru Penggerak, Harapan untuk Kesejahteraan atau Penyokong Status Quo Pemilik Kuasa?
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan

Sosiologi Keluarga dan Gender

Sosiologi keluarga dan gender penting untuk terus dipelajari mengingat urgensinya yang cukup rumit. Hal ini berkaitan dengan konstruksi yang sudah mengakar di masyarakat terkait peranan laki-laki dan perempuan. Merubah sebuah kebiasaan yang sudah dianggap lumrah bukan merupakan hal yang mudah, namun tetap bisa berubah seiring perkembangan waktu.

Dengan demikian, kita bisa merasakan manfaatnya bagi kehidupan, seperti misalnya pemberian label gender melalui warna pada laki-laki yang diidentikkan dengan biru dan perempuan dengan warna merah mudanya, sudah mulai luntur. Banyak laki laki yang menganggap merah muda hanya bagian dari warna saja, bukan menyimbolkan bentuk ke-feminin-an seseorang, begitupun sebaliknya, warna biru bukan sebuah warna yang terlihat maskulin.

Selain itu, manfaat lain dari sosiologi keluarga dan gender ini terkait karier seorang perempuan. Perempuan yang sudah menikah sudah terkonstruksi di masyarakat dengan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak, dan melayani suami. Namun apakah salah jika seorang perempuan memilih untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lalu bekerja sebagai wanita karier?

Wanita karier mungkin bukan hal yang aneh bagi sebagian masyarakat di perkotaan, namun jika hal ini terjadi di sebuah pedesaan maupun daerah-daerah, hal ini akan menjadi sebuah cibiran yang pedas. Pun jika mereka tetap ingin menjadi wanita karier, dia masih dibebankan oleh pekerjaan-pekerjaan yang sudah dikonstruksikan terhadap perempuan, mencuci, mengurus anak, dan lain sebagainya. Seolah perempuan ini memiliki beban ganda, padahal seperti yang kita ketahui bahwa pekerjaan rumah maupun mengurus buah hati adalah tugas dari orangtua, bukan hanya ibu saja. Seorang ayah juga sangat diperlukan perannya dalam membantu tumbuh dan berkembangnya seorang anak.

Dengan demikian cabang ilmu sosiologi dan gender bukan hanya perihal hadirnya di masyarakat maskulin dan feminim, tapi juga sedikit demi sedikit merubah konstruksi sosial di masyarakat yang dirasa memiliki beban lebih bagi salah satu pihak, karena semua kontruksi ini terbentuk karena adanya sebuah budaya.

Dan perlu kita ingat juga, bahwa budaya tidak membentuk manusia, namun manusialah yang membentuk budaya. Yang bermasalah dalam gender di kehidupan masyarakat ini adalah menentukan bagaimana kita seharusnya dan siapa kita sebenarnya. Mungkin kehidupan masyarakat akan lebih nyaman jika tidak dibebani ekspektasi gender. Oleh sebab itu cabang ilmu ini bukan hanya untuk dipelajari namun juga untuk diimplementasikan di kehidupan bermasyarakat.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//