• Kolom
  • SUARA SETARA: Makna Inklusif untuk Siapa? Bagaimana dengan Ragam Keagamaan?

SUARA SETARA: Makna Inklusif untuk Siapa? Bagaimana dengan Ragam Keagamaan?

Beberapa penganut penghayat kepercayaan (agama nenek moyang) kerap kali merasakan haknya sebagai warga negara Indonesia tidak terpenuhi secara utuh.

Anggi Meilani

Mahasiswi S1 FIP UPI. Mendalami isu disabilitas, gender, kesehatan mental. Bergiat di Great UPI, bisa dihubungi di [email protected].

Puanhayati Nasional menggelar pelatihan bagi para Perempuan Penghayat Kepercayaan untuk mengukuhkan kapasitas dan kualitas mereka sebagai penghayat kepercayaan, Kamis (8/25/2022). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)*

30 Agustus 2022


BandungBergerak.idMembicarakan kesetaraan atau inklusifitas lebih dari sekadar menggaungkan jargon untuk menunjukkan bahwa suatu kota atau negara itu inklusif. Ternyata, setelah diberi kesempatan untuk bertemu dan mengenal beragam agama yang salah satunya merupakan penghayat kepercayaan, saya baru menyadari. Ah iya! Indonesia, atau katakanlah Bandung, belum sepenuhnya inklusif.

Rasanya, inklusif menjadi frasa yang kerap berdengung di masyarakat urban. Bila dimaknai secara garis besar, inklusif berhubungan erat dengan toleran, nondiskriminatif, menghargai, keterbukaan, mengikutsertakan, menyeluruh dan lain-lain. Sekarang kita beralih menilik kota inklusif, tidak asing dengan social inclusion atau inklusi sosisal yang mana sebuah kota inklusif wajib menjamin kesetaraan hak dan partisipasi semua warganya, termasuk mereka yang paling termarjinalkan.

Terbatas dengan kemampuan dan pengetahuan penulis, beberapa indikator terkait kota inklusif yang didapat salah satunya di UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas terdapat 4 yaitu, 1) partisipasi penuh (berperan secara aktif dalam seluruh aspek kehidupan); 2) Ketersediaan layanan hak (penyediaan layanan, fasilitas, program dll yang sesuai); 3) aksesibilitas (kemudahan memeroleh manfaat); 4) sikap inklusif (non-diskriminatif dan saling menghargai).

Namun, beberapa penganut penghayat kepercayaan kerap kali merasakan haknya sebagai warga negara Indonesia tidak terpenuhi secara utuh. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis pada penganut penghayat kepercayaan memperkuat argumen ini. Barangkali bagi beberapa yang mendengar kata “penghayat kepercayaan” masih merasa asing. Penghayat kepercayaan yakni masyarakat yang menganut agama tradisional di luar enam agama yang diakui oleh negara. Dalam KBBI sendiri arti aliran kepercayaan adalah paham yang mengakui adanya Tuhan YME, tetapi tidak termasuk atau tidak berdasarkan ajaran salah satu dari kelima agama yang resmi diakui di Indonesia (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu).

Sebutlah beberapa penghayat kepercayaan seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, Malim, Marapu, Sapta Darma, dan masih banyak lagi. Penghayat kepercayaan ini terbagi menjadi dua, penghayat kepercayaan perorangan atau yang tidak berorganisasi dan penghayat kepercayaan yang berorganisasi. Tahun 2015 diperkirakan ada lebih dari 10 juta warga penghayat agama lokal di Indonesia.

Sebelum jauh membahas secara luas di Indonesia, di tanah Priangan beratnya berbagai intimidasi dan tindakan diskriminatif dialami banyak penghayat, tak terkecuali penghayat kepercayaan Budi Daya Kampung Cicalung, Lembang, Bandung Barat yang penganutnya tersebar di berbagai daerah.

Tindakan-tindakan tersebut, tidak lain seperti perundungan (bully), dipandang aneh karena kepercayaan yang dianut, diolok-olok cara sembahyangnya, interogasi yang datang dari berbagai pihak (terutama anak di sekolah) yang mempertanyakan cara sembahyang, kitab suci, dan nabi yang mereka yakini. Bahkan tak jarang juga guru agama memaksa meninggalkan kepercayaan leluhur. Di ranah perguruan tinggi, penganut penghayat kepercayaan dipaksa mengambil mata kuliah agama lain untuk mendapatkan nilai di sistem meskipun pengajaran yang didapat mengenai kepercayaannya.

Menuju ke ranah kehidupan yang lebih luas lagi, dalam syarat administratif menjadi warga negara (pembuatan KK, KTP, akta kelahiran, dll) terkadang dipersulit karena adanya kolom agama; atau di berbagai sektor yang mengharuskan mengisi formulir, lagi-lagi di kolom agama menjadi ganjalan karena hanya terdapat 6 agama yang diakui resmi di Indonesia. Hal yang terlihat sepele memang, tapi penting untuk eksistensi yang menuju ke keadilan dan kesetaraan sebagai warga negara.

Baca Juga: SUARA SETARA: Penindasan Ganda Buruh Perempuan
SUARA SETARA: Kenapa Perempuan Harus Rapi?
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi PerempuanSUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan

Dukungan secara Kelembagaan

Padahal, dalam Permendikbudristek (Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia) No. 13 Tahun 2022, Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 Tahun 2020 Tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024 terdapat Matriks Kinerja dan Pendanaan yang mengharuskan adanya Sasaran Program/Sasaran Kegiatan/Indikator (IKSS,IKP,IKK) di bagian Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat dengan unit pelaksana Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat. 

Selain itu juga dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa penghayat kepercayan harus mendapat dukungan secara kelembagaan. Tapi rasanya, bukan secara kelembagaan saja melainkan dukungan secara holistik. Peraturan tersebut hanya baru menyentuh ranah pendidikan. Bagaimana dengan ranah lainnya untuk mewujudkan slogan “inklusi” tersebut?

Ekslusivitas bisa mengakibatkan ketimpangan sosial dalam berbagai aspek kehidupan, seperti halnya ekslusivitas yang dirasakan penghayat kepercayaan. Bila mengutip pandangan ahli, Pierson menyebutkan lima komponen penting dalam eksklusi sosial: 1) kemiskinan; 2) pengangguran; 3) tidak adanya jejaring pendukung sosial; 4) pengaruh tempat tinggal dan lingkungan sosial; 5) terkecualikan dari layanan umum. Pierson mengungkapkan kelima komponen tersebut saling terkait dan saling memperparah eksklusi, sehingga upaya untuk membangun inklusi sosial memerlukan pendekatan dan program multidimensi (Pierson, 2010, p. 13).

Sebetulnya yang terekslusifkan tidak hanya penghayat kepercayaan tetapi menyoal penghayat kepercayaan sepertinya belum familiar di tengah masyarakat. Hampir lupa, kalau begitu di mana makna tanggal 16 November yang diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional bila kejadian-kejadian seperti yang sudah dijelaskan terus terjadi? Di mana makna Pancasila yang sarat akan keinklusifan?

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//