• HAM
  • Mengikis Stigma dengan Meningkatkan Kapasitas Para Perempuan Penghayat

Mengikis Stigma dengan Meningkatkan Kapasitas Para Perempuan Penghayat

Puan Hayati Jawa Barat menggelar program penguatan kapasitas Training of Trainers (ToT) bagi 30 pengurus organisasi perempuan penghayat se-Jawa Barat.

Puan Hayati Jawa Barat menggelar program penguatan kapasitas perempuan lewat kegiatan Training of Trainers (ToT) di Gedung Kantor Sinode GKP- Bandung, Minggu (12/05/2021). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman7 Desember 2021


BandungBergerak.idHingga saat ini, mayoritas perempuan penghayat kepercayaan masih menghadapi berbagai tantangan serius untuk bisa hadir dalam posisi setara di masyarakat. Penyebabnya banyak, mulai dari stigma berlapis sebagai perempuan sekaligus penghayat, hingga peminggiran sistematis yang menjauhkan mereka dari akses informasi, pengetahuan, ekonomi, dan lain-lain.

Berangkat dari fakta tersebut, Puan Hayati Jawa Barat menggelar program penguatan kapasitas perempuan lewat kegiatan Training of Trainers (ToT) yang diselenggarakan di Gedung Kantor Sinode GKP- Bandung,  Jalan Dewi Sartika, Bandung, Minggu (12/05/2021) lalu.

ToT ini tak lepas dari penitingnya peningkatan kapasitas SDM para perempuan penghayat. Diharapkan ToT ini mampu merebut kembali kadualatan perempuan atas diri, pengetahuan, kepercayaan, tradisi spiritualitas, dan hak-hak dasar mereka. Hal ini didasari atas keyakinan bahwa, “kualitas suatu masyarakat ditentukan oleh kualitas perempuannya”, sesanti yang terus menjadi pandangan organisasi Puanhayati Jawa Barat dalam mengawal perubahan zaman.

Ketua Puan Hayati Jawa Barat, Rela Susanti, mengatakan ToT dihadiri oleh 30 peserta dari berbagai organisasi yang tergabung dengan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) dari kota dan kabupaten Jawa Barat, seperti Karawang, Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Bekasi. Rela Susanti mengatakan, ToT ini terbilang baru di Jawa Barat.

“Sebenarnya kegiatan ini merupakan duplikasi kegiatan ToT yang dilaksanakan di Puan Hayati pusat. Sebelumnya kita pertama kali mengadakan kegiatan ini di Yogyakarta, bulan September. Nah, itu khusus kader-kader utama di tiap daerah,” ungkap ungkap Rela, saat ditemui BandungBergerak.id.

Menurutnya, tujuan diselenggarakannya ToT untuk mencetak kader Puan Hayati yang diharapkan bisa memiliki pengatahuan tentang kesetaraan gender yang berbasis tradisi, kemudian tentang isu keadilan perspektif Penghayat, perspektif HAM, tata kelola sumber daya organisasi, dan tata kelola organisasi.

“Langkah pertama kita lakukan ToT. Jadi kita fokuskan kepada tiga materi saja, yaitu tentang HAM, gender, dan find-rising. itu yang lebih di-highlight. Kemudian kita diperintahkan oleh pusat untuk menduplikasi kegiatan ini di daerah. Nah, Puanhayati salah satu yang baru melakukan ToT di daerah ini adalah di Jawa Barat,” terangnya.

Selanjutnya, para peserta pelatihan diharapkan dapat menjadi fasilitator untuk mengaplikasikan materi di masing-masing organisasi internalnya. Dengan demikian akan terjadi pula regenerasi di tubuh organisasi perempuan penghayat.

Namun Rela mengakui pelatihan tersebut tidak dapat dilakukan sekali saja. Perlu waktu yang berkesinambungan agar setiap peserta pelatihan dapat benar-benar memahami materi pelatihan.

Baca Juga: Pemahaman-pemahaman Keliru tentang Para Penyandang Disabilitas
Otonomi Masyarakat Adat sudah Ada Jauh sebelum Republik Indonesia Berdiri

Melek Gender

Puan Hayati terbentuk pada tahun 2017, dan menjadi salah satu sayap organisasi dari MLKI yang merupakan organisasi induk dari para penghayat kepercayaan secara nasional. Menurut Rela Susanti yang juga menjabat sebagai sekretaris Puanhayati pusat, hingga saat ini tercatat 155 organisasi yang telah tergabung dengan MLKI.

Selain itu, MLKI memiliki organisasi sayap, yaitu divisi perempuan yang dikenal Puan Hayati, dan divisi generasi muda yang dinamakan Gema Pakti. Hingga 2021, Puanhayati telah terbentuk di 10 provinsi dan 22 kota/kabupaten di Indonesia.

Rela mengakui masing-masing organisasi memiliki kapasitas berbeda-beda, baik anggota maupun pengurusnya. Maka diperlukan pelatihan yang berkesinambungan untuk menambal kekurangan itu.

Lebih jauh, Rela Susanti menuturkan tujuan mulia Puan Hayati adalah untuk membentuk suatu wadah bagi perempuan Penghayat agar semakin meningkatkan kualitas kemampuannya, dan dapat melakukan proses regenerasi kepengurusan.

“Selama ini dikaji, kenapa jumlah Penghayat kian hari kian menyusut, karena proses regenerasi yang terhambat. Kenapa terhambat? karena orang tuanya tidak memiliki skill, pengetahuan, tidak memiliki jejaring yang kuat, itu yang menghambat regenerasi. Apa yang mau dia sampaikan jika demikian? Nol, karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan mumpuni,” jelas Rela.

Sebagai perempuan kaum Penghayat yang menjungjung tinggi adat tradisi leluhurnya, Puan Hayati diharapkan dapat menjadi wadah bagi perempuan untuk bisa lebih berdaya guna, lebih meningkatkan kualitas dirinya, dan menempatkan bahwa perempuan punya kesempatan yang sama dengan laki-laki dan perempuan lainnya.

Meski demikian, saat ini kaum penghayat masih merasa termajinalkan di negara sendiri. Sudah banyak kasus diskriminasi yang mereka alami, dan ini berlangsung sangat lama dan terus menerus. Hal itu menjadikan perempuan-perempuan penghayat merasa semakin terpinggirkan.

“Permasalahan itu yang menghambat perempuan Penghayat untuk meningkatkan kualitas dirinya. sehingga ini butuh proses untuk membangunkan mereka. Istilah kami yang melek gender,” ucap Rela.

Harapan mereka tidak muluk-muluk. Mereka hanya ingin mendapat hak sebagaimana orang lain mendapatinya. Berbeda keyakinan bukan berarti berbeda pula perlakuan negara dan orang-orang kepada  mereka.

“Kami ingin lebih diakui sejajar dengan perempuan lainnya dan diberikan kesempatan yang sama dengan perempuan lain. Kami ingin diperlakukan sebagai warga negara seutuhnya, karena kesempatan yang kami dapatkan kadang-kadang tidak sama dengan perempuan-perempuan lain yang beragama,” tutur Rela Susanti.

Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari beragam suku bangsa dan agama. Konstitusi Indonesia telah menjamin tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan sesuai dengan pilihan nurani masing-masing, termasuk jaminan bagi para penghayat kepercayaan. Salah bentuk jaminan ini adalah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan penghayat kepercayaan dapat mencantumkan keyakinan mereka di kolom agama KTP mereka.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//