Pemahaman-pemahaman Keliru tentang Para Penyandang Disabilitas
Kita tergerak untuk membantu mereja mestinya bukan karena rasa kasihan, melainkan memang karena hak yang harus diperoleh mereka.
Penulis Iman Herdiana23 September 2021
BandungBergerak.id - Siapa pun terdampak pandemi Covid-19, termasuk penyandang disabilitas. Sehingga mereka mendapatkan hak yang sama dalam mendapat layanan kesehatan pencegahan Covid-19, salah satunya mendapatkan vaksinasi Covid-19. Di Jawa Barat, total penyandang disabilitas sebanyak 62.530 orang.
Namun jumlah tersebut masih dalam perdebatan karena disinyalir berbeda dengan data nasional. Bahkan data antarkementerian pun berbeda. Versi Kementerian Sosial per 13 Januari 2021 penyandang disabilitas sebanyak 209.604 orang, sedangkan versi Kementerian Kesehatan target vaksin Covid-19 untuk disabilitas sebanyak 564.000 orang.
Di Kota Bandung sendiri sedikitnya ada 1.300 orang penyandang disabilitas. Jumlah tersebut diperoleh dari pendataan vaksinasi Covid-19 yang dilakukan Pemkot Bandung.
"Disabilitas Kota Kandung ada 1.300 orang. Alhamdulillah hari ini 150 orang, mudah-mudahan vaksinasi kepada teman-teman disabilitas bisa terus berjalan," terang Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, dalam siaran persnya, baru-baru ini.
Tercatat, 8 Juli 2021 lalu untuk pertama kalinya vaksinasi Covid-19 menyasar warga disabilitas. Pemkot Bandung berjanji bahwa pelayanan vaksinasi Covid-19 akan diberikan kepada siapa pun, bahwa kekebalan kelompok atau herd immunity harus mencakup berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok disabilitas Kota Kandung. Yana mengatakan proses pelayanana vaksinasi kepada warga disabilitas tidak mudah karena memerlukan penanganan khusus yang membutuhkan peran banyak pihak.
Paradigma Keliru pada Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas tentu memerlukan perlakuan dan fasilitas khusus mengingat keterbatasan yang ada pada diri mereka. Dalam artikel “Paradigma Keliru tentang Penyandang Disabilitas” yang diaksis di bilic-indonesia.org, Kamis (23/9/2021), dipaparkan sejumlah pemahaman keliru di masyarakat terkait penyandang disabilitas.
Artikel tersebut ditulis Riyadi, Pendidik di SDN Pangebatan, Karanglewas Banyumas, Penulis buku Kita Guru yang Dinanti, Pegiat literasi di KOMPAK. Riyadi mengatakan, pandangan keliru pada disabilitas terutama mudah ditemukan di negara-negara berkembang.
Disebutkan bahwa di negara-negara maju telah menempatkan para penyandang disabilitas secara baik sesuai hak-haknya. Sehingga tak lagi terjadi perbedaan hak dengan nonpenyandang disabilitas secara signifikan. Sementara di negara-negara berkembang terjadi sebaliknya. Masih banyak orang memandang keliru terhadap anak-anak penyandang disabilitas sehingga paradigma itu terus berkembang menjadi hal yang merugikan mereka.
Riyadi kemudian mensarikan pernyataan Munawar Yusuf, dosen FKIP dan Psikologi Universitas Sebelas Maret yang mengatakan setidaknya ada lima kekeliruan masyarakat terhadap penyandang disabilitas, antara lain:
Pertama, penyandang disabilitas dianggap sebagai obyek belas kasihan. Memang mereka adalah individu yang harus dikasihani karena dianggap memiliki kekurangan baik secara fisik maupun mental. Akibat dari rasa kasihan itu akhirnya ada niat untuk membantu. Padahal ketika kita tergerak untuk membantu mereja mestinya bukan karena rasa kasihan, melainkan memang karena hak yang harus diperoleh mereka.
“Dua hal yang seharusnya dibedakan saat kita melakukan tindakan untuk membantu mereka. Bukan karena belas kasih tetapi mestinya lebih mengedapankan kesadaran kita bahwa mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara yang harus diperlakukan dengan baik,” kata Riyadi.
Baca Juga: Orang dengan HIV/AIDS dan Transpuan Punya Hak Sama dalam Mengakses Vaksinasi Covid-19
Munir, Sosok Insipiratif bagi Pemuda Bandung
Sebagai contoh, toilet yang didesain sedemikian rupa untuk penyandang disabilitas mestinya dibangun bukan karena rasa kasihan, melainkan itu karena hak yang harus mereka peroleh. Maka pemerintah maupun masyarakta wajib menyediakan kebutuhan mereka sesuai dengan standar yang dibutuhkan sebagai hak mereka.
Paradigma keliru kedua, kata Munawar Yusuf, penyandang disabilitas dianggap sebagai bahan lelucon dan tertawaan. Ini misalnya terjadi pada penyandang gagap dalam bicara, tunarungu, tunanetra, atau tunagrahita.
Tidak sedikit orang yang menirukan mereka sebagai bahan candaan atau sekadar hiburan. Padahal mereka adalah idividu yang memiliki hak untuk dihormati dan disamakan kedudukannya.
Paradigm keliru ketiga, penyandang disabilitas sering dipekerjakan atau dikomersilkan. Sebagai contoh, orang dengan ukuran tubuh mini atau mungil tak jarang dimanfaatkan untuk kepentingan promosi sebuah produk agar terkenal dan laku di pasaran.
Meskipun dengan dipekerjakan mereka akan mendapat imbalan jasa, namun menjadi kurang benar saat mereka dipekerjaan untuk tujuan keuntungan perusahaan. Ada pula tunanetra yang dituntun di lampu-lampu merah guna mengharap belas kasih dengan cara meminta uang kepada para pengguna jalan, kemudian anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik digunakan oleh orang-orang yang sehat untuk mendapatkan uang.
Paradigma keliru keempat, mereka dianggap individu yang sakit dan perlu disembuhkan (medikal model) sampai mereka menjadi individu yang sehat seperti individu lainnya. Mereka dipandang sebagai penderita yang perlu penangan khusus secara medis, bukan perlu perlakuan khusus sebagai orang yang memiliki keterbatasan.
Padahal perlu diketahui bahwa mereka bukanlah penderita suatu penyakit tertentu melainkan penyandang keterbatasan baik fisik maupun mental. Pandangan yang keliru ini menjadikan mereka belum dapat diterima sebagaimana adanya karena dipandang sebagai individu yang berbeda dibandingkan individu sempurna pada umumnya.
Pandangan tersebut kurang selaras dengan pengertian disabilitas yang diartikan sebagai individu yang memiliki kemampuan baik fisik, mental, ataupun keduanya yang berbeda daripada kebanyakan orang. Perbedaan pada mereka bukan kekurangan yang menjadikan dirinya harus dikelompokkan atau dikucilkan dari kebanyakan orang.
Ada fakta penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan sempurna melebihi individu umumnya. Fakta ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang berbeda daripada orang lain umumnya.
Contoh lain adalah seseorang yang tak memiliki tangan akibat satu dan lain hal, namun ternyata mampu mengerjakan apa saja yang biasa dilakukan orang yang memiliki dua tangan sepurna. Bahkan hasilnya bisa lebih baik.
Contoh-contoh tersebut membuktikan bahwa makna disabilitas adalah perbedaan kemampuan, bukan kekurangan.
Paradigma keliru kelima, penyandang disabilitas sering dijadikan sebagai individu yang berbeda dalam hal sosial (sosial model). Dalam tataran sosial mereka akan diberikan kotak tersendiri dan dipandang sebagai kelompok berbeda dalam makna negatif atau direndahkan. Kekeliruan ini sungguh tindakan tak manusiawi.
Kekeliruan tersebut bahkan mendorong pelayanan kepada mereka didasarkan pada pandangan bahwa mereka termasuk dalam tataran sosial yang lebih rendah yang perlu dibantu, bukan karena kesamaan hak.
Maka beberapa perlakuan yang diberikan kepada mereka selama ini semata-mata bertujuan untuk menjadikan mereka dapat bersosialisasi terhadap lingkungan sekitarnya. Padahal seharusnya lingkunganlah yang semestinya disesuaikan dengan kondisi mereka jika kita ingin manusiawikan mereka.
“Dengan melihat kenyataan yang ada selama ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa masih banyak kekeliruan kita dalam memandang para penyandang disabilitas. Mereka dianggap sebagai individu yang harus dibantu, dikasihani, karena dianggap memiliki keterbatasan. Padahal seharusnya kita memberikan pelayanan dan perhatian kepada mereka karena hak mereka,” papar Riyadi.