• HAM
  • Munir, Sosok Insipiratif bagi Pemuda Bandung

Munir, Sosok Insipiratif bagi Pemuda Bandung

Sebagian anak muda Bandung menganggap Munir sebagai sosok yang ikonik dan penting dalam perjuangan penegakan HAM dan menuntut keadilan.

Kematian aktivis HAM Munir Said Thalib genap 17 tahun berlalu. (Sumber: Munir: Novel Grafis, 2014)

Penulis Bani Hakiki7 September 2021


BandungBergerak.idMunir Said Thalib dikenal luas sebagai aktivis pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Jejak langkahnya dalam membela hak-hak kaum marjinal dan korban penghilangkan paksa menginspirasi generasi muda Bandung.

Seruan nama Munir masih sering terdengar di setiap gerakan dan aksi demonstrasi di Kota Kembang. Munir dipandang sebagai sosok ikonik dalam perjuangan menuntut keadilan, khususnya seputar isu HAM.

Diketahui, Munir ditemukan tewas  pada 7 September 2004, hari ini tepat 17 tahun lalu. Sejak itu kasus kematian Munir selalu diperingati setiap tahunnya, dari generasi ke generasi. Peristiwa pembunuhan munir, di antaranya, melahirkan kelompok kolektif yang rutin menyuarakan kasus pelanggaran HAM berat melalui acara Aksi Kamisan Bandung. Sejak beberapa tahun ke belakang, kelompok Kamisan Bandung rutin menggelar agenda tahunan September Hitam yang bertujuan memperingati sederet kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan di Indonesia hingga kini.

Fayadh, salah seorang pegiat Kamisan Bandung menuturkan, kasus kematian Munir yang belum terungkap harus terus dikawal bersama. Oleh karena itu, peran anak muda dinilai sangatlah penting untuk menjaga asa dan memupuk harapan bahwa seluruh kasus pelanggaran HAM di Indonesia bisa dituntaskan.

“Sosok Munir banyak jadi insipirasi di kalangan pemuda. Seperti pembukaan September hitam kemarin di Bandung ramai dikunjungi anak muda. Kita harus bisa merefleksikan semangat Munir dengan cara-cara dan strategi yang dekat dengan zaman hari ini,” tuturnya dalam sebuah diskusi virtual bertajuk Keberanian Itu Bernama Munir, Senin (6/9/2021).  

Untuk menjaga semangat perjuangan Munir, para pegiat Kamisan Bandung tengah berencana untuk menyesuaikan kampanye mereka ke berbagai bentuk yang lebih relevan dengan situasi kekinian. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi digital, seperti penggunaan media sosial atau kanal-kanal internet lainnya.

Semangat Munir juga ikut meresap ke dalam tubuh sebuah organisasi mahasiswa Pembebasan Bandung. Bagi mereka, Cak Munir adalah seorang aktivitis yang mencerminkan gerakan anti-militerisme. Poin inilah yang paling mereka catat dan terapkan dalam memperjuangkan kasus pelanggaran HAM dan kebebasan berpendapat di Indonesia maupun mancanegara.

Yusup, seorang pegiat Pembebasan Bandung menganggap milterisme adalah salah satu faktor besar yang menghambat perkembangan aspirasi di tengah masyarakat. Menurutnya militerisme sebagai bentuk fasisme yang merupakan produk utama dari rezim Orde Baru.

“Sampai hari ini militerisme masih eksis, dari rezim ke rezim hanya berganti wajah, tapi nyawa Orde Barunya masih ada. Situasi hari ini masih sama seperti era Order Baru. Bahkan, beberapa lebih buruk atau mundur,” ungkapnya pada kesempatan yang sama.

Yusup menyebut sifat-sifat Orde Baru itu tercermin dari sejumlah tindakan represif aparat terhadap masa demonstrasi. Maka dari itu, kiprah perjuangan Munir dalam menuntut keadilan dinilai sebagai acuan bagi para pemuda di seluruh negeri.

Baca Juga: Pemerintah Dinilai Abai Tuntaskan Kasus Pembunuhan Munir
Komnas HAM RI Didesak Tetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat
PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan
Aksi Mural Kamisan Bandung Jelang September Hitam
Aksi Kamisan Bandung Peringati Kasus Pelanggaran HAM September Hitam

Tagih Janji Presiden 

Selama 17 tahun masyarakat Indonesia, khususnya para pegiat HAM, menanti penyelesaikan kasus Munir Said Thalib. Namun, hingga kini sang dalang pembunuhan masih bebas berkeliaran tanpa tersentuh hukum.

Kepala Advokasi HAM KontraS, Andi Rezaldi melihat pemerintah tidak memiliki kemauan serius untuk menuntaskan kasus kematian Munir. Menurutnya, selalu ada fakta-fakta penting yang dihilangkan dengan berbagai agenda tertentu di baliknya.

“Beberapa (pelaku) ada yang sudah diadili seperti Pollycarpus dan lain-lain. Tapi, secara proses persidangan janggal, kita harus melihat kasus munir ini kasus yang terorganisir dan bermuatan politik. Artinya, ada keterlibatan negara,” ujarnya.

Pada akhir 2005, mantan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto yang ikut bertolak bersama Munir menuju Singapura. Ia menggunakan surat dokumen palsu untuk mengklaim dirinya adalah kru tambahan Garuda Indonesia. Proses pengadilan kemudian menyatakan Pollycarpus Budihari Priyanto bersalah atas pembunuhan Munir.

Fakta persidangan menunjukkan ada kaitan antara kematian Munir dengan sejumlah pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) masa itu. Tetapi kinerja penegak hukum di negeri ini dalam melanjutkan temuan pengadilan sepertinya jalan di tempat.

Bahkan pada akhir 2016, dokumen penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) dikabarkan hilang. Presiden Jokowo telah memerintahkan Jaksa Agung H.M. Prasetyo untuk mencari keberadaan dokumen tersebut. Namun hasilnya tidak pernah ada kejelasan. Upaya penuntasan kasus pembunuhan Munir pun mandek.

Tanggapan dan kritik bahwa pemerintah tidak serius dalam menyikapi kasus pembunuhan Munir datang dari istri mendiang Munir, Suciwati. Ia kecewa terhadap sikap presiden yang tak pernah menuntaskan janjinya untuk menyelesaikan sederet kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus kematian suaminya.

“Kalau Presiden menyatakan akan membuat pengadilan HAM dan mulai membawa para penjahatnya ke pengadilan, saya pikir selesai aksi Kamisan. Ternyata lima tahun itu, tidak ada action, akhirnya kami kembali bergerak untuk mengatakan bahwa ini harus didorong, mungkin harus dengan strategi yang cukup keras,” ungkap Suciwati, dalam siaran pers KontraS, (6/9/2021).

sampul buku Membangun Bangsa Menolak Militerisme: Jejak Pemikiran Munir 1965-2004 (2006)
sampul buku Membangun Bangsa Menolak Militerisme: Jejak Pemikiran Munir 1965-2004 (2006)

Baca Juga: Pemerintah Dinilai Abai Tuntaskan Kasus Pembunuhan Munir
Komnas HAM RI Didesak Tetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat
PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan
Aksi Mural Kamisan Bandung Jelang September Hitam
Aksi Kamisan Bandung Peringati Kasus Pelanggaran HAM September Hitam

Riwayat Perjuangan Munir

Munir Said Thalib, lahir di Malang, Jawa Timur pada 8 Desember 1965. Sejak duduk di bangku perguruan tinggi, ia sudah aktif berorganisasi sambil menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas ternama di kota kelahirannya mengambil jurusan hukum.

Cak Munir juga ikut mendirikan dan bergabung dengan berbagai organisasi atau lembaga kemasyarakatan, bahkan juga membantu pemerintah dalam tim investigasi dan tim penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU). Jabatan terakhirnya selama berorganisasi, yakni Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.

Di sela kesibukannya berorganisasi, Munir dikenal getol memperjuangkan hak orang-orang dan aktiviis yang hilang pada kasus penculikan aktivis oleh tentara. Kasus besar lainnya yang ia kawal adalah kasus Araujo, kasus Marsinah, pelanggaran berat HAM di Aceh serta Papua, dan lain-lain. Pada 2000, ia dinobatkan sebagai As Leader for the Millennium dari Asia, mendapat The Right Livelihood Award dari Unesco, sekaligus menyandang Madanjeet Singh Prize di Paris, Perancis.

Sepak terjang Munir yang bersinggungan dengan banyak risiko itu telah banyak menginspirasi Fayadh dan sejumlah anak muda Bandung lainnya.

“Munir itu ibarat lambang kebenaran yang pemikirannya perlu kita ilhami dan rawat ingatannya. Sosok ini juga yang menginspirasi tema besar Kamisan Bandung yang sudah menginjak 8 tahun berjalan,” terang Fayadh.  

Kasus Pelanggaran HAM di Bandung

Bandung sendiri bukan kota yang sepi dari pelanggaran HAM. Tercatat, sejumlah kasus HAM mencuat dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari kebabasan berkeyakinan beragama, kebebasan berekspresi dan berpendapat, aturan diskriminatif, pelanggaran hak-hak buruh, dan seterusnya.

Misalnya, pada 6 Desember 2016, terjadi aksi pembubaran ibadah KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di Gedung Sabuga, Bandung, oleh sekelompok organisasi massa. Insiden ini memperpanjang daftar aksi serupa sebelumnya, mulai dari pembubaran diskusi Sekolah Marx di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), pembubaran pentas teater monolog Tan Makaka di IFI Bandung, penghentian kegiatan pantomim di depan Gedung Merdeka, dan pembubaran Komunitas Perpustakaan Jalanan. Sepanjang tahun tersebut LBH Bandung mencatat terdapat 65 Kasus pelanggaran HAM di Jawa Barat.

Pelanggaran HAM juga mewarnai tahun pagebluk Covid-19 sejak 2020 lalu. Banyak buruh mengalami pemutusan kerja akibat Omnibus Law. Catatan Tahunan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menunjukkan jumlah buruh yang menerima bantuan hukum meningkat dari 22 orang di tahun 2019, menjadi 41 orang pada 2020.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//