Otonomi Masyarakat Adat sudah Ada Jauh sebelum Republik Indonesia Berdiri
Di dunia ini tercatat ada sekitar 370 juta orang yang merupakan anggota masyarakat hukum adat yang hidup di lebih dari 70 negara.
Penulis Iman Herdiana16 September 2021
BandungBergerak.id - Suku adat yang tersebar di Indonesia memiliki otonomi yang harus dihormati negara. Otonomi masyarakat adat sejatinya bukan “hadiah” dari pemerintah. Sebab otonomi masyarakat adat sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.
Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Susi Dwi Harijanti, pada acara Keurseus Budaya Sunda “Sékésélér tina Sawangan Hukum Tata Negara”, mengutip laman resmi Unpad, Kamis (16/9/2021).
Dengan otonomi yang sudah berlangsung lama itu, kelompok suku bangsa/masyarakat adat menjalankan tatanan sosial, politik, hukum, dan budayanya sendiri.
Susi menyatakan, pemerintah perlu memberikan pengakuan sekaligus perlindungan terhadap keragaman suku bangsa Indonesia. Sebagai negara yang multikultural, perbedaan ras dan budaya rentan memicu terjadinya pergesekan antara tatanan sospolhum pemerintah dengan tatanan masyarakat adat.
“Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan suku bangsa dengan segala atribut sosial, politik, budaya, dan hukumnya penting untuk mendorong rasa menjadi bagian bangsa Indonesia,” katanya.
Susi menilai, pengakuan dan perlindungan suku bangsa/masyarakat adat lebih diarahkan untuk mengatur hal berbeda yang ada dari tatanan norma suku bangsa dengan tatanan norma umum dari suatu negara.
Secara konsitusi, ada tiga pengakuan dan perlindungan yang dilakukan pemerintah, yaitu: perlindungan bersifat politik, perlindungan bersifat tatanan hukum ulayat (wilayah daerah), serta perlindungan bersifat bahasa dan budaya.
Meski demikian, pengakuan dan perlindungan suku bangsa/masyarakat adat memiliki tantangan tersendiri. Gesekan antara upaya pemajuan suku bangsa dengan aktivitas ekonomi yang disponsori negara kerap terjadi.
Susi mengatakan, salah satu tantangan yang terjadi adalah pada upaya pengakuan dan perlindungan yang bersifat ulayat. Dalam hal ini, pemerintah perlu memahami bahwa hak ulayat masyarakat adat tidak sekadar sebatas wilayah kediamannya, melainkan lingkungan keseluruhan yang memberikan pengaruh bagi keberlanjutan masyarakat tersebut.
Dengan demikian, kata guru besar bidang hukum tata negara tersebut, apabila aktivitas ekonomi yang disponsori pemerintah memberikan dampak bagi kelangsungan dan kesejahteraan masyarakat adat, maka itu tidak boleh dilakukan.
“Bukan berarti aktivitas negara itu harus selalu berada di atas. Akan tetapi, itu harus mempertimbangkan, karena memang itulah dasar konsekuensi dari pengakuan bahwa negara mengakui masyarakat adat itu,” ujar Susi Dwi Harijanti.
Baca Juga: Orang dengan HIV/AIDS dan Transpuan Punya Hak Sama dalam Mengakses Vaksinasi Covid-19
Koalisi Mahasiswa Desak Jokowi Beri Amnesti untuk Dosen Unsyiah Korban UU ITE
Hak Indigenous Peoples
Di dunia ini tercatat ada sekitar 370 juta orang yang merupakan anggota masyarakat hukum adat yang hidup di lebih dari 70 negara. Jumlah mereka merupakan 5 persen dari seluruh penduduk dunia. Sementara itu, 80 persen dari seluruh keanekaragaman hayai di planet bumi ini tumbuh subur di 22 persen dari wilayah bumi yang merupakan tempat nggal masyarakat hukum adat, mengutip jurnal “Hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples) atas Sumber Daya Alam: Perspekf Hukum Internasional” yang ditulis Muazzin.
Muazzin yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh, mengungkap bahwa ketika keanekaragaman hayati terancam, maka akan mengancam juga hubungan antara masyarakat hukum adat dan tanah air mereka yang sudah berlangsung lama dan turun temurun, serta akan mengancam kesehatan dan kesejahteraan masyarakat hukum adat sendiri.
“Kerusakan lingkungan yang terus terjadi membahayakan kelanjutan hubungan mereka dengan lingkungannya yang sudah diprakkkan selama ribuan tahun, seper mengumpulkan obat-obatan, berburu, memancing, dan kegiatan pertanian,” paparnya.
Dunia tak tinggal diam menghadapi bahaya yang mengancam 'indigenous peoples' tersebut. Katar Muazzin, indigenous peoples sendiri dipakai Internaonal Labour Organizaon (ILO) saat mendeklarasikan Convenon Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (Konvensi ILO 169) 27 Juni 1989.
Islah indigeneous peoples yang digunakan dalam Konvensi ILO 169 juga diadopsi oleh World Bank dalam pelaksanaan proyek pendanaan pembangunan di sejumlah negara, terutama di negara-negara kega, seper di Amerika Lan, Afrika, dan Asia Pasifik.
Indonesia, meskipun belum meratifikasi Konvensi ILO 169, memiliki prinsip-prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam yang diatur konvensi, sudah diatur dalam Konstusi Republik Indonesia.
Pengakuan penng terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar (UUD 1945) hasil amandemen kedua. Pasal 18 B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyebutkan:
(1) Negara mengakui dan menghorma satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat ismewa yang diatur dengan undang-undang;
(2) Negara mengakui dan menghorma kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
“Pasal ini memberikan posisi konstusional kepada masyarakat hukum adat dalam hubungannya dengan negara serta menjadi landasan konstusional bagi penyelenggara negara, bagaimana seharusnya masyarakat hukum adat diperlakukan,” papar Muazzin.
Pasal tersebut adalah satu pernyataan tentang: kewajiban konstusional negara untuk mengakui dan menghorma masyarakat adat; hak konstusional masyarakat hukum adat untuk memperoleh pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya.
“Apa yang termaktub dalam pasal 18 B ayat (2) tersebut sekaligus merupakan mandat konstusi yang harus ditaati oleh penyelenggara negara, untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas keberadaan masyarakat adat dalam suatu bentuk undang-undang,” ungkapnya.