• Kolom
  • SUARA SETARA: Menstruasi dan Inferioritas Perempuan

SUARA SETARA: Menstruasi dan Inferioritas Perempuan

Bagaimana cara pandang masyarakat terdahulu terhadap menstruasi mempengaruhi inferioritas perempuan hingga kini?

Sheila Rotsati Jasmine

Belajar dan bergiat di Gender Research Student Center, diskusi lebih lanjut hubungi @sheilartsti_

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual dan menghapuskan budaya patriarki. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

1 Maret 2023


BandungBergerak.id - Kamu mungkin memahami menstruasi sebagai suatu peristiwa biologis, hal normal bagi setiap manusia yang memiliki rahim. Meski demikian, banyak dari kita yang ‘mengamini’ anggapan umum bahwa menstruasi adalah ‘darah kotor’, perempuan yang sedang menstruasi berarti kotor,  tidak suci. Sehingga setiap menstruasi secara tidak sadar kita merasa malu atas pengalaman menstruasi yang kita alami.

Pernahkah kamu merasa malu membeli pembalut? Atau berbisik memberitahu temanmu bahwa kamu sedang haid? sengaja menggunakan baju panjang ketika masa menstruasi karena khawatir kamu kelihatan sedang menggunakan pembalut, pernah? Ini sedikit gambaran bahwa sadar tidak sadar selama ini kita menganggap menstruasi memalukan.

Menstruasi memang peristiwa biologis, tapi sudah sejak dahulu menstruasi dikontruksi, ditafisrkan oleh masyarakat dengan cara yang merugikan perempuan. Menstruasi telah dijadikan salah satu sumber perendahan perempuan membuat perempuan malu akan tubuhnya. Dampaknya tidak sederhana. Cara pandang masyarakat terhadap menstruasi mempengaruhi pembagian peran kerja yang kemudian sangat berpengaruh pada akses perempuan terhadap ekonomi.

Mentruasi di Masa Lampau

Peristiwa "menstruasi" dianggap sebagai suatu kelemahan di masa lampau, "perempuan tidak dapat mengontrol apa yang keluar darinya, ia mengeluarkan darah". Pandangan ini berdampak pada pembagian kerja. Sebab perempuan menumpahkan darah, maka perempuan dijauhkan dari pekerjaan yang sifatnya menumpahkan darah seperti berburu, menyembelih termasuk dijauhkan dari perang.

Situasi masa lampau ini tidak sederhana, sebab perang berkaitan erat dengan kekuasaan politik, pihak yang terlibat dalam perang kemudian akan memiliki kuasa lebih. Laki-laki yang terlibat dan memonopoli peperangan kemudian merambah menguasai sektor lain seperti ekonomi, sosial, intelektual, artistik. Sedangkan perempuan dibatasi untuk bergerak di ranah privat dan domestik.

Perempuan dianggap tidak mampu berperan di ranah publik sebab ia menstrusasi, dipengaruhi hormonnya, sehingga tidak rasional, tidak dapat mengendalikan diri. Berbeda dengan laki-laki yang dapat menumpahkan darah, dapat mengendalikan diri, serta rasional, dan strategis dalam menghadapi situasi publik.

Baca Juga: SUARA SETARA: Mendefinisikan Ulang Konsep Perempuan Cantik
SUARA SETARA: Pembuktian Ambu
SUARA SETARA: Standar Kecantikan, Usaha Kapitalisme Meraih Keuntungan dengan Merendahkan Perempuan

Territorial Segregation, Pemisahan Wilayah Kerja Perempuan dan Laki-laki

Meski kini perempuan dapat berkiprah pada bidang-bidang yang dahulu hanya digeluti laki-laki, territorial segregation atau pemisahan pekerjaan perempuan dan laki-laki masih terjadi. Anggapan bahwa perempuan tidak mampu mengendalikan diri, tidak rasional, membuat perempuan dijauhkan dari posisi kepemimpinan, sekalipun memimpin, perempuan akan memimpin bidang yang feminine. Perempuan ditempatkan pada posisi ‘nomor dua’ sebagai wakil atau asisten karena dianggap tidak dapat bersikap tegas dan objektif dalam pengambilan keputusan.

Mungkin kamu dapat dengan mudah mengidentifikasi pekerjaan yang didominasi perempuan dan pekerjaan yang didominasi laki-laki. Perempuan masih banyak menempati pekerjaan yang sifatnya pendidikan dan pelayanan. Pekerjaan yang dilakukan perempuan kurang dihargai bahkan kerap dianggap sepele sehingga diupah murah.

Refleksi

Menstruasi menyadarkan kita bahwa penindasan terhadap perempuan dimulai dari tubuh. Sadarkah kamu bahwa tubuh perempuan telah dikontruksi oleh masyarakat? Perempuan dituntut untuk memenuhi kontruksi yang ada agar mendapatkan tempat di masyarakat. Perempuan yang berbeda dari konstruksi akan dihukum masyarakat dengan diberikan label negatif.

Konstruksi masyarakat terhadap tubuh perempuan adalah paradoks tidak berkesudahan. Lihat saja fenomena cantik. Jika perempuan tidak memenuhi standar kecantikan maka perempuan digolongkan jelek, namun jika memenuhi standar kecantikan perempuan akan diobjektifikasi.

Pada akhirnya, perempuan perlu menyadari bahwa kita harus lepas dari segala konstruksi dan memulai untuk mendefinisikan diri sendiri, membebaskan diri dari segala konstruksi yang menindas kita selama ini.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//