• Kolom
  • SUARA SETARA: Pembuktian Ambu

SUARA SETARA: Pembuktian Ambu

Perempuan masih menghadapi stigma saat diminta memimpin. Refleksi atas hak untuk setara.

Agida Hafsyah Febriagivary

Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung

Panggung perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia. (Sumber Foto: Panitia Pentas Kreasi Rakyat RW.02)

24 November 2022


BandungBergerak.id—Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengangkat sebuah kisah nyata dari sudut timur, Kota Bandung. Tulisan ini dibuat sebagai bentuk pengapresiasian penulis kepada pemeran utama dalam kisah ini, juga mengkritik budaya masyarakat setempat, sekaligus bentuk refleksi bagi kita semua agar tetap menjaga kewarasan dalam bermasyarakat.

Kisah ini bermula saat masyarakat setempat akan menyambut HUT Kemerdekaan Indonesia ke-77. Seperti adat pada umumnya, para pemuda setempat kemudian dikumpulkan untuk berembuk menentukan ketua pelaksana dari acara yang cukup bergengsi itu.

Singkatnya, datang satu pemudi, sebut namanya ‘Ambu’ yang terbilang cukup aktif dalam berbagai diskusi tingkat RW tersebut. Tepat Juli tahun 2022, usianya baru menginjak 17 tahun dan masih mengenyam bangku sekolah menengah,  atas. Ambu, dianggap cakap oleh para pemuda yang lain, maka terpilihlah dirinya sebagai ketua pelaksana HUT Kemerdekaan tingkat RW.

Setelah pengukuhan, ia bercerita sudah banyak problematika ketika baru menjabat, dimulai dari para anggota yang sulit untuk dikoordinir, pandangan masyarakat yang sentimen, ditambah dengan para ketua RT setempat selalu meragukan kinerjanya. Semua permasalahan itu tentu ada sebabnya, yakni Ambu adalah seorang perempuan yang masih terlalu muda untuk menjabat.

Seketika penulis merenungi dan mempertanyakan sumber permasalahan itu yang disebabkan dari jenis kelamin juga usia. Pada akhirnya, dirinya terpaksa mengikuti pola adat, norma, juga budaya masyarakat setempat yang jauh dari kata "setara dan demokratis".

Baca Juga: SUARA SETARA: Krisis Jati Diri Perempuan di Usia 20 Tahunan
SUARA SETARA: Tentang Perempuan dan Dua Mata Pisau Industri Pariwisata
SUARA SETARA: Perempuan dalam Lanskap Kultur Sunda

Masih Ada Sentimen untuk Perempuan

Bagian ini yang paling epik, tepat setelah dua hari merayakan kemerdekaan Indonesia, puncak masalah yang disebabkan oleh sentimen beberapa pihak. Ambu sudah seperti pelaku kejahatan yang diciduk sepihak oleh Ketua RT setempat dan dibawanya ke balai RW. Persyaratannya, tidak boleh ditemani oleh siapa pun, karena pertemuan ini bersifat tertutup.

Pencidukan tersebut didasarkan atas pengaduan salah satu warga yang menyatakan bahwa sikap Ambu tidak terpuji dan jauh dari kata kesopanan. Sontak kabar miring tersebut tersebar dari mulut ke mulut dan membuat keluarga Ambu kebingungan, hingga mengurung diri.

Setelah ditelusuri, kabar tersebut hanyalah sebuah sentimen belaka yang sengaja diciptakan oleh warga tersebut, karena merasa malu untuk mengakui kesalahannya, terkait mekanisme iuran acara puncak HUT Kemerdekaan. Ambu merasa hal tersebut perlu diluruskan, hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk mendiskusikannya secara personal. Akan tetapi, obrolan personal itu kemudian menyebabkannya terperangkap pada bentuk pendiskriminasian.

Ambu sudah jelas mendapatkan intervensi, para tetua sekaligus pejabat kelas RT itu mengukur kesopanan dan kesantunan dinilai dari cara gerakan tangan seseorang saat hendak berbicara. Mereka pun masih mengamini hakikat kebenaran hanya boleh dipegang oleh golongan tua saja, sementara golongan muda tidak boleh mengkritisi. Posisi Ambu sudah ada di ambang batas, dirinya sesekali ingin menyerah dan mengundurkan diri sebelum berperang, sesuai permintaan keluarga.

Kabar miring pun masih terus terdengar dan itu membuatnya semakin malu. Namun, tekadnya yang begitu kuat tidak bisa membohongi niat perjuangan. Ambu mengaku, bahwa inilah saatnya untuk membuktikan bahwa perempuan muda juga cakap. Atas dasar tekad yang kuat itu, seolah mampu membalikkan keadaan secara total.

Memperjuangkan Hak Setara

Dengan cerdiknya, ia mulai melakukan pendekatan secara gerilya dengan cara sederhana, yaitu bermain catur, bermain kartu, berolahraga bersama, ataupun mendengarkan curahan hati para anggotanya. Lewat cara itulah, akhirnya dirinya bisa mendapat kepercayaan kembali, bahkan support dari para seniornya.

Pengukuran mengenai keberhasilan suatu acara hanya bisa dipimpin oleh seorang laki-laki dewasa, kini sudah berhasil ia patahkan. Menurut warga, acara yang dipimpin oleh Ambu adalah acara yang paling mewah dan berhasil menjadikannya sebagai pesta rakyat. Bintang tamu pun begitu beragam dari mulai aktris hingga penyanyi Pop Sunda terkenal mengisi rangkaian acaranya. Tidak lupa dengan berbagai penampilan adat Sunda yang turut menghiasi panggung. Bapak Lurah hingga Anggota DPR hadir memberikan apresiasi penuh atas acara yang diselenggarakan.

Semuanya tampak berbahagia pada malam hari itu, hingga akhirnya mereka mengakui bahwa Ambu adalah perempuan pertama yang berhasil menghadirkan acara bermakna bagi warganya di tempat tersebut. Itulah kisah dari sudut timur, Kota Bandung tentang srikandi muda yang telah memperjuangkan hak setaranya.

“Jika masalahnya adalah aku sebagai perempuan, maka akan aku tunjukkan bagaimana tekad seorang perempuan itu,” Ambu.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//