• Kolom
  • SUARA SETARA: Perempuan dalam Lanskap Kultur Sunda

SUARA SETARA: Perempuan dalam Lanskap Kultur Sunda

Perkembangan sejarah menunjukan bahwa masyarakat Sunda kuno pernah berkembang pada budaya matriarki, kaum perempuan memiliki posisi yang lebih tinggi dari laki-laki.

Neng Tanti Septiani Hidayat

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Sunda - Great UPI.

Gedung UPTD PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Jawa Barat di JalanL. L. R.E. Martadinata, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung, Senin (1/8/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

1 November 2022


BandungBergerak.idPerempuan dapat menentukan arah geraknya sendiri tanpa tekanan dari orang lain. Perempuan dapat dengan bebas mengekspresikan diri dan menggapai apa yang sebenarnya ia mau. Karena pada dasarnya, manusia berhak memilih jalan hidupnya. Tanpa terkecuali.

Keberadaan perempuan dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya. Sebab budaya mengakar dan terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam lingkup terkecil masyarakat, yaitu keluarga.

Namun kebudayaan atau kebiasaan yang ada sekarang ini tidak mengakar dari awal bumi ini terbentuk, tetapi didorong oleh paham-paham lain dan pola pikir yang berbeda.

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh cerita inspiratif yang saya dapatkan ketika berkunjung ke Kampung Adat Naga Tasikmalaya untuk menuntaskan tugas perkuliahan. Saya mewawancarai seorang pemandu perempuan.

Menjadi satu-satunya pemandu perempuan dan termuda di kampung Adat Naga Tasikmalaya tidak menyurutkan keinginannya untuk mengenyam pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di tengah gempuran tuntutan menikah yang berlaku dalam masyarakat. Terlebih lagi menyoal pernikahan dan umur menikah perempuan pada usia 19-20 tahun menjadi cap bagi perempuan itu sendiri.

Namun baginya, belajar adalah proses yang penting. Tujuan belajarnya itu pun bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk desanya. Sebuah spirit untuk perempuan lain yang membaca ini, bahwa perempuan bisa berdaya dan memberdayakan.

Perempuan dalam Sejarah Sunda

Perkembangan sejarah menunjukan bahwa masyarakat Sunda kuno pernah berkembang pada budaya matriarki, di mana kaum perempuan memiliki posisi yang lebih tinggi dari laki-laki. Tradisi dan keyakinan dalam Sunda Kuno menempatkan posisi perempuan sebagai sosok yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Informasi tersebut didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Heryana (2012) yang berjudul Mitologi Perempuan Sunda.

Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa perempuan dalam dunia mitologi Sunda berada pada kedudukan yang terhormat. Kedudukan, harkat, dan martabatnya tidak berada di bawah kekuasaan laki-laki, bahkan dalam hal-hal tertentu menduduki tempat strategis dalam kerangka melahirkan seorang manusia yang berkualitas.

Sejarah mencatat bahwa kiprah perempuan sunda masa lalu yang tak terbantahkan. Salah satu tokoh yang dijadikan panutan adalah Bhatari Hyang, penguasa Kerajaan Galunggung yang merupakan cikal bakal berdirinya Kabupaten Tasikmalaya. Bhatari Hyang mendirikan Kerajaan Galunggung pada tahun 1111 M, ia berkuasa selama kurang lebih lima puluh tahun (1111-1152).

Bhatari Hyang dikenal dengan ajarannya mengenai tetekon hirup yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakandang Karesian, ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Tokoh perempuan ini pula yang dalam kropak 630’ (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati atau sang bijaksana atau sang budiman.

Bhatari Hyang merupakan panutan dalam keagamaan dan keyakinan (Sejarah Tasikmalaya, 2020, 6 Juli). Ia juga membangun parit untuk menahan serangan dari pihak lawan, hal ini membuktikan bahwa Bhatari Hyang sebagai sosok pemimpin perempuan memiliki tanggung jawab besar akan keamanan kerajaan dan rakyatnya. Selain Bhatari Hyang masih ada empat Ratu yang memimpin Kerajaan Galunggung secara turun temurun, yaitu Ratu Saung Galah, Ratu Galung Sakti, Ratu Sembah Golok, dan Ratu Panyosongan.

Baca Juga: SUARA SETARA: Penindasan Ganda Buruh Perempuan
SUARA SETARA: Mbak Maudy, G20, dan Arah Pendidikan Kita
SUARA SETARA: Menanamkan Nilai Sensitivitas Gender pada Laki-Laki

Sosok Perempuan dalam Karya Sastra Sunda

Salah satu karya sastra yang menggambarkan posisi wanita dalam budaya dan masyarakat Sunda ialah sastra lisan Lutung Kasarung. Banyak wanita dalam cerita ini menempati tokoh atau figur utama. Salah satunya adalah Sunan Ambu yang merupakan tokoh tertinggi dalam kosmos orang Sunda. Sunan Ambu merupakan dewa tertinggi yang membawahi para pujangga sakti (empat orang laki-laki).

Sunan Ambu dikisahkan menjadi ketua dewa di kahyangan dan menjadi decision maker jika ada masalah apa pun yang muncul di dalam kehidupan manusia di bumi. Sunan Ambu adalah sosok perempuan gaib penguasa kahyangan dalam kepercayaan Sunda buhun. Namun bukan hanya itu, arti dari Sunan Ambu sendiri di dalam bahasa Indonesia yaitu berarti “Ratu Ibu” atau “Dewi Ibu”, yang di dalam mitologi masyarakat Sunda bermakna sebagai “Ibu” yang merawat tanah air serta lingkungan hidup yang harus dimuliakan.

Energi Positif

Cerita yang saya temui menjadi energi positif bagi diri saya sendiri. Sebab perempuan dalam masyarakat kerap kali terikat aturan adat serta pandangan dari masyarakat. Misalnya, “Jadi perempuan itu gak usah sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya juga nikah, dibiayain sama suami”.

Belum lagi julukan “perawan tua” atau “gadis lapuk” bagi perempuan yang belum menikah di usia cukup matang dalam cap masyarakat. Perkataan tersebut bisa saja mematahkan semangat perempuan, sehingga mengatur mereka untuk kembali pada standar yang ada di masyarakat saat ini. Padahal pada hakekatnya, perempuan bisa berdaya dan memberdayakan sekitar dengan kemampuan yang mereka miliki.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//