• Opini
  • SUARA SETARA: Mbak Maudy, G20, dan Arah Pendidikan Kita

SUARA SETARA: Mbak Maudy, G20, dan Arah Pendidikan Kita

Selepas menengok video pendek di Intagram Maudy Ayunda, betapa kaget saya bukan kepalang: dia memproklamirkan diri sebagai Juru Bicara Indonesia untuk G20.

Tofan Aditya

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI, Ketua UKSK UPI. Aktif di Hima Satrasia, ASAS, dan Literat.

Hari pertama sekolah di SD inklusi, SDN Puteraco Indah, Bandung, Senin (18/7/2022). Pendidikan yang baik adalah yang mampu memfasilitasi semua bakat dan potensi masing-masing murid, tanpa diskriminasi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

19 Juli 2022


BandungBergerak.id -Saya adalah penggemar Mbak Maudy, oh maaf, maksud saya Ayunda Faza Maudya, BA., MA., MBA.. Hah? Masih bertanya kenapa? Jelas, dia seorang artis, penyanyi, penulis lagu, produser musik, penulis buku, bintang iklan, siapa yang menyanksikan karir seperti itu di usia belia? Belum lagi, beliau cerdaslah sangat. Lihatlah gelar yang menempel pada namanya itu, lulusan luar negeri lagi! Dan, yang paling membuat saya iri, dia memiliki keluarga yang sangat suportif, baik secara mental maupun finansial [Desi Murniati, "3 Hal yang Bikin Kamu Nggak Akan Bisa Jadi Maudy Ayunda," Mojok.co, diakses pada 26 April 2022].

Prolog

Ah, rasanya tak ada alasan untuk tak mengagumi Mbak Maudy. Tapi, 31 Maret 2022 lalu, selepas menengok video pendek di Intagram @maudyayunda, betapa kaget saya bukan kepalang: dia memproklamirkan diri, sebagai Juru Bicara Indonesia untuk G20. Detik itu pula, saya ikut memproklamirkan diri, sebagai Eks Penggemar Maudy Ayunda. Saya kecewa, Mbak!

Mbak Maudy, saya berhenti menggemari kamu bukan karena kamu gimmick. Saya tidak mau disamakan seperti orang lain. Terlepas gimmick atau bukan, saya yakin, kamu akan cukup cakap menjalani pekerjaan ini. Tapi yang jelas, bukan itu permasalahannya. Masalahnya ada pada keberpihakan. Saya ulangi Mbak, KE-BER-PI-HA-KAN!

Sejujurnya, saya juga belum paham-paham amat menyoal G20. Saya hanya tahu itu buruk karena diisi oleh Amerika Serikat dan pasti memuat kepentingan Imperialisme. Sikap itu semakin kuat dengan logika dasar dari pikiran saya: “mungkinkah seluruh permasalahan pokok di dunia ini dapat selesai dengan hanya dirundingkan oleh 20 orang? Hey, bahkan itu kurang untuk sekadar pertandingan sepak bola!”.

Sebagai orang yang berpendidikan, Mbak Maudy pasti tahu soal ini, kan? Tidak perlu diragukan. Tapi, Mbak tahu apa yang akan terjadi dengan pendidikan kita ketika berpihak ke sana? Mari Mbak, kita duduk bareng buat membahas ini.

Sedikit Tentang G20 alias Group of Twenty

G20 alias Group of Twenty adalah sebuah platform multilateral strategis yang menghubungkan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia, begitulah yang tertulis dari situs resminya [About The G20]. Seperti namanya, G20 berisi 20 anggota (ya masa yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa). Hebanya, Indonesia masuk ke dalamnya. Luar biasa! Meski hanya berjumlah 20, seluruh anggota tersebut telah merepresentasikan 80% perekonomian dunia, 75% perdagangan internasional, dan 60% populasi dunia. Oh dan tak lupa 75% emisi gas rumah kaca global [Vika Azkiya Dihni, “Warga Negara G20 Mana Penghasil Emisi Karbon Terbesar?”, KataData, diakses pada 26 April 2022].

Lahir atas dasar Krisis Keuangan Global 1997-1999, G20 telah mampu mempengaruhi roda perekonomian dunia. Tapi kok iso yo Indonesia masuk ke dalam circle ini. Wong Indonesia juga ndak kuat-kuat banget kalau dibanding negara lain, ya kan?

Kita tak boleh suudzon. Kita mesti mencari faktanya. Ternyata, alasan tersebut bisa kita dapatkan dari tulisannya Om Ibbitson dan Bibi Perkins di The Globe and Mail.

“Thailand adalah penghubung krisis perbankan Asia, tetapi Indonesia lebih berpengaruh di kawasan itu. Indonesia masuk; Thailand keluar. Chili menggoda, karena demokratis dan dikelola dengan baik, tetapi Argentina adalah pemain yang lebih besar. Argentina mendapat kursi. Arab Saudi secara strategis penting dan teman baik Amerika Serikat. Saudi akan mendapat undangan.”

Wah jadi ini toh alasannya. Cuma masalah posisi, pengaruh, dan kedekatan yah? Kok kayak mirip menyeleksi pelamar kerja yah? Mirip cara kerja orang dalem!

Ya kalau posisinya begitu, Indonesia benar-benar terjebak dalam circle toxic dong. Indonesia paling-paling hanya bisa manut-manut saja ketika negara adikuasa sudah berbicara. Kalau kata Mas Anto, ini cuma upaya buat merangkul kawan dan (potensi) lawan dan membawa mereka ke meja perundingan untuk memaksakan dan melanggengkan kapitalisme secara global. Hih serem!

Baca Juga: SUARA SETARA: Penindasan Ganda Buruh Perempuan
SUARA SETARA: Mendefinisikan Ulang Konsep Perempuan Cantik
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan

G20 Summit dan Kebijakan yang (Mungkin) Hadir

Kita mulai dengan melihat isi dari G20 Summit di Toronto, Kanada pada tahun 2010. Dalam deklarasi setebal 27 halaman, terdapat dua kata kunci: konsolidasi fiskal dan perang melawan proteksionisme. Pertama, konsolidasi fiskal dapat diartikan sebagai pengurangan defisit pemerintah. Maknanya, pemerintah harus memangkas subsidi-subsidi yang bersifat sosial. Akibatnya, rakyat harus membayar lebih mahal untuk aneka macam ongkos vital seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, ongkos transportasi, listrik, dan lain-lain.

Kedua, perang melawan segala bentuk proteksionisme dengan merujuk kepada mantera “perdagangan bebas”. Bukan juga baru, karena ini merupakan pengulangan retorika kebijakan yang tidak konsisten dan gagal dilaksanakan dari aneka kesepakatan internasional sebelumnya. G20 Summit 2008, misalnya, juga menganjurkan hal sama. Tetapi, negara-negara kapitalis maju tetap berusaha melindungi perusahaan-perusahaan mereka supaya terus unggul dalam kompetisi pasar global yang ganas. Yang paling umum terjadi adalah soal pajak ekspor. Dukungan pemerintah Amerika Serikat, Perancis, German dan lain-lain terhadap industri-industri otomotif asal negerinya tetap berlanjut. Atau, pengalaman terkenal yang memicu ketegangan antara Amerika Serikat dan Kanada adalah kebijakan paket stimulus fiskal Obama yang mensyaratkan ‘Buy American’ kepada setiap perusahaan penerima paket dukungan itu. Kebijakan ini segera memicu gelombang aksi boikot barang-barang Amerika di Kanada dan kemarahan para pimpinan politisi dan pengusaha-pengusaha Kanada.

Dalam bahasan kali ini, saya ingin mengerucutkan kebijakan-kebijakan G20 yang berpengaruh ke pendidikan. Pasti kita tidak asing dengan program Kampus Merdeka, betul kan? Nah, ternyata, permasalahan terkait “Magang Berkualitas” telah menjadi arahan dari G20 ini. Dalam G20 Joint Education and Labour and Employment Ministers' Declaration [G20, “G20 Joint Education and Labour and Employment Ministers' Declaration”] pada 2021 di Itali, dalam poin 12 disebutkan:

We continue to promote the G20 Initiative to Promote Quality Apprenticeships (Beijing, 2016), including by further strengthening national and local partnerships between vocational education and training institutions, employers, trade unions, start-ups, local authorities and other relevant actors. We will encourage and support employers in providing opportunities for work-based learning, including dual training systems and practices, and apprenticeships, especially in small and medium- sized enterprises.

Tengok, semuanya bisa tengok! Promote Quality Apprenticership atau Magang Berkualitas memang sudah diwacanakan sejak 2016. Dan, pada tahun 2021 Kampus Merdeka benar-benar didorong oleh pemerintah agar diikuti oleh institusi, pendidik, maupun peserta didik.

Itu hanya salah satu contoh yang bisa saya ambil, sisanya barangkali kawan-kawan menemukan sendiri. Namun, hal lain yang sudah nampak dan jelas adalah Indonesia tahun ini menjadi Presiden sekaligus Tuan Rumah Konferensi Tingkat Tinggi G20 ini. Dan sekaligus, telah menentukan bahasan pendidikan apa yang akan dibawa ke dalam forum tersebut.

Dalam acara Kick Off G20 On Education and Culture, Nadiem Makarim, mengatakan bahwa akan ada empat prioritas dari Education Working Group, yaitu pendidikan universal yang berkualitas, teknologi digital dalam pendidikan, solidaritas dan kemitraan, serta dunia kerja pasca-Covid-19.

Kemudian timbul pertanyaan, ketika semua ini dilempar ke dalam forum G20, apakah kemungkinan yang terjadi? Semakin dekatkah kita pada penyelesaian masalah pendidikan atau sebaliknya?

G20 dan Kapitalisasi Pendidikan, ke Mana Mestinya Kita Beranjak

Jika kita kembali pada empat masalah yang akan dibawa oleh Kemendikbudristek ke G20, ada beberapa catatan yang ingin saya sampaikan. Pertama, terkait pendidikan universal yang berkualitas. Intinya, ada dua masalah: pendidikan tak universal dan pendidikan tak berkualitas. Terkait kedua hal ini, bukankah Amerika Serikat (yang juga tergabung dalam G20) mestinya bertanggung jawab?

Kita pasti amat sering mendengar terkait perjanjian GATS yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu komoditas jasa, kan? Nah dari situlah justru pendidikan jadi tak universal lagi untuk semua. Hanya orang miskin yang pintarlah yang mampu mengakses pendidikan. Sementara orang miskin yang bodoh akan semakin jauh dari pendidikan. Dan, masa depannya akan semakin kelam. Lalu, terkait pendidikan tak berkualitas, akar masalahnya ada di sistem pendidikan kita. Andaikata, sistem pendidikan masih diarahkan untuk mencetak tenaga kerja, dalam arti lain terpisah dari lingkungan, ya para peserta didik akan semakin teralienasi dari lingkungannya. Kualitas pendidikan kita akan semakin diperburuk dengan kurikulum yang sering berganti-ganti, standar yang rancu (barangkali kawan-kawan bisa ikut berdiskusi terkait ini), dan guru yang tak dijamin kesejateraannya.

Kedua, teknologi digital dalam pendidikan. Maaf, pertama kali saya mendengar ini, saya langsung melihat pendidikan yang kotasentris, sebab, di desa digitalisasi masih sangat jauh untuk hanya sekadar mungkin. Mungkin, Pak Nadiem Makarim lupa kalau beberapa waktu ke belakang Bapak tidak tahu kalau masih ada rumah yang tidak ada listrik, kawasan yang tidak ada internet? Ya, itu kenyataannya, Pak!

Digitalisasi yang dimaksud, baik di kota maupun di desa sebetulnya masih tertinggal. Desa-desa di Indonesia masih banyak yang berada pada level pertama, kesenjangan akses. Akses di sini tergantung perangkat keras maupun perangkat lunak. Di kota, kebanyakan level pertama telah dilewati, selanjutnya mengalami level kedua, kesenjangan keterampilan. Keterampilan yang dimaksud di sini adalah keterampilan terkait medium dan konten. Keterampilan medium adalah kemampuan untuk mengoperasikan perangkat. Keterampilan konten terdiri dari kemampuan mengolah informasi (mencari, memilih, dan menilai informasi), berkomunikasi (membuat identitas daring, mengirim surel, dan beropini dengan baik), kemampuan strategis (menggunakan TIK untuk mencapai tujuan profesional dan personal), serta menciptakan konten (berkontribusi di internet dengan rencana atau desain tertentu). Level ketiga adalah kesenjagan hasil. Secara sederhana, kesenjangan ini terjadi ketika status sosial-ekonomi seseorang mempengaruhi hasil dari menggunakan teknologi digital [Rangga Naviul Wafi & Yovantra Arief, “Indonesia 4.0: Nafsu Banyak, Tenaga Kurang,” Remotivi, diakses pada 26 April 2022].

Rasa-rasanya, kalau melihat ketiga level tadi banyak yang belum terpenuhi, teknologi digital dalam pendidikan terlalu sulit untuk diraih. Saya tahu, maksud Bapak untuk menyesuaikan dengan situasi zaman. Tapi kalau situasinya tak memungkinkan, apa mau dikata?

Selanjutnya, solidaritas dan kemitraan. Jika melihat pola pendidikan kita beberapa tahun ke belakang, melalui program Kampus Merdeka, sejatinya kita sudah saling bersolidaritas dan bermitra. Dan dari pengalaman itu, nampaknya peserta didik selalu menjadi pihak yang dirugikan dan perusahaan menjadi pihak yang diuntungkan. Banyak dari peserta didik yang tidak mendapatkan haknya atas kerjanya, sementara dengan dalih nilai, peserta didik menjadi buruh gratis bagi perusahaan. Tanpa jaminan kesejahteraan bagi mereka. Apakah solidaritas dan kemitraan yang diinginkan oleh Kemendikbudristek hanyalah cara untuk melepaskan tanggung jawab negara akan pendidikan dan mengalihkannya kepada mitra?

Terakhir, dunia kerja pasca-Covid-19. Nih, biasanya nih yah, yang terakhir-terakhir tuh titipan, biasanya sih. Apakah poin terakhir ini juga titipan dari para perusahaan yang mulai membutuhkan reproduksi tenaga kerja yang lebih fresh, patuh, dan murah untuk menjalankan roda perusahaan? Hmm, titipan yah? Bisa jadi sih.

Pak, andaikata saya boleh memberi saran, berunding dengan G20 tidak akan menyelesaikan semua masalah yang Bapak sebut. Lagian aneh, mau ngobrolin apa di G20? Mau mewakili siapa? Toh, bapak saja masih kaget kalau ada daerah yang belum ada listrik.

Epilog

Sebetulnya, saya masih ingin melanjutkan tulisan ini, karena masih banyak yang belum terbahas. Tapi ternyata saya sudah terlalu lelah dan nampaknya tulisan ini sudah terlalu panjang. Oleh karenanya, saya selesaikan saja tulisan ini dengan membuat “Epilog” dan permohonan maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan.

Akhir kata, saya ingin kembali ke Mbak Maudy. Ada pesan yang ingin saya sampaikan kepada beliau. Sebagai yang katanya dekat dengan Marx dan suka cara pandang Materialisme Dialektika Historis [Aris Setyawan, “Menjura Kepada Maudy Ayunda,” Pophariini, diakses pada 26 April 2022], kenapa tidak Mbak Maudy gunakan untuk mematakan posisi dan keberpihakan? Lebih jauhnya, bersama mengubah penindasan ini?

* Penulis sekaligus Eks Penggemar Maudy Ayunda

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//