PAYUNG HITAM #6: Rafi dan Impotensi Sistem Pendidikan
All good education is fun. Apalah kalimat bijak ini berlaku pada sistem pendidikan di Indonesia? Kita bisa menyimaknya dari kasus Rafi Azzahmy.
Aoelia M.
Penulis lepas dan aktivis perempuan, bergiat dalam gerakan literasi dan pemberdayaan perempuan
13 Juli 2022
BandungBergerak.id - Animo masyarakat berkembang pesat terhadap gugatan seorang siswa SMK bernama Rafi Azzahmy kepada sistem pendidikan Indonesia. Dua esai yang terbit di salah satu situs lokal mengawali riuhnya pembahasan mengenai wacana pendidikan terutama di dalam aspek kedisiplinan. Narasi-narasi yang dibangun Rafi tentang ilusi kedisiplinan yang hadir di sekolah sejatinya dapat kita rasakan begitu dekat. Aturan-aturan yang sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan pembelajaran seperti halnya panjang-pendek rambut siswa, pelarangan pewarnaan rambut, jam belajar hingga ketertiban seragam.
Pasti sebagian dari kita sudah lama bertanya-tanya dan diam-diam juga memprotes mengenai birokrasi sekolah dan embel-embel kedisiplinan yang mereka pegang. Sekolah menciptakan ilusi seolah-olah pengaturan mengenai panjang-pendek rambut siswa, kerapian, kebersihan, jam belajar, adalah mengenai bagaimana kita dipersiapkan untuk menghadapi dunia para pekerja yang memerlukan keseragaman dan diciptakan sebagai sarana nondiskriminatif.
Namun, apakah ada barang sebiji saja relevansi dari peraturan-peraturan tersebut terhadap intelektualitas seseorang? Rafi mempertegas perspektif ini dengan sebuah pernyataan, “Sekolah seringkali lupa bahwa tugas utamanya adalah mencerdaskan manusia” [omong-omong.com].
Kita harus menyadari bahwa sekolah-sekolah yang ada pada hari ini telah luput dalam menjalankan tugas utamanya. Alih-alih berfokus pada bagaimana mengisi ‘gelas-gelas kosong’ yang ada dalam kepala setiap murid, pendidikan kini menjadi komoditas yang hanya bisa diraih oleh orang-orang yang mampu. Bagaimana bisa? Bukannya pemerintah sudah menggalakkan program belajar 9 tahun?
Dalam institut pendidikan negeri pun sudah menjadi santapan yang sangat lumrah akan adanya penyelewengan hak-hak pelajar. Kuota pelajar dalam program wajib belajar yang diusung sekolah tidak jarang justru didominasi oleh siswa-siswa berduit yang mampu membayar sejumlah uang demi gengsi masuk institut pendidikan negeri. Hal yang sama terjadi dengan subsidi pendidikan salah sasaran yang mana sudah sempat saya bahas di seri sebelumnya.
Semasa saya bersekolah dulu, saya harus menghadapi serangkaian acara jalan-jalan nggak penting yang entah bagaimana menjadi sebuah tolok ukur pengambilan nilai. Kejadian yang sama pun terjadi pada masa adik-adik saya bersekolah, di mana setiap minggu kelas mereka mengadakan serangkaian acara jalan-jalan nggak penting yang mana mereka diwajibkan untuk ikut, atau konsekuensinya mereka akan menjadi siswa yang terkucilkan. Lalu, kita akan dimintai sejumlah uang untuk membayar bis dan lain-lain tanpa melihat sisi kemampuan siswa yang bersangkutan.
Acara jalan-jalan ini tidak sembarangan saya bilang nggak penting. Let’s say, acara itu embel-embelnya adalah study tour. Namun, apakah dalam jalan-jalan itu ada materi khusus yang diajarkan kepada para siswa? Apakah ada urgensi tertentu kenapa misalnya kita harus mengunjungi tempat tersebut pada waktu yang sudah ditentukan? Faktanya—dan sudah sangat sering terjadi baik dalam insitut pendidikan swasta maupun negeri—acara jalan-jalan yang so-called-study-tour ini cuma komoditas lain yang dipaksakan kepada para siswa. Tidak ada urgensi, tidak ada materi yang diajarkan. Acara tersebut tidak lebih dari bisnis komite sekolah, kumpul sosialita para orang tua murid dan ajang pamer kuasa.
Merujuk Alfian Bahri dalam esainya, insitusi pendidikan yang kita punyai di saat ini alih-alih mencerdaskan tapi malah memiskinkan. Sekolah tidak repot-repot mempertimbangkan faktor ekonomi, kondisi keluarga, orientasi bersekolah, dan latar belakang lainnya dalam melakukan eksekusi pembelajaran.
Menanggapi pemikiran-pemikiran Rafi dan terbitnya kesadaran-kesadaran baru dalam wacana ini setidaknya sudah bisa membuka harapan kita bahwa pendidikan yang setara tidak utopis-utopis amat. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki sistem yang eksis, masih ada kesempatan untuk meraih kaum marjinalisasi dan mengembalikan fungsi pendidikan kepada orang-orang yang mau dan perlu, bahwa pendidikan bukan hanya untuk mereka yang memiliki privilese. Masih ada cara-cara lain untuk belajar di samping duduk di dalam ruangan selama delapan jam sehari dan jalan-jalan sosialita nggak penting.
Ada beragam cara menyenangkan untuk belajar, seperti dalam lirik lagu Deugalih, “..when all the children love to smile, because all of good education is fun.”
Baca Juga: PAYUNG HITAM #3: Pendidikan Kita Baik-Baik Saja, Kok (?)
PAYUNG HITAM #4: Muhammad, Maria, dan Hal-hal di Antaranya
PAYUNG HITAM #5: Apa yang Bisa Diperbuat Setelah Pemekaran Papua?
Ruang Belajar Alternatif
Pada awal kehadiran saya di Kota Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) adalah tempat pertama saya untuk belajar. Bagaimana bisa? Saya bukan salah satu mahasiswa di sana. Kawan-kawan sayalah yang membawa dan menyertakan saya untuk beragam kegiatan pembelajaran yang dilangsungkan di kampus. Saya ikut serta pada tiap kajian, diskusi, acara-acara fakultas, nobar dokumenter terbaru hingga sahur dan ngeliwet bersama. Tidak ada diskriminasi, tidak ada yang nanya-nanya KTM atau bernarasi “lo kan bukan mahasiswa sini ngapain lo belajar di sini?”.
Ruang Studi Jatinangor pun sama halnya dengan unit-unit kemahasiswaan Universitas Pendidikan Indonesia. Berdasarkan yang saya tahu, bertahun-tahun lamanya Ruang Studi Jatinangor menjadi ruang belajar yang nondiskriminatif dan universal. Meski mungkin di hari ini kita akan terhalang beberapa satpam nyebelin yang menginterogasi tiap orang yang memasuki daerah kampus.
Kawan-kawan saya dari dua universitas ini hanyalah segelintir dari mereka yang memiliki kesadaran akan pentingnya pemerataan pendidikan dan literasi publik.
Maka, beranjak dari adorasi saya terhadap Ruang Studi Jatinangor dan unit-unit kemahasiswaan Universitas Pendidikan Indonesia, terpikir oleh saya tentang eksistensi ruang belajar alternatif. Sebuah ruang belajar yang tidak memerlukan seragam, almamater, jutaan uang pangkal untuk mengakses pendidikan. Ruang belajar yang terbuka untuk semua orang yang berniat untuk belajar bukan hanya untuk orang-orang yang memiliki privilese dan kesempatan.
Di bulan ini, saya dan beberapa kawan lainnya memanfaatkan ruang di Tamansari yang sudah tidak aktif untuk membangun sebuah perpustakaan di sana. Ruang kecil di samping masjid yang berukuran 3x4 meter itu telah kami rapikan dan kami siapkan untuk tempat tinggal sejumlah buku-buku. Buku-buku itu selain merupakan distribusi dari sejumlah toko buku lokal dan pegiat literasi yang ogah disebutkan namanya, juga berasal dari donasi personal dari rekanan saya yang tersebar dari luar kota.
Kami berharap dengan aktivasi ruang perpustakaan ini selain menjadi ruang bersemayam bagi buku-buku namun juga bisa menggerakkan masyarakat Bandung untuk saling bahu membahu membenahi pendidikan yang terbengkalai oleh pemerintah.
Saat ini kami masih menerima donasi, jadi, jika kamu mau menertawakan impotensi pemerintah terhadap pendidikan bersama kami, kamu bisa merunut kontak kami atau pergi langsung ke reruntuhan Tamansari dengan sejumlah bantuan yang sudah kamu siapkan. A luta continua!
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung