PAYUNG HITAM #5: Apa yang Bisa Diperbuat Setelah Pemekaran Papua?
Pro kontra dari pemekaran 3 provinsi baru di Papua begitu kompleks. Pemekaran Papua juga menjadi warna baru dalam pelanggaran HAM.
Rama Zatriya Galih Panuntun
Pegiat Aksi Kamisan Bandung.
7 Juli 2022
Baca Juga: Perkenalkan Sorgum, Tanaman Pangan yang Tahan Terhadap Musim Kemarau
Pakar: Benih dengan Postur Tinggi Cocok untuk Lahan Rawa
BandungBergerak.id - Judul di atas bisa menjadi pertanyaan reflektif negeri ini sekaligus kita sebagai warganya yang terus berbenah demi mendapatkan penghidupan yang layak. Dalih infrastruktur menjadi nomor wahid kartu as pemerintah dalam pemekaran Papua minggu lalu. Seperti apa yang dikatakan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang dikutip dari Reuters bahwa "(Pemekaran Papua) untuk mempercepat pembangunan di Papua untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua, terutama orang asli Papua" [Reuters.com: Indonesia passes contentious law to create more provinces in Papua].
Selain pernyataan mempertegas kalau Papua “tertinggal” pemerintah seolah ingin menutup semua jejak hitam pelanggaran HAM yang diukir indah. Mulai dari marginalitas, kesenjangan, penganaktirian hingga pembungkaman di atas langit cenderawasih itu. Dari sekian jilid gelombang penolakan wacana pemekaran Papua tetap direalisasikan. Dan pemerintah (lagi) tak mengindahkan aspirasi aksi penolakan berkali-kali dilakukan itu – seperti biasanya.
Dalam lingkup individu, mungkin tidak akan terasa secara langsung apa yang terjadi dari mekarnya provinsi yang ada di Indonesia dari 34 provinsi, kini kita Indonesia memiliki 3 provinsi baru. Tiga provinsi baru yang dimaksud adalah hasil pemekaran di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah [Kompas: Serba Serbi Pemekaran 3 Provinsi di Papua, Indonesia Jadi 37 Provinsi].
Namun secara akumulatif komunal, dampaknya selaras dengan bertambahnya jumlah provinsi yang ada di Indonesia beriringan pula dengan pelanggaran HAM-nya. Pertikaian antaretnis di dalam (maupun di luar) Papua adalah permukaan, Yadohamang, pemuda difabel berusia 24 tahun yang dibentak dan diinjak kepalanya oleh dua anggota polisi militer Angkatan Udara (Pomau) di Kabupaten Merauke, Papua, pada 26 Juli 2021 [Betahita.id: Catatan Pelanggaran HAM di Tanah Papua pada 2021], pun kulitnya. Pro kontra agraria dari pemekaran 3 provinsi baru di sana antara masyarakat adat dan pemerintahan setempat yang begitu kompleks juga menjadi warna baru dalam pelanggaran HAM di tanah surga yang turun ke bumi itu.
Amnesty sendiri mencatat setidaknya 5 permasalahan yang mendesak untuk diselesaikan, di antaranya pembunuhan di luar proses hukum dan penahanan sewenang-wenang, pelanggaran hak berserikat dan berkumpul, Aktivis Damai Papua tak mendapat proses hukum yang adil, pembatasan akses informasi dan Kondisi hidup pengungsi Nduga tidak layak [Amnesty].
Permasalahan HAM di Papua tidaklah jauh bukan karena jarak. Permasalahan HAM juga hadir di depan mata kita. Baik itu hadir di tongkrongan, bareng tetangga, pas lagi ngeronda bahkan pas lagi aksi misalnya!
Juga permasalahan HAM tidak melulu soal bunuh-membunuh. Ketika kita merasa terancam, merasa tidak bebas dan dibatasi bahkan dikekang. Itu pertanda alarm.
Jika Pancasila dapat ditemukan di setiap hati kita rasanya kita tidak butuh lagi militer. Bukan menandakan bahwa militer tidak penting, namun kehadiran militerisme menandakan ada hal yang harus dijaga, ada hal yang harus dilindungi, ada hal yang harus dipertahankan.
Bagaimana jika Pancasila berbentuk cinta hadir bersama di tengah kehidupan kita, kita justru saling menjaga, kita saling melindungi tanpa senjata. Karena yang kita sebar adalah cinta bukan ketakutan. Yang kita sebar adalah welas asih bukan sakit menyakiti antarsesama.
Tawaran Rekonsiliasi
Bisa dibilang ini menjadi tawaran dari pihak ketiga, ketika dari pihak masyarakat dan pemerintah kita sendiri buntu mengenai jurus apa yang harus dihapal bersama menangkal yang namanya pelanggaran HAM di lingkungan kita. Lahirnya kolaborasi Komnas HAM bersama UNESCO untuk sepakat memperkuat peningkatan kapasitas institusi pemerintah di pusat dan di provinsi dalam menganut prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan tugasnya [M Djelid, UNESCO].
Walau kesepakatan ini terjadi tahun lalu, setidaknya napas segar usaha untuk menirkan pelanggaran HAM berembus. Untuk pihak pemerintah demikian, tinggal kita kawal dan awasi saja pelaksanaanya di lapangan.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #2: Bunga dan Tembok di Dago Elos
PAYUNG HITAM #3: Pendidikan Kita Baik-Baik Saja, Kok (?)
PAYUNG HITAM #4: Muhammad, Maria, dan Hal-hal di Antaranya
Lalu bagaimana dengan Warga?
Hak Asasi Manusia warga sipil dijamin pemerintah melalui suara dari Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, Ida Siswanti, S.H., M.H. yang mengungkapkan bahwa kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain. Untuk itu setiap orang berkewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain tanpa terkecuali. Kewajiban ini juga berlaku bagi organisasi mana pun terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi, menghormati, menjamin dan membela HAM setiap warga negara dan penduduknya [Kementerian Pertahanan].
Semoga dengan bertambahnya provinsi di Indonesia sejalan dengan harapan pemerintah untuk dapat menjangkau penyebaran kesejahteraan melalui apa pun bidangnya, baik dari infrastruktur, peningkatan sumber daya manusia, ekonomi, sosial budaya, akademik dan lain-lain. Bukan semakin banyak provinsi semakin gemuk birokrasi namun semakin bijak dalam mengatur warganya.
Karena HAM adalah tanggungjawab kita semua tetapi secara normatif pihak yang paling yang bertanggungjawab secara hukum adalah negara, dalam hal ini pemerintah. Kita sebagai aparatur negara atau aparatur pemerintahan secara hukum bertanggungjawab terhadap kemajuan perlindungan dan penegakan HAM [Kementerian Pertahanan].
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung