KontraS Meminta Kapolri Mengevaluasi Kinerja Kepolisian Daerah Papua
Tuntutan ini buntut dari penggeledahan dan penangkapan terhadap para aktivis di Kantor KontraS Papua. Pernyataan sikap muncul dari aktivis Bandung hingga Yogyakarta.
Penulis Iman Herdiana12 Mei 2022
BandungBergerak.id - KontraS menyatakan aparat kepolisian di Jayapura diduga melakukan tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum dengan melakukan penggeledahan dan penangkapan aktivis di Kantor KontraS Papua, Selasa (10/5/2022). Hal ini seharusnya tidak dilakukan di negara yang menjunjung hukum dan HAM.
Sekjen Federasi KontraS, Andy Irfan, melalui keterangan pers yang diterima BandungBergerak.id, menyatakan pihaknya mendapatkan laporan dari Jayapura, Papua, bahwa pada Selasa itu sejumlah aparat keamanan masuk ke Kantor KontraS Papua di Jayapura.
Staff KontraS Papua melaporkan, aparat keamanaan datang dengan mengendarai beberapa unit mobil. Sebagian di antara aparat memasuki kantor secara paksa, dan puluhan yang lain berjaga di sepanjang jalan di depan kantor.
“Para petugas keamanan tersebut berpakaian preman, dan beberapa di antaranya membawa senjata laras panjang,” demikian menurut keterangan yang dihimpun KontraS.
Selanjutnya, aparat melakukan penggeledahan, menangkap para aktivis yang sedang berkumpul di dalam kantor. Para petugas keamanan tersebut mengambil dan menyita sejumlah peralatan kantor yaitu, satu unit cpu, laptop, printer, handy talk, dan sejumlah buku.
Disebutkan bahwa aparat mendatangi kantor KontraS Papua untuk menangkap penanggung jawab aksi demonstrasi menolak daerah otonomi baru (DOB)/pemekaran wilayah di Papua pada Selasa (10/5/2022), di mana demontrasi tersebut berujung rusuh karena polisi membubarkan secara paksa aksi demonstrasi. Polisi berasalan aksi demontrasi ini tidak mengantongo izin dari Kepolisian.
Sejumlah tujuh orang aktvis yang ditangkap Polisi saat berada di kantor kontras adalah: Jefry Wenda, Ones Suhuniap, Omikzon Balingga, Max Mangga, Ester Haluk, Iman Kogoya, Abbi Douw.
“Melalui keterangan pers ini, kami mengutuk keras tindakan brutal polisi yang telah membubarkan secara paksa aksi demontrasi damai menolak daerah otonomi baru (DOB)/pemekaran wilayah di Papua dan kami juga mengutuk sangat keras atas tindak sewenang-wenang polisi yang dengan melanggar hukum telah memasuki kantor KontraS Papua untuk melakukan penyitaan barang dan penangkapan orang secara sewenang-wenang,” lanjut pernyataan pers KontraS.
KontraS menegaskan tidak ada aturan hukum yang dapat membenarkan tindakan kepolisian tersebut. Kantor KontraS Papua adalah kantor lembaga masyarakat yang meneguhkan prinsip nonkekerasan dan HAM, serta menjadi tempat menangadu bagi para korban kekerasan dan pelanggaran HAM. Karena itu KontraS menyatakan tidak selayaknya kepolisian justru bersikap arogan, melanggarn hukum dan mengabaikan HAM.
Dalam pernyataan persnya, Federasi KontraS menuntut:
- Kepolisian membebaskan tanpa syarat semua orang yang ditahan;
- Kepolisian membayar ganti rugi secara materiil dan immateriil seluruh kerusakan yang diakibatkan tindakan personienya yang secara sewenang-wenang memasuki kantor KontraS Papua dan menangkap orang secara sewenang-wenang dan melanggar hukum;
- Kapolri melalukan evaluasi secara meneyeluruh terhadap kinerja Kepolisian Daerah Papua, dengan memeriksa dan menghukum para pejabat polisi;
- Kepolisian harus memastikan semua kantor-kantor lembaga masyarakat yang berkomitmen terhadap HAM adalah zona aman bagi korban dan pegiat HAM.
Sebagai informasi, pada Rabu (11/5/2022), pukul 17.30 waktu Papua, 3 orang aktivis yang ditangkap telah dibebaskan karena telah melewati batas waktu 1 x 24 jam. Berikut adalah mereka yang dibebaskan: Jefry Wenda (Jubir PRP), Ones Suhuniap (Jubir KNPB), Omizon Balingga.
Baca Juga: Data Partikel Polusi Debu di Jalan Kota Bandung 2018-2020: Jauh di Atas Ambang Batas Aman, Turun di Tahun Pandemi
SUARA SETARA: Guru Penggerak, Harapan untuk Kesejahteraan atau Penyokong Status Quo Pemilik Kuasa?
Odapus Bandung tidak Menyerah pada Lupus
Menyempitnya Kebebasan Berekspresi
Menanggapi dugaan penangkapan sewenang-wenang aktivis di kantor Kontras Papua dan dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan terhadap peserta aksi unjuk rasa menolak daerah otonomi baru Papua di berbagai kota, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa kejadian tersebut menunjukkan semakin menyempitnya ruang untuk kebebasan berekspresi di Indonesia, terutama saat menyampaikan pendapat terkait Papua.
“Dugaan penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis yang menyebarkan ajakan untuk berunjuk rasa dan pengerahan aparat dalam jumlah besar disertai dugaan penggunaan kekuatan berlebihan terhadap pengunjuk rasa menunjukkan bahwa aparat penegak hukum tidak menghormati hak masyarakat atas kebebasan berekspresi,” kata Usman Hamid.
“Kelakuan aparat seperti ini sudah terlalu sering terjadi, terutama terkait Papua. Penggunaan kekuatan seharusnya dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai langkah terakhir, bukan langkah pertama. Itu pun harus dengan standar yang sangat ketat,” lanjutnya.
Usman Hamid menilai pengesahan revisi UU Otsus Papua dan rencana pembuatan DOB terjadi tanpa konsultasi yang bermakna dengan masyarakat Papua. Sekarang, ketika masyarakat Papua ingin menyampaikan pendapatnya tentang hal-hal tersebut, malah ditanggapi dengan penggunaan kekuatan berlebihan dan kriminalisasi.
Amnesty International Indonesia mendesak pihak Polda Papua untuk melakukan investigasi secara menyeluruh, independen, dan tidak memihak terhadap dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparatnya dalam kasus itu.
“Kami juga mendesak agar pemerintah dan aparat penegak hukum Indonesia menghormati kebebasan berekspresi dan tidak mengambil langkah-langkah untuk mengkriminalisasi aktivis atau pengunjuk rasa yang mengungkapkan pendapatnya secara damai,” kata Usman Hamid.
Pernyataan Sikap Bersama dari Bandung hingga Yogyakarta
Tindakan aparat pada aktivis di Kantor KontraS Papua menuai reaksi dari aktivis di berbagai daerah di Indonesia, seperti Bandung hingga Yogyakarta. Mereka menyatakan sikap di laman Pembebasan.org berjudul "Pernyataan Sikap Bersama Atas Pembubaran dan Penangkapan Aksi Damai Petisi Rakyat Papua, 10 Mei 2022".
Para aktivis menyatakan tindakan aparat tersebut sebagai wujud penghinaan terhadap hak berdemokrasi rakyat Papua. Semakin hari ruang kebebasan ekspresi bagi rakyat Papua terus dikerdilkan. .
Padahal kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dijamin melalui pasal 28 UUD 1945, 1999 Pasal UU No 9 1998, dan pasal 1 ayat 3 UU No 39 tentang Hak Asasi Manusia. Jaminan tersebut meliputi kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum baik secara lisan maupun tulisan tanpa adanya intimidasi atau gangguan dari pihak manapun.
Meski para aktivis yang ditangkap di Kantor KontraS Papua kemudian dibebaskan, para aktivis dalam pernyataan bersama ini menilai pembubaran disertai penangkapan terhadap aksi damai penolakan terhadap Daerah Otonomi Baru tetap tidak dapat dibenarkan dan harus dikecam dengan keras.
Para aktivis menyatakan kejadian tersebut bukan yang pertama kali menimpa aksi bertemakan Papua. Padahal Papua adalah wilayah yang diberikan hak istimewa oleh pemerintah Indonesia melalui otonomi khusus (special autonomy). Seyogyanya dengan otonomi khusus ini penghormatan hak-hak sosial ekomomi, politik, dan budaya orang Papua harus diutamakan. Termasuk di dalamnya adalah kebebasan dalam menyatakan pendapat di muka umum. Sebab hal ini berkait berkelindan dengan perkembangan dalam memajukan demokrasi secara umum di Indonesia.
Intimidasi, black campaign, pembubaran, dan kriminalisasi harus dipahami sebagai upaya memukul mundur demokrasi. Demokrasi yang sedikit terbuka, buah dari perjuangan reformasi yang masih harus semakin diperluas bukannya malah dipersempit.
"Kita telah cukup memiliki ingatan sejarah yang kelam terkait tertutupnya ruang demokrasi di zaman Orde Baru. Sebagai generasi pascareformasi, kita tentu tidak menginginkan sejarah kelam demokrasi di masa kepemimpinan rezim militeristik Suharto terus diulang dan direplikasi di masa kini. Khususnya di tanah Papua," demikian pernyataan bersama para aktivis.
Maka dari itu, demi terwujudnya demokrasi yang sejati, para aktivis menyatakan:
Mengecam pembubaran dan represivitas aparat gabungan Indonesia terhadap massa aksi Petisi Rakyat Papua, Selasa 10 Mei 2022;
Mengecam kriminalisasi terhadap aktivis dan massa solidaritas Papua
Mengecam pembungkaman ruang demokrasi di Papua;
Menuntut pembebasan seluruh tahanan politik Papua tanpa syarat;
Para aktivis yang turut serta dalam pernyataan sikap ini adalah:
Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan), Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI), Front Muda Revolusioner (FMR), Aliansi Mahasiswa Papua-Serang (AMP-Serang), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia-Jakarta Timur (PMKRI-Jaktim), Federasi Gerakan Buruh Kerakyatan (FGBK), Perserikatan Sosialis (PS), Cakrawala Muda Kerakyatan-Komite Central
Kesatuan Perjuangan Rakyat-Jogyakarta (KPR-Jogyakarta), Maharani Caroline - Advokat, Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan Universitas Pendidikan Indonesia (UKSK UPI), Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK-UIN SGD Bandung);
LPM Daunjati ISBI Bandung, Ruang Aman RASI ISBI Bandung, Agrarian Resource Center (ARC), Partai Pembebasan Rakyat (PPR), Aksi Kamisan Bandung, Aliansi Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB), Federasi Serikat Buruh Militan (F-SEBUMI), Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Mahasiswa Kalijaga Bantu Rakyat-Universitas Islam Negeri (MAKAR-UIN), 90 bpm rhythm (Kelompok hip hop Serang), Bunda house ( Pasar Gratis dan Perpustakaan Jalan Serang), Aliansi Mahasiswa Komite Kota Jogyakarta (AMP-KK Jogyakarta), Serikat Pembebasan Perempuan (SIEMPRE).