Odapus Bandung tidak Menyerah pada Lupus
Jumlah orang dengan lupus (odapus) di Jawa Barat diperkirakan 30.000 odapus. Edukasi tentang penyakit ini masih kurang.
Penulis Reza Khoerul Iman10 Mei 2022
BandungBergerak.id - Pelayanan kesehatan untuk pasien lupus (Odapus) di Kota Bandung banyak menghadapi kendala. Minimnya sosialisasi tentang deteksi dini penyakit dengan simbol kupu-kupu ini menambah besar kendala yang dihadapi Odapus baik saat berada di masyarakat maupun ketika mengakses layanan kesehatan.
Tidak ada data pasti berapa jumlah Odapus saat ini. Namun angka estimasinya tidaklah kecil. Jumlah odapus di Jawa Barat jika dihitung menggunakan angka prevalensi di Amerika Serikat (52/100.000) terdapat lebih dari 30.000 odapus, menurut artikel ilmiah Shiane Hanako Sheba, Henni Djuhaeni, Budi Setiabudiawan, Deni K. Sunjaya, Kuswandewi Mutyara, Fedri Rinawan.
Kondisi sulit yang dialami Odapus dirasakan oleh Tifani Wulansari (37). Menurutnya, di Kota Bandung segala hal yang berkaitan dengan lupus masih belum mendapat nilai sempurna, baik itu dari segi pelayanan kesehatan, wawasan masyarakat tentang lupus, hingga ia kerap dipandang sebelah mata.
“Waktu 2015 itu, informasi belum seumum sekarang. Jadi bener-bener harus cari sendiri dan berusaha agar tidak terstigma negatif dari info-info website yang kala itu masih bener-bener sedikit sekali dan relatif nakutin, seperti info gak ada obatnya, usia pendek, dan kalau sudah drop past sulit bangkit,” tutur Tifani, kepada BandungBergerak.id, Senin (9/5/2022).
Pada awalnya Tifani sangat merasa syok saat didiagnosa mengidap penyakit lupus pada 2015 lalu. Ia hanya mengetahui bahwa penyakit seribu wajah ini belum ditemukan obatnya. Namun ia bersyukur, belakangan ini di Kota Bandung pelayanannya sudah berangsur membaik, selain itu sudah banyak komunitas yang turut mendukung dan membantunya.
Menurutnya, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung menjadi salah satu rumah sakit yang konsen terhadap penyakit lupus. Tifani mendapatkan layanan di rumah sakit ini. Namun ia mengaku, dalam segi proseduralnya hingga saat ini masih cukup menyulitkannya karena mesti memakan waktu yang lama, padahal di sisi lain ia mesti bekerja. Sementara kalau menggunakan fasilitas swasta harga yang dipatok sangat mahal.
“Tapi sejauh ini pelayanan di Kota Bandung cukup baik sebagai salah satu kota besar yang konsen ke lupus, karena banyak dari daerah-daerah lain juga yang berobatnya ke Kota Bandung,” ucapnya.
Selain pelayanan yang diharap dapat menjadi semakin baik, Tifani berharap wawasan dan sikap masyarakat terhadap Odapus dapat semakin membaik lagi. Sebab tidak mudah untuk menjelaskan lupus dalam satu kali. Sebagaimana julukannya, penyakit seribu wajah ini bisa berubah menjadi penyakit lain. Terkadang hasil laboratorium terhadap Odapus terlihat baik-baik saja, namun ketika ditelusuri lebih dalam ternyata baru terdiagnosa lupus.
Berbeda kasus bagi Odapus yang terdapat di daerah pelosok, Tifani menuturkan kebanyakan dari mereka masih awam dan kekurangan sekali informasi dan wawasan terkait lupus. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang mengaitkannya dengan hal-hal yang mistis.
Tifani Wulansari berpesan agar semua masyarakat dapat mengenal lupus dan berkontribusi untuk melakukan sosialisasi terkait lupus. Ia juga berharap agar masyarakat tidak lagi berpikiran Odapus tidak berguna, sebab mereka masih bisa berkontribusi dengan baik seperti Tifan yang saat ini bekerja di salah satu lab kesehatan swasta.
“Tolong jangan anggap kami tidak berguna di saat kami sedang drop-dropnya. Mohon support kami, karena tidak ada hal yang mustahil. Saya yang pernah lumpuh dan buta sementara saja sekarang masih bisa beraktivitas dengan baik bahkan bisa lebih baik lagi. Kemudian bagi Odapus mana pun jangan pernah menyerah,” pungkas Tifani.
Baca Juga: Pengobatan Paha Robek dan Lengan Buntung ala Priangan Abad ke-19
Warga Jawa Barat Diingatkan agar Mewaspadai Hepatitis Misterius
Anak-anak Rusunawa Rancacili Bersama Mimpi Mereka yang Tergusur
Komunitas Lupus Bandung
Hari Lupus Dunia yang diperingati setiap 10 Mei menjadi momen bagi Odapus yang menghadapi penyakitnya seumur hidup. Momen ini juga menjadi kesempatan bagi mereka untuk berupaya mengikis stigma Odapus supaya mereka tidak lagi dipandang sebelah mata.
Sementara bagi para komunitas lupus, hari lupus dunia menjadi momen untuk semakin menggencarkan aksi sosial mereka kepada masyarakat untuk semakin meningkatkan wawasan dan kesadaran masyarakat terhadap penyakit lupus dan dampaknya. Hadirnya komunitas lupus juga menjadi ruang interaktif bagi Odapus untuk lebih mengenal penyakitnya lebih dalam dan mencari solusi lainnya di tengah kondisi yang hingga saat ini masih belum ada obatnya.
Syamsi Dhuha Foundation (SDF) merupakan salah satu komunitas lupus yang berpusat di Bandung. Manager Syamsi Dhuha Foundation, Laila Panchasari menyebut bahwa SDF merupakan komunitas yang konsen dalam pendampingan bagi pasien lupus dan keluarganya, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat umum, advokasi ke lembaga terkait serta bekerja sama dengan lembaga pendidikan, dan bekerja sama dengan lembaga kesehatan untuk melakukan penelitian yang dapat membantu terapi dan pengobatan lupus.
Sejak tahun 2003, Syamsi Dhuha Foundation telah turut berkontribusi dalam memberikan dukungan dan meningkatkan kualitas hidup para sahabat Odapus dan penyandang low vision. Setiap momen peringatan hari lupus dunia, SDF selalu hadir memberikan rangkaian kegiatan yang akan bermanfaat bagi para sahabat Odapus dan Sahabat Lovi (low vision).
“Di hari lupus dunia, harapannya sahabat Odapus tetap dapat survive, terus berjuang, dan bergerak saling mendukung dalam menghadapi berbagai masalah medis maupun nonmedis,” ungkap Laila Tifani, saat dihubungi BandungBergerak.id.
Data Penyakit Lupus
Data prevalensi lupus di setiap negara berbeda-beda. Dikutip dari laman resmi UGM, Selasa (10/5/2022), di Asia Pasifik insidensi lupus sebesar 0,9 – 3,1 per 100.000 populasi/tahun. Prevalensi kasar sebesar 4,5 – 45,3 per 100.000 populasi.
The Lupus Foundation of America memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus terjadi di Amerika dan setidaknya terjadi lima juta kasus di dunia. Setiap tahun diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru lupus. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat jumlah penderita lupus di seluruh dunia dewasa ini mencapai lima juta orang. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan usia produktif dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100 ribu penderita baru.
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui. Prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di masyarakat berdasarkan survei yang dilakukan Prof. Handono Kalim, dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5 persen tehadap total populasi.
Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) online, pada 2016 terdapat 858 rumah sakit yang melaporkan datanya. Jumlah ini meningkat dari dua tahun sebelumnya. Dari situ diketahui bahwa terdapat 2.166 pasien rawat inap yang didiagnosis penyakit lupus, dengan 550 pasien di antaranya meninggal dunia.
Jumlah kasus lupus pada 2016 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan 2014, yaitu sebanyak 1.169 kasus. Jumlah kematian akibat lupus pada pasien rawat inap di rumah sakit juga meningkat tinggi dibandingkan tahun 2014. Tingginya kematian akibat lupus ini perlu mendapat perhatian khusus karena sekitar 25 persen dari pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia pada 2016 berujung pada kematian. https://kanalpengetahuan.fk.ugm.ac.id/situasi-lupus-di-indonesia/
Definisi Penyakit Lupus
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus atau penyakit seribu wajah merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Penyakit autoimun adalah istilah yang digunakan saat sistem imunitas atau kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri.
Sistem kekebalan tubuh penderita lupus akan menyerang sel, jaringan dan organ yang sehat. Sistem kekebalan tubuh akan mengalami kehilangan kemampuan untuk melihat perbedaan antara substansi asing (no-self) dan sel dan jaringan tubuh sendiri (self).
Bentuk penyakit lupus sangat luas, meliputi ruam berbentuk sayap kupu-kupu di wajah, keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat dan sistem imun, sehingga memerlukan pengobatan yang lama dan seumur hidup.
Lupus bukan penyakit menular. Namun ada beberapa faktor resiko penyakit lupus, adalah:
Faktor genetik: diketahui sekitar 7 persen pasien lupus memiliki keluarga dekat (orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis lupus.
Faktor lingkungan: merupakan faktor pemicu timbulnya lupus: infeksi, stres, makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan penisilin), cahaya ultraviolet (matahari) dan penggunaan obat-obat tertentu, merokok, paparan kristal silica.
Faktor hormonal: perempuan lebih sering terkena penyakit lupus dibandingkan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit lupus sebelum periode mestruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon, khususnya estrogen menjadi pencetus penyakit lupus. Namun, hingga saat ini belum diketahui secara pasti peran hormon yang menjadi penyebab besarnya prevalensi lupus pada perempuan.