• Cerita
  • Anak-anak Rusunawa Rancacili Bersama Mimpi Mereka yang Tergusur

Anak-anak Rusunawa Rancacili Bersama Mimpi Mereka yang Tergusur

Penggusuran rumah berdampak jangka panjang pada anak-anak. Mereka harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ekonomi keluarga kian terpuruk. Sekolah mereka harus putus.

Sefti (15), pengungsi di Rusunawa Rancacili, Kota Bandung, Sabtu (16/4/2022). Sefti berasal dari rumah di bantaran Sungi Cibodas. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau9 Mei 2022


BandungBergerak.idPeristiwa penggusuran rumah yang ditempatinya di bantaran Sungai Cibodas, Antapani Kidul, tahun lalu, masih membekas di benak Sefti (15) yang kini mengungsi di Rusunawa Rancacili. Kala itu ia masih di kelas 8 SMP semester satu dan baru pulang dari kerja kelompok bersama kawan sekolahnya.

Aparat keamanan sudah berjaga di kawasan permukiman yang akan ditertibkan dalam rangka penataan anak-anak Sungai Citarum. Sefti tiba menjelang malam. Kawasan bantaran sungai sudah gelap seperti kampung mati. Kabel-kabel listrik dicabut.

Hujan yang turun cukup lebat membuat suasana tambah mencekam. Sungai Cibodas meluap dan menimbulkan banjir. Di saat banjir itulah, pembongkaran dilakukan. Warga harus meninggalkan rumah-rumah di pinggir kali itu.

“Yang paling sedihnya itu, pas sore harinya, mau menjelang malam kabel semua tuh dicabut, mati lampu. Abis itu banjir, hujan. Benar-benar kampung mati. Ada yang tidur di luar,” cerita Sefti, kepada BandungBergerak.id, Sabtu (16/4/2022) malam, di Rusunawa Rancacili.

Sefti dan warga kampung Cibodas kemudian mengungsi ke Rusunawa Rancacili. Proses pemindahan barang-barangnya di rumah yang terkena penertiban, bukan hal mudah. Sebagian barang harus dititipkan pada keluarga lain. Sebagian barang bahkan harus dijual untuk menambal biaya hidup.

Sang ayah, Agus Martin, berprofesi sebagai buruh harian lepas dengan penghasilan tak menentu. Apalagi saat itu pandemi sedang ganas-ganasnya menggerogoti kesehatan maupun ekonomi masyarakat. Ibunya Sefti sakit-sakitan karena syok menghadapi nasib. Sang ibu harus mendapat pertolongan dari rumah sakit. Tapi sulit.

Puluhan tahun Sefti tumbuh di kawasan bantaran sungai Cibodas, di sana pulalah kenangan akan hidup berdampingan dengan masyarakat setempat tumbuh. Ia bersosialisasi, saling membantu, dan tolong menolong jika ada salah satu dari tetangga yang kesulitan. Kini hal itu tinggal kenangan. Semuanya hilang.

Sefti berharap pemerintah memperhatikan nasib korban-korban penggusuran seperti yang dialami ia dan keluarganya. Setahun lebih Sefti dan keluarganya tinggal di Rusunawa Rancacili, kini batas waktu yang ditentukan telah terlewati. Mereka berharap bisa pindah ke Rusunawa Cingised, Antapani. Tetapi harapan ini belum juga didengar oleh pemerintah.

“Pemerintah sadar, ada rakyat yang bener-bener butuh bantuan dan di rusun ini tuh kayak bener-bener ada yang ada (punya), ada yang enggak (susah). Kan mama benar-benar butuh, buat ke rumah sakit, ayah juga sudah ngumpulin surat-surat, sudah kayak ke sana-ke sini buat ini, buat itu. Aku mah pengennya kayak dipindahin rusun sana yak (Cingised), lebih dekat,” harapnya.

Hari-hari yang Berat

Bagi anak-anak seperti Sefti, tumbuh dan besar di lingkaran penggusuran bagai mimpi buruk berkepanjangan. Mereka dihadapkan dengan bayang-bayang kekerasan, kenyataan pahit berupa kesulitan ekonomi, dan putus sekolah.

Sefti kini duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah pertama. Anak ketiga dari lima bersaudara ini baru saja selesai ujian kelulusan. Namun dengan kondisi ekonomi keluarganya kini, tampaknya ia sulit melanjutkan ke SMA. Ia sadar bahwa keluarganya tak punya biaya.

Mereka sudah tak punya uang untuk mengontrak rumah. Jangankan untuk memikirkan rumah, untuk makan sehari-hari saja masih sangat berat. Ia dan keluarga masih mengandalkan bantuan dari kerabat lain.

Sesekali ayahnya menempuh puluhan kilometer dengan berjalan kaki dari rusun menuju ke Antapani. Di sana ayahnya menjaga tempat parkir. Motor satu-satunya yang ia miliki telah dijual untuk keperluan berobat ibunya Sefti.

Sefti paham orang tuanya tiap waktu berfikir keras untuk bisa bertahan hidup. Tetapi di saat mereka bertahan, petugas rusun kerap mengetuk pintu rusun mereka. Berkali-kali pula mereka disuruh mengosongkan ruangan tersebut dengan alasan waktu tinggal telah habis.

Bahkan Ramadan kemarin baginya menjadi momen terberat karena teringat kenangan akan rumahnya di pinggir Sungai Cibodas. “Harusnya puasa jadi momen bahagia. Pas rumahnya di sana (Cibodas), kayak tiap hari luangin waktu sama mama, sama kaka, sama saudara-saudara sekarang kayak berjarak jauh,” ungkapnya.

Meski demikian, perempuan kelahiran 18 September 2006 itu mencoba mengubah pola pikirnya dengan berpikir positif. Bahwa tinggal di pengungsian tidaklah terlalu berat. Walau kenyataannya berat.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Palagan Perang Kota Kembang
Senyuman Anak-anak Korban Penggusuran Anyer Dalam saat Ngabuburit Bersama Rumah Bintang
Ramadan (Masih) di Tahun Pagebluk #3: Kenangan dan Harapan Melly di Puing-puing Penggusuran Anyer Dalam

Anak-anak korban penggusuran Tamansari di Rusunawa Rancacili, Kota Bandung. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Anak-anak korban penggusuran Tamansari di Rusunawa Rancacili, Kota Bandung. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Mimpi Menjadi Desainer

Mimpi terbesar Sefti adalah menjadi perancang busana, desainer. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Sefti sudah memiliki bakat menggambar. Ia mulai mengenal teknik menjahit dari sang ibu yang suka menjahit.

Ia yakin dirinya bisa menjadi desainer. Niat itu membulatkan tekadnya untuk mempelajari hal tentang merancang busana. Ia mulai menggambar, dan pernah membuat bajunya sendiri meski hasilnya masih sederhana.

Ketika ditanya siapa desainer favoritnya, Sefti menjawab dengan semangat adalah Ivan Gunawan. Sefti berharap ke depan bisa seperti Ivan.

“Iya, desainer favorit itu Ivan Gunawan. Aku tertarik dia dulunya kayak sama orang enggak punya cuma dia berjuang. Kayak benar-bear pahit hidupnya tapi berjuang. Jadi kayak Sefti terinspirasi, tapi kayak Sefti mampu enggak. Kayak mental aku tuh harus kuat,” katanya.

Ketika kelas 3 SD, Sefti pernah mengikuti olimpiade menggambar, kala itu ia sempat menang di babak pertama. Lalu kembali bersaing di babak kedua, meski kandas, ia tak patah semangat. Ia masih terus menggambar.

Ketika duduk di bangku SMP, Sefti mencoba hobi baru. Ia mengikuti ekstrakurikuler paskibraka dan paduan suara. Selain menggambar, ia suka menyanyi. Ketika duduk di kelas 7, Sefti masuk dalam kategori siswa berprestasi, ia masuk 5 besar peringkat kelas pada semester kedua.

Namun peristiwa penggusuran rumahnya di sungai Cibodas berpengaruh hebat pada kegiatan sekolahnya. Jarak tempuh sekolahnya dengan rusunawa yang ditinggalinya kini meningkat berkali-kali lipat. Ia harus berjalanan kaki selama hampir 2 jam untuk menuju sekolah. Ini dilakukan karena ia tak punya ongkos. Ia pun mulai jarang ke sekolah.

Sefti juga tak bisa mengikuti sekolah daring karena keterbatasan gawai. Ia mengikuti sekolah dengan mengandalkan kedatangan guru ke tempatnya, atau sesekali menumpang di rumah guru yang dekat sekolah, atau di rumah teman agar bisa ke sekolah. Hingga duduk di kelas 9, barulah ia mendapat bantuan membeli gawai.

Ujian sekolah baru saja usai beberapa waktu lalu. Ketika ditanya keinginannya untuk bersekolah, Sefti tampak berbinar. Besar hati ia ingin melanjutkan sekolah ke SMA. Namun, ia pasrahkan semuanya kepada keputusan orang tua.

Ia tak sampai hati harus membebani ibu dan ayahnya dengan biaya sekolah. Beberapa kali ia melontarkan kemungkinan akan putus sekolah. Dan mencari pekerjaan agar bisa membantu orang tuanya mencari uang.

“Apalagi sekarang rumah di sini, jauh ke mana-mana, kayak mimpi berasa putus saja. Putus asa enggak ada semangat lagi. Apa ya lihat mama saja kayak kasian, jadi pengin nolongin, pengin bantuin. Iya (mau putus sekolah dan mau kerja),” ungkapnya.

Ada harapan kalau sekolahnya bisa dilanjutkan, yaitu dengan mendapatkan beasiswa. Ia berharap bisa masuk ke sekolah negeri agar tak begitu membebani soal biaya. Namun, hal itu nampaknya akan urung, kakak-kakaknya yang bekerja sebagai buruh harian lepas, sepertinya tak mampu untuk membiayai sekolah Sefti.

Sekarang ia hanya akan menunggu keputusan dari sang kakak dan orang tua. Jika tak memungkinkan, ia terpaksa harus putus sekolah.

“Ya penginnya gitu (lanjut sekolah), cuma gimana orang tua, ngikut orang tua saja. Kalau orang tua kata ga boleh, ya bisa apa cuman bisa ikut paket C nanti kalau ada uang,” katanya.

Waktu menunjukkan pukul 19.20 WIB. Sorak sorai anak-anak di taman rusun terdengar. Mereka dengan lantang menyanyikan lagu Buruh Tani (Pembebasan) Marjinal. 

“Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota

Bersatu padu rebut demokrasi

Gegap gempita dalam satu suara

Indonesia baru tanpa Orba.”

...

Anak-anak yang bernyanyi dengan lantang sambil bermain ayunan dalam kegelapan itu di antaranya Akbar (11), anak korban penggusuran Tamansari, yang sudah beberapa tahun pindah di Rusun Rancacili. Akbar juga terpaksa berhenti sekolah karena jarak yang jauh dan kondisi keungan. Tak hanya Akbar, ada Rama (9), Rizky (12). Mereka bernyanyi bersama sambil bermain dalam kegelapan. Suara mereka bersahut-sahutan dengan bunyi speaker masjid.

Ketika ditanya dari mana mereka mengetahui lagu tersebut, Akbar dengan sigap menjawab ia sering mendengar dari aliansi yang mendampingi warga Tamansari, ketika dulu berjuang mempertahankan tanah mereka.

Penggusuran menimbulkan bekas mendalam bagi anak-anak. Hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan dan kehidupan telah direnggut. Mimpi dan cita-cita mereka pun tercerabut.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//