• Cerita
  • Ramadan (Masih) di Tahun Pagebluk #3: Kenangan dan Harapan Melly di Puing-puing Penggusuran Anyer Dalam

Ramadan (Masih) di Tahun Pagebluk #3: Kenangan dan Harapan Melly di Puing-puing Penggusuran Anyer Dalam

Ramadan dan lebaran tahun lalu meski dalam kecamuk pagebluk, Melly dan keluarga masih memiliki rumah. Ramadan tahun ini rumah itu telah berubah menjadi puing-puing.

Melly Indriani (52), warga Anyer Dalam, Kota Bandung, yang harus mengisi Ramadan dan lebaran tanpa memiliki lagi rumah tinggal, Rabu (6/4/2022). Rumah Melly digusur PT. KAI , November 2021 lalu. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau2 Mei 2022


BandungBergerak.idIngatan Melly Indriani (52) mendarat pada suasana musim semi di Anyer Dalam yang masih asri, tahun 1975-an. Kala itu usianya baru 5 tahun. Pepohonan masih rindang, suara tongeret bersahutan menyambut magrib. Sinar matahari terakhir mengintip di horizon. Cahayanya kuning kemerahan.

“Paling diingat, saya paling suka suara tongeret, itu kan semuakan pohon nyiur, pohon kayu. Kalau malam pulang suara tongeret sudah mulai. Rindungya itu sekarang ngak ada,” tutur Melly, kepada BandungBergerak.id, ketika ditemui di puing-puing Anyer Dalam, Rabu (6/4/2022).

Sejak pagi, ia diajak sang ayah ke lokasi pembangunan rumahnya. Pada sore hari menjelang magrib ia dan ayah pulang. Begitu seterusnya, hingga bangunan rumah mereka jadi dan bisa ditempati.

Tahun 70-an listrik belum masuk Anyer Dalam. Untuk membunuh pekatnya malam, warga masih menggunakan lampu-lampu petromak. Tiap magrib, jika azan mulai berkumandang dan sinar matahari perlahan menghilang, warga mulai menyalakan lilin sebagai penerang.

“Masih gelap, terus saya kecil di sini kalau menjelang mau magrib itu sibuk nyalain petromak. Masih belum ada listrik. Nyalain damar. Di keluarga saya sendiri udah punya petromak, yang lain mah masih damar, lilin strong. Pake spirtus kan petromak, terang,” ungkap Melly.

Melly adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Ia lahir dan tumbuh di Kota Bandung, tepat ketika itu orang tuanya masih tinggal di daerah Jalan Sumbawa. Sempat berpindah dan mengontrak rumah di kawasan Jalan Lombok. Lalu ketika usianya mulai 7 tahun, ia dan keluarga mulai tinggal di kawasan Anyer Dalam.

Ia ingat betul bagaimana sang ayah membangun rumah yang kini tinggal puing-puing setelah digusur PT. KAI enam bulan lalu. Melly tumbuh dan besar di kawasan Anyer Dalam. Begitu banyak kenangan yang takkan lekang dalam memorinya.

Ia bersama suami menempati rumah di Anyer Dalam melanjutkan orang tua mereka yang lebih dulu tinggal di sana. Pada 2001 lalu, dengan berbekal pinjaman dari kantor sang suami, ia akhirnya merenovasi rumah peninggalan ayahnya itu menjadi dua lantai. Lantai kedua ditinggali oleh sang kakak, sementara lantai pertama ditempati oleh keluarganya.

Hingga datanglah beragam alat berat yang meluluhlantakkan bangunan rumah itu. Tetapi kenangan Melly masih bersemayang di sana.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.58 WIB, kumandang azan telah terdengar menyela obrolan bersama Melly.

Cita-cita yang Kandas

Melly remaja, memiliki cita-cita mulia. Ia ingin menjadi seorang perawat. Namun, keadaanlah yang membuat ia harus mengubur mimpinya. Ia sebenarnya sudah terdaftar sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi keperawatan di Bandung. Tetapi ia terkendala biaya kuliah.

Peluang tersebut sempat terbuka karena ayahnya punya dana pensiun. Namun uang pensiunan yang sejatinya untuk biaya kuliah, harus ia relakan untuk membiayai pernikahan kakaknya yang kedua yang ketika itu harus segera menikah.

Tidak bisa melanjutkan kuliah dan mewujudkan cita-citanya bukan bentuk kekecewaan terbesar yang dialami Melly. Rasa berat hati justru terjadi ketika ia harus meninggalkan rumah peninggalan orang tuanya di Anyer Dalam.

Walau tak bisa melanjutkan kuliah, Melly tak tinggal diam. Ia sempat mengontrak di daerah Soekarno Hatta karena diterima kerja di pabrik sepatu sekitar Gedebage. Di sana ia tinggal empat tahun lamanya.

Selanjutnya ia pindah mengontrak di seputaran Cicadas, kali ini karena diterima kerja sebagai pramusaji di tempat biliar Jalan Jakarta. Kebetulan, salah satu manajer di biliar tersebut adalah salah seorang teman ketika SMA. Ia bekerja hingga menikah dengan pria yang menjadi suaminya sekarang, tahun 1994.

Hal paling pahit yang dialami perempuan kelahiran 10 Agustuts 1970 itu, kala berusia 9 tahun menjelang usianya 10 tahun. Saat itu ia duduk di kelas 3 sekolah dasar. Tahun 1980-an ayahnya meninggal dunia. Namun keluarganya dihadapkan pada kondisi yang benar-benar kacau dan terpecah.

Salah satu dari ia dan kakak-kakakny harus merantau mengikuti keluarganya yang dari Solo, jika memang tetap ingin sekolah. Karena paling bungsu, Melly mengalah. Anak yang dekat dengan sang ibu itu harus ikut Pak Denya, kakak dari ayah mereka.

“Tapi cuman saya yang ngalah, ibu saya kan janda. Saya pikir ngak bisa membiayai sekolah, semua lima- limanya masih sekolah. Terus siapa yang mau pergi ke sana (Solo). Soalnya ibu enggak sanggup nyekolahin. Saya pikir ah biarin saja saya ke sana. Itu paling menyedihkan, kan saya paling kecil, dekat dengan ibu. Kelas 3 SD saya harus berpisah,” cerita Melly, tak sadar pipinya basah.

Nasib nampaknya tak benar-benar berpihak padanya. Setelah lulus sekolah dasar, Melly yang sudah bersemangat untuk kembali ke Bandung, harus dihadapkan kembali pada kondisi pahit lainnya. Ketika sudah terdaftar di sekolah menengah pertama di kawasan Ujung Berung, giliran ibunya berpulang.

Rencana pun berubah. Ia terpaksa harus merantau kembali mengikuti saudara di Brebes, Jawa Tengah, untuk menamatkan SMP. Setelah itu, barulah Melly kembali ke Bandung dan bersekolah SMA hingga tamat. Biaya sekolahnya didapat dari sisa-sisa pensiuanan ayahnya yang merupakah pegawai negeri sipil. Sejak itu ia bertekad melanjutkan kuliah ke jenjang kuliah untuk mengejar mimpinya.

Bermodal berkas pensiunan ayahnya, Melly kembali meminjam uang untuk biaya kuliah. Ia sendiri sudah mendaftar ke sekolah perawatan di Rancabadak.

“Saya baru masuk, ternyata kaka saya disuruh nikah. Makanya saya enggak jadi kuliah, masih pegang uang. Saya kasikan semuanya buat kakak, kebetulan diakan belum kerja. Enggak jadi (kuliah). Saya pergi saja langung,” ucapnya.

Baca Juga: RAMADAN (MASIH) DI TAHUN PAGEBLUK #1: Menjahit Harapan di Pinggiran Kosambi
RAMADAN (MASIH) DI TAHUN PAGEBLUK #2: Dengan Bedug dan Gamelan Sunda, Ajang Merentang Harapan
Ramadan di Tahun Pagebluk (1): Dari Terminal ke Terminal

Melly Indriani (52) bersama anaknya, Farrel, warga Anyer Dalam, Kota Bandung, yang harus mengisi Ramadan dan lebaran tanpa memiliki lagi rumah tinggal, Rabu (6/4/2022). Rumah Melly dan Farrel digusur PT. KAI , November 2021 lalu. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Melly Indriani (52) bersama anaknya, Farrel, warga Anyer Dalam, Kota Bandung, yang harus mengisi Ramadan dan lebaran tanpa memiliki lagi rumah tinggal, Rabu (6/4/2022). Rumah Melly dan Farrel digusur PT. KAI , November 2021 lalu. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Ramadan Terpahit Tanpa Rumah

Melly tumbuh dan besar di Anyer Dalam, meski beberapa kali ia sempat berpindah-pindah kontrakan. Ia bahkan pernah pindah ke Surayaba untuk mencari rezeki dan berniat memindahkan anak-anaknya agar bisa sekolah di Jawa Timur. Pada akhirnya, ia kembali lagi ke Bandung, ke Anyer Dalam, kampung masa kecilnya bersama keluarga tercinta.

Ramadan kali ini adalah yang paling pahit ia rasakan bersama keluarga. Hari-hari berjalan terasa begitu berat. Melly kerap kali merasa dunia seperti akan runtuh. Berkali-kali juga, dengan kondisi berantakan saat ini, ia berharap dunia segera selesai. Jika memang harus selesai.

Ia benar-benar kehilangan harapan sejak rumahnya diluluhlantakkan secara paksa pada November 2021 lalu. Suami telah diberhentikan dari pekerjaan, lalu tiga anak yang masih harus dibiayai. Beruntung anak sulungnya sudah menikah dan bisa membiayai diri sendiri. Sesekali untuk bertahan hidup, atau mengganjal kebutuhan dapur, Melly disokong oleh si sulung.

“Ya beda jauhlah dengan tahun tahun kemarin. Cuma tahun ini saja yang kayak gimana, enggak ada harapan apa-apa. Kayaknya besok mau sudahan dunia ini kata saya ya, kayak sudah enggak ada harapan. Besok gimana makan, nggak ada duit ini,” ungkapnya.

Ramahan tahun ini yang terberat baginya. Sebelum-sebelumnya, pada 2020 dan 2021 lalu ketika pandemi melanda, ia masih bisa Ramadan di rumah sendiri. Melly yang sejak dulu pantang menumpang untuk tinggal bahkan dengan keluarga, kini mau tak mau harus menumpang di rumah mertua yang lokasinya tak jauh dari puing-puing reruntuhan.

“Iya, (Ramadan) paling berat paling sengsara, paling segalanya, paling jatuh,” ungkapnya.

Usai rumahnya digusur, Melly masih harus menerima kenyataan getir: suaminya yang bekerja di salah satu partai politik, di-PHK dengan alasan yang tak jelas.

Sementara, untuk bertahan hidup sehari-hari, Melly sesekali berjualan kecil-kecilan. Jika ada sisa modal untuk berbelanja, ia membeli bahan-bahan untuk membuat gorengan atau minuman es. Namun, sudah hampir seminggu ini ia tak berjualan. Tak ada lagi sisa modal. Jualannya tak banyak laku. Terpaksa, ia kembali istirahat. Pada awal Ramadan Melly bahkan tidak punya uang sama sekali untuk munggahan.

“Kemarin saja munggah gimana, tahu enggak munggahan saya enggak punya sama sekali duit. Munggah gimana, orang-orang lain sudah pada beli itu ini, paling saya ngelamun sendiri, gimana,” ungkapnya.

Tetapi rizki bisa datang dari mana saja. Anaknya mengunjunginya dan memberinya uang buat menyambut puasa pertama. “Alhamdulillah saya bisa beli. Itu pun sudah malam enggak ada apa-apa di pasar,” katanya.

Begitulah kondisi Melly pascarumahnya digusur. Sehari-hari ia bergelut memenuhi kebutuhan dapur, memikirkan rumahnya yang hancur, sekolah anak-anaknya, terutama si bungsu Farrel yang tumbuh dengan down syndrom.

Bahkan untuk sekedar sahur dan berbuka, ia masih sering kerepotan memikirkan harus memasak apa untuk anak dan suaminya. Terlebih ketika ditanya mengenai bayangan ketika hari lebaran nanti. Melly, sama sekali tak ada bayangan. Jika dulu ia sudah mempersiapkan untuk membuat masakan dan kue lebaran, kini tak bisa. Lalu untuk baju lebaran anak-anaknya nanti, ia mengandalkan pakaian yang ada atau mendapatkannya dari komunitas Pasar Gratis Bandung.

“Enggak ada bayangan bikin kue atau apa. Kayak anak saya yang Caca, mama gimana lebaran. Sudahlah lebaran mah sekarang kan baju-baju masih ada, baju-baju dari aliansi (solidaritas) juga masih baru-baru. Anak saya kan sukanya kaos oblong, itu kan masih baru-baru, masih diplastik sudah saja itu buat lebaran. Masih ada lagi kan, kalau ada Pasar Gratis itu ada baju-baju bagus lumayan,” ungkapnya.

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga  

Bak jatuh tertimpa tangga, sejak rumahnya hanya tersisa puing-puing, Melly dan keluarga terpaksa menumpang di lantai 2 rumah mertuanya. Namun, nahas, beberapa minggu sebelum memasuki Ramadan, ruangan yang ia tempati terbakar. Akibatnya barang-barang elektronik sisa dari rumahnya terbakar dan tak bisa lagi digunakan.

Kulkas yang biasa digunakan untuk menyimpan bahan makanan, dilahap si jago merah. Tak bisa lagi digunakan. Bahkan penanak nasi elektronik miliknya turut terbakar. Kini ia menggunakan penanak nasi bekas yang dikasih oleh kakanya.

Jika ketika awal-awal pascapenggusuran dan dimulainya persidangan kasus Anyer Dalam, Melly sering membuat makanan bagi aliansi dan warga untuk makan bersama (botram), kini ia tak bisa lagi melakukannya. Semua peralatan memasknya terbakar. Ia harus fokus mengurus persoalan dapurnya sendiri.

Ya gimana lagi, sudah pasrah. Ya mungkin cobaan bagi saya. Sudah rumah kebongkar, sudah saya di sana kebakaran, mana suami sudah enggak kerja, saya terima sajalah. Mungkin cobaan saya kurang gimana gitu,” ungkapnya.

Kebakaran berimbas pada usaha kecil-kecilan Melly. Bahan-bahan jualannya tak bisa bertahan lama. Ia tak bisa menyimpan bahan makakanan lama-lama.

“Iya, soalnya kemarin itu ya modal habis, enggak dapat apa-apa, enggak ada lagi sekarang mau dijual apa, modal enggak ada. Paling ada buat makan saja,” ungkapnya, yang masih berharap agar bisa tetap berjualan untuk mengganjal kebutuhan dapur. Namun kerap kali kebingungan dengan modal.

Di tengah deraan hidup yang datang bertubi-tubi, masih ada satu harapan yang terkepal dalam kepalan Melly. Ia berharap perlawanan warga di pengadilan bisa membuahkan kemenangan. Hal ini ia tunjukan dengan tak pernah absennya ke persidangan.

Ia bersama warga Anyer Dalam korban penggusuran lainnya berharap hak-hak mereka akan tempat tinggal, kembali. “Harapannya pingin seperti dulu-dulu lagi saja, suami kerja, anak-anak juga bisa disekolahin,” katanya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//