UI Bincang Masalah Papua dari Berbagai Sudut Pandang
Peneliti LIPI Cahyo Pamungkas menyoroti akibat yang tidak diharapkan dari pembangunan jalan trans-Papua, di antaranya, kerusakan ekologi.
Penulis Iman Herdiana25 Mei 2021
BandungBergerak.id - Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) bersama Research Centre for Security and Violent Extremism (RECURE) menyelenggarakan Simposium Nasional bertajuk “Dialog Papua: Refleksi, Visi dan Aksi”. Simposium ini melihat Papua dari berbagai sudut pandang narasumber.
Salah satu narasumber, Rektor Universitas Cendrawasih Apolo Safanpo menilai penyelesaian konflik Papua hanya bisa dilakukan melalui rekonsiliasi yang di dalamnya terdapat unsur pengungkapan kebenaran dan saling memaafkan. Tak hanya itu, diperlukan restitusi meliputi kompensasi atau ganti rugi yang diharapkan dapat menyentuh rasa keadilan.
“Karena itu perlu dipikirkan bagaimana cara rekonsiliasi sesuai kearifan lokal untuk menyelesaikan konflik Papua. Selain itu, rekonsiliasi dapat dilakukan di tingkat Kabupaten, di mana Gubernur diharapkan hadir mewakili pemerintah pusat,” ujar Apolo, dalam simposium digelar bauran daring dan luring, Senin (24/5/2021), seperti dikutip di laman resmi UI.
Peneliti LIPI Cahyo Pamungkas menyoroti akibat yang tidak diharapkan dari adanya pembangunan jalan trans-Papua, di antaranya, masifnya penebangan hutan yang mengancam kerusakan ekologi; persoalan keamanan seperti pemerasan, peredaran narkoba dan miras, konflik TNI-Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Di sisi lain, Jalan Trans-Papua dinilai belum mendorong kegiatan ekonomi orang asli papua (OAP), sumber daya manusia (SDM) OAP belum disiapkan untuk memanfaatkan jalan, dan lebih banyak suplai barang industri ke kampung daripada sebaliknya.
Narasumber lainnya, Direktur Eksekutif Institute for Peace and Security Studies (IPSS), Sri Yunanto menilai pelabelan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai kelompok teroris. Menurutnya, penyebutan teroris hanya untuk orang/kelompok yang sesuai dengan kriteria teroris.
“Siapa pun orangnya atau kelompok dan latar belakangnya. Kelompok yang tidak melakukan aksi dengan kriteria teroris sebaiknya tidak merasa sebagai teroris,” ujar Yunanto, seraya menambahkan untuk mengatasi persoalan-persoalan di Papua sebaiknya dilakukan dialog untuk Papua dan dialog yang mewakili kepentingan para pihak.
Mengenai dialog ini, Margaretha Hanita memaparkan berbagai kajian yang telah dilakukan SKSG UI untuk menemukan cara mewujudkan perdamaian di Papua. Ia mengatakan dalam dialog Papua, terdapat beberapa syarat-syarat di antaranya pihak yang berdialog memiliki legitimasi dan mewakili kepentingan para pihak; gencatan senjata; perlindungan hukum bagi peserta dialog; stop kekerasan, intimidasi, dan intervensi pihak yang tidak berkepentingan; dan ada mediator.
Baca Juga: Mahasiswi Psikologi Unjani Mengajar di Papua
Suara Papua dari Bandung
Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri, Komjen. Pol. Paulus Waterpauw memaparkan kisah awal sejarah Papua dimana Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 menandai sejarah baru di Papua. Kemudian Resolusi PBB No. 2504 (tanggal 19 November 1969) telah menetapkan bahwa Tanah Papua merupakan bagian dari NKRI dengan hasil 84 negara setuju, negara tidak setuju nihil, 30 negara abstain/blanko, dan yang tidak hadir sebanyak 12 negara.
Kemudian disahkannya UU No. 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat. Terkait refleksi UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua, terbit Perpu No.1 tahun 2008 yang merupakan revisi UU No. 21 tahun 2001 dengan tujuan utama mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghomatan HAM, percepatan pembangunan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan. Total transfer fiskal 2001-2021 adalah Rp. 1.092 Triliun yang terdiri dari komponen untuk bidang pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Selanjutnya, Akmal Malik membahas dinamika Papua pasca-menjadi daerah otonom. Ia mengatakan dalam rangka mengurangi kesenjangan antara provinsi Papua dan provinsi lain dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di provinsi Papua serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka negara Indonesia.
Kemendagri telah melakukan empat kali evaluasi terhadap implementasi Otsus Papua bersama dengan berbagai lembaga dan universitas. Ia menilai, persoalan tata kelola adalah persoalan yang utama yaitu bagaimana proses perencanaan, proses eksekusi, proses pengawasan dan tindak lanjutnya.
"Jadi melihat Papua, kita harus melihat sebagai sebuah sistem, sistem daerah otonom yang memiliki kewenangan cukup besar. Persoalan-persoalan tata kelola (pemerintahan) adalah persoalan terbesar yang dihadapi Papua selama ini dan ke depannya. Sebab, jika tata kelola tidak dibenahi dengan benar, maka persoalan keadilan, ketidakpuasan, dan lainnya akan selalu mewarnai setiap dinamika urusan di Papua,” ujar Akmal Malik.