Mahasiswi Psikologi Unjani Mengajar di Papua
Diharapkan semakin banyak program pengabdian masyarakat yang menyentuh desa tertinggal.
Penulis Iman Herdiana17 Mei 2021
BandungBergerak .id - Tidak semua kepulauan di Indonesia semaju kota-kota besar di pulau Jawa. Masih banyak daerah yang masuk kategori terluar, terdepan dan tertinggal. Salah satunya Pulau Friwen, Raja Ampat, Papua, yang masuk dalam program Ekspedisi Papua yang dijalankan Yayasan Arah Pemuda. Salah satu peserta program adalah mahasiswi Psikologi Universitas Jenderal A. Yani (Unjani) Kota Cimahi, Aurellien Dheazahra Sandra.
Lewat program tersebut, mahasiswi angkatan 2019 itu memberikan pelajaran di desa Friwen. Desa ini berbatasan dengan laut dan hutan. Di sana terdapat 42 keluarga yang dipimpin kepala desa. Menurut Indeks Desa Membangun Pembangunan Desa, Friwen tergolong sebagai desa tertinggal.
“Motivasi saya mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat ini karna saya peduli dengan saudara saudara kita di timur sana. Saya merasa bahwa mereka berhak mendapatkan apa yang kita di Pulau Jawa dapatkan,” tutur Aurellien, dikutip dari laman resmi Unjani, Senin (17/5/2021).
Ada 200 orang relawan yang mengikuti program Ekspedisi Papua. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Aurellien. Kegiatan relawan, antara lain, menjalankan program pendidikan dan kesehatan, seperti membangun Rumah Baca. Di bidang kesehatan, relawan melakukan pemeriksaan kesehatan kepada warga Pulau Friwen.
Relawan sendiri dibagi menjadi 4 divisi yang terdiri dari divisi lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan kesehatan. “Harapan saya, untuk anak-anak Pulau Friwen khususnya lebih besar lagi motivasi dan semangat untuk belajar setinggi tingginya karna saya melihat semangat belajarnya masih kurang dan cita-cita pun belum begitu beragam karena kurangnya inovasi di sana,” kata Aurellien.
Menurut Aurellien, masyarakat Pulau Friwen masih sangat membutuhkan layanan kesehatan dan obat-obatan. Di Pulau Friwen tidak ada puskesmas. Jika ada anggota masyarakat yang membutuhkan puskesmas, maka dia harus menyebrang pulau dengan perahu dengan waktu tempuh 45 menit. Aurellien berharap semakin banyak program pengabdian masyarakat di bidang kesehatan di Pulau Friwen.
Ekspedisi Papua yang dilakukan Yayasan Arah Pemuda berlangsung 26 Januari – 7 Februari 2021. Yayasan Arah Pemuda bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Lewat programnya, yayasan ini berharap banyak pemuda-pemudi Indonesia turut memberikan andil dalam penguatan daerah terluar, terdepan dan tertinggal Indonesia.
Ekspedisi Papua sendiri memiliki empat fokus program, yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, dan Pariwisata. Keempat bidang ini dipilih karena merupakan kebutuhan esensial yang diperlukan di daerah terluar, terdepan dan tertinggal.
Arief Budiarto selaku Dekan Fakultas Psikologi menambahkan, kegiatan pengabdian tersebut diharapkan dapat memberikan pengalaman berharga yang bisa dibagikan ke rekan-rekan mahasiswa lain. Dengan demikian, banyak mahasiswa yang terinspirasi untuk berani mengembangkan keterampilan diri dan berinteraksi dengan masyarakat langsung. Ia berharap, selain Aurellien semakin banyak duta-duta Fakultas Psikologi Unjani untuk mendukung pengembangan daerah di Indonesia.
Baca Juga: Mencermati Teknologi Robot yang Semakin Dekat dengan Manusia
FKUI Teliti Kesediaan Mahasiswa Kedokteran Menjadi Relawan Pandemi Covid-19
ITB Bebaskan UKT Seleksi Mandiri bagi Mahasiswa Kurang Mampu
Unpad Dorong Pemerintah Maksimalkan Data
ITB Ajak Pesantren Olah Sampah
Banyak cara yang bisa dilakukan dalam pengabdian kepada masyarakat. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB), misalnya, yang berkolaborasi dengan Design Ethnography Lab. FSRD ITB dan RMI NU untuk mengenalkan teknologi pertanian di lingkungan pesantren.
Acara dikemas lewat gelaran wicara Karsa Loka Vol. 007 pada Jumat (7/5/2021) yang mengusung tema “Lokakarya Pesantren: Social-Lab untuk Inovasi Berbasis Pertanian Terpadu”. Narasumber lokakarya pesantren, Zainal Abidin, mengenalkan inovasinya berupa Manajemen Sampah Zero (Masaro). Inovasi ini diharapkan bisa diimplementasikan di bidang pertanian berbasis pesantren. Sistem tersebut mengolah kelompok sampah residu, daur ulang, dan membusuk menjadi produk-produk berharga. “Masaro menyelesaikan permasalahan semua jenis sampah menjadi zero,” ujar Zainal.
Sampah residu diolah dalam tungku bakar untuk menghasilkan produk olahan abu untuk media tanam, pengawet kayu antirayap, serta pestisida organik. Sementara itu, sampah daur ulang lebih baik diserahkan ke pengepul atau langsung ke industri daur ulang. Terakhir, sampah membusuk perlu dicacah dan difermentasi menggunakan katalis Masaro. “Satu kilogram sampah membusuk dapat diproses menjadi 12 liter Konsentrat Organik Cair Istimewa (KOCI) atau Pupuk Organik Cair Istimewa (POCI),” jelas Zainal.
Zainal berharap gerakan Masaro dapat menyelesaikan permasalahan sampah, menjaga kebersihan lingkungan, membangun ketahanan pangan, dan memberi bekal pendidikan kewirausahaan untuk para santri. “Gerakan ini dapat menjadikan pesantren sebagai agent of change dan agent of propagation untuk umat, bangsa, dan negara,” pungkasnya.
Materi selanjutnya dibawakan oleh Ramadhani Eka Putra dari SITH ITB. Ia memaparkan materi berjudul “Teknologi Pengolahan Limbah untuk Pertanian Terpadu Modular”. Lewat disiplin ilmu rekayasa pertanian, ia dan tim mengembangkan lalat jenis Black Soldier Fly (BSF) penghasil magot untuk mengatasi sampah organik.
Menurut Ramadhani, lalat BSF dapat diaplikasikan pada pesantren karena mampu mencerna sekaligus mengurangi masa limbah organik sebanyak 35-45 persen dan memiliki kandungan protein prepupa sebanyak 44 persen. “BSF unggul karena dapat mengolah segala jenis sampah, menjadi pakan ternak, bagus untuk kompos, serta mengendalikan lalat-lalat lain yang sifatnya merugikan,” kata Ramadhani.