PAYUNG HITAM #4: Muhammad, Maria, dan Hal-hal di Antaranya
Jika alat-alat pemerintah memang sebegitu pedulinya dengan kasus-kasus yang berbau keagamaan, ada segunung kasus yang lebih genting daripada iklan miras.
Meg
Pegiat HAM, paralegal, dan buruh digital
30 Juni 2022
BandungBergerak.id - Kontroversi promosi minuman keras menggunakan nama “Muhammad” dan “Maria” yang dilakukan oleh Holywings Indonesia menyedot perhatian publik. Ujung dari kasus tersebut adalah penetapan tersangka enam pekerja Holywings: direktur kreatif, kepala tim promosi, anggota tim promosi, dua orang petugas admin tim promo, dan seorang social media officer.
Seakan-akan belum cukup ngawur, kriminalisasi tim kreatif ini dilakukan—seperti yang dinyatakan oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Budhi Herdi Susianto—dengan menerapkan tiga pasal sekaligus: pasal 14 ayat (1) dan (2) UU no. 1 tahun 1946 tentang berita bohong, pasal 156 KUHP tentang ujaran kebencian dan penistaan agama, serta pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian berbasis elektronik.
Saya tidak habis pikir bagaimana sebuah promosi kreatif bisa diklasifikasikan sebagai tindak pidana, dengan tuduhan berita bohong dan ujaran kebencian. Sudah jelas diketahui bahwa motif dari promosi tersebut adalah kepentingan pemasaran (marketing). Betapa nanggung dan kurang kerjaannya alat-alat pemerintah kita ini, yang lebih memilih mengurusi periklanan miras ketimbang masalah-masalah lain yang lebih serius.
Kenapa saya sebut nanggung? Jika alat-alat pemerintah ini memang sebegitu pedulinya dengan kasus-kasus yang berbau keagamaan, ada segunung kasus yang lebih genting daripada iklan miras. Pendirian rumah ibadah, misalnya.
Berdasarkan kajian dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI atas Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 tahun 2009, setidak-tidaknya ada delapan laporan atas pengaduan kasus rumah ibadah setiap tahunnya dari rentang waktu 2017 hingga 2019. Ditambah lagi, setidak-tidaknya terdapat 25 pengaduan kasus terkait hak atas kebebasan beragama di Indonesia.
Saya yakin hanya beberapa dari kita yang mengetahui kasus pembakaran dan penyerangan rumah ibadah umat Buddha di Tanjung Balai pada tahun 2017. Saya yakin hanya beberapa dari kita yang mengetahui penganiayaan, perusakan, dan pembakaran Gereja Bethel Indonesia Jemaat Siloam Elpaputih di Maluku. Ada 17 gereja yang ditutup paksa bahkan dibongkar di Aceh Singkil dengan alasan perizinan. Jemaat Katolik di Batu Sangkar, Tanah Datar, harus berjuang puluhan tahun demi beribadah dengan layak dan tenang. Ada juga pendirian Masjid At-Taqwa Muhammadiyah yang dicekal Kemenag Kabupaten Bireuen karena mengatasnamakan organisasi Muhammadiyah.
Ada puluhan, bahkan ratusan, kasus berdarah atas nama keagamaan yang selama ini tersembunyi dan tidak pernah muncul ke permukaan lantaran alat-alat pemerintah sibuk dengan urusan lain, seperti periklanan miras.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #3: Pendidikan Kita Baik-Baik Saja, Kok (?)
PAYUNG HITAM #2: Bunga dan Tembok di Dago Elos
PAYUNG HITAM #1: Suara-suara Baru di Pekan Penghilangan Paksa
Kuasa Mayoritas
Ledakan kasus Holywings Indonesia tidak lepas dari ketersinggungan masyarakat mayoritas. Merasa tersenggol dan tercederai keimanannya, mereka mengobarkan isu ini ke publik: “Oh ini penistaan!” “Oh ini tekanan terhadap agama kami!”
Merujuk kolom Kalis Mardiasih Kenapa sih Umat Islam, kok Merasa Tertekan?, sebenarnya kita mempertanyakan apa sih indikator yang digunakan untuk mengukur kadar tekanan sebuah umat?
Ketertekanan umat suatu agama secara umum ditandai dengan kesulitan-kesulitan untuk membangun rumah ibadah dan kesulitan umat untuk beribadah. Nyatanya, kaum mayoritas ini tidak mengalami kesulitan untuk membangun rumah ibadah. Masjid-masjid dan musala berkelindan di setiap pengkolan dan tikungan, spanduk-spanduk perayaan hari besar keagamaan terpampang berganti-ganti setiap bulan, demo besar-besaran menuntut penista agama diadakan sampai berjilid-jilid, dan toa masjid di Ciganitri berkumandang setiap malam minggu seakan mengingatkan umat: “Hei, jangan pacaran, mari ngaji ke masjid!”
Lantas, kenapa bisa-bisanya kaum mayoritas merasa tersinggung sedemikian rupa hanya karena masalah iklas miras? Kenapa tega-teganya kaum mayoritas mengkriminalisasikan sejumlah orang yang hanya menjalankan pekerjaan mereka untuk menghasilkan iklan-iklan kreatif demi meningkatkan penjualan?
Sensitivitas umat yang tidak pada tempatnya ini turut disuburkan dengan keberadaan pasal-pasal karet terbitan tahun 2020: UU ITE. Tiap unggahan kawan-kawan sekalian pun bisa dipidanakan apabila dianggap menyinggung pihak-pihak yang belum tentu ada kaitannya.
Di sisi lain, kaum minoritas adem-adem saja melihat pertikaian publik tentang mazhab iklan miras ini. Padahal, kalau dibandingkan, kaum minoritas ini sudah kenyang dicederai haknya. Sudah dipersulit membangun rumah ibadah, masih pula harus menghadapi rasa ketidakamanan dalam beribadah.
Saya sendiri masih perlu meraba-raba kolong bangku gereja pada setiap kali saya hendak menjalankan misa untuk memastikan tidak ada bom di sana.
Saya yakin, pada hakikatnya, umat apapun pasti bisa memiliki perspektif yang lebih baru dan sensitivitas kepada hal-hal yang lebih patut untuk diurusi ketimbang hal remeh-temeh seperti ini. Suatu saat nanti, saya yakin pemerintah beserta alatnya pada akhirnya bisa mengeluarkan dan menjalankan perundangan yang lebih bermutu.
Suatu saat nanti, bukan cuma dalam mimpi.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung