Catatan Gelap Nasib Perempuan dari Aceh hingga Sumbawa
Para perempuan yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan menyuarakan kesetaraan dan ketidakadilan gender. Hari Kartini menjadi momen bagi perempuanuntuk bergerak.
Penulis Awla Rajul22 April 2022
BandungBergerak.id - Solidaritas Perempuan membuka catatan gelap akan nasib yang menimpa perempuan Indonesia saat ini. Catatan ini diungkap bertepatan dengan peringatan Hari Kartini yang jatuh setiap bulan April. Upaya menghapus kegelapan hingga terbitnya terang masih harus dilanjutkan kaum hawa masa kini.
Dalam amatan Solidaritas Perempuan, perempuan Indonesia masih belum merdeka dan berdaulat. Sebut saja komunitas-komunitas yang mewadahi perempuan seperti Wadon Wadas, Perempuan Pubabu, dan Perempuan Takalar yang masih harus berhadapan dengan korporasi dan negara yang merampas tanah dan ruang hidup mereka. Bahkan mereka menghadapi kekerasan dan kriminalisasi.
Realitas tersebut dinilai bertentangan dengan tema yang diusung Indonesia sebagai tuan rumah Presidensi G20 Tahun 2022: Recover Together, Recover Stronger atau “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa”.
Ariska Kurniawati dari Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan, menyebutkan bahwa pemulihan yang dilakukan oleh negara adalah pemulihan yang fokus untuk kepentingan investasi dan kuasa modal.
“Recover together hanya bagi kuasa investasi, kuasa modal. Pemulihan hanya berfokus pada pemulihan ekonomi semata. Pemerintah yakin pemulihan hanya dengan investasi, sehingga berbagai regulasi hadir seperti omnibus law (UU Cipta Kerja) yang memudahkan penggusuran-penggusuran,” ungkap Ariska, Kamis (21/4/2022).
Ariska berbicara dalam talkshow sekaligus peluncuran Catatan Tahunan Solidaritas Perempuan 2021 yang bertajuk “Geliat Perjuangan Perempuan Melawan Dominasi Kuasa di Tengah Pemulihan Palsu Negara”. Diskusi yang diselenggarakan secara daring ini menghadirkan para aktivis perempuan dari Aceh, Poso, Sumbawa.
PLTA Poso Merugikan Perempuan
Perwakilan dari Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Poso, Nia Sudin mengemukakan permasalahan perempuan Poso terkait dengan pembangunan PLTA Poso. Ia mengatakan pembangunan PLTA tersebut membuat perempuan-perempuan dan masyarakat kehilangan lahan dan menurunkan pendapatannya.
Pembangunan PLTA Poso berdampak buruk bagi perempuan. Pembangunan hanya didasarkan pada kepentingan industri. “Pendapatan dari pembangunan ini pun tidak sebanding dengan apa yang terjadi, seperti kerusakan lingkungan, ekosistem. Kemudian masalah-masalah ekonomi sosial yang disebabkan oleh aktivitas energi ini,” jelas Nia Sudin.
Baca Juga: Nilai Juang Kartini di Masa Kini, Kesetaraan Gender dan Menghapus Patriarkisme
Rencana Pembangunan Jalan Tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan Mengancam Cekungan Bandung
Penyebab Bandung semakin Hareudang
Kasus Buruh Migran Perempuan
Hadiatul Husna dari Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Sumbawa, mengungkap persoalan terkait perlindungan buruh migran. Perempuan masih menghadapi kebijakan pelarangan penempatan pekerja rumah tangga ke sejumlah negara di Timur Tengah. Hal ini membatasi perempuan untuk bekerja, berjuang untuk diri mereka dan keluarga.
Di sisi lain, para perempuan buruh migran berada dalam posisi rentan, misalnya menjadi sasaran perdagangan orang. Husna mengaku pihaknya mendorong Kemnaker untuk meninjau ulang keputusan Menteri No. 260 Tahun 2015. Namun, Kemnaker tidak bergeming dan berdalih bahwa kebijakan yang ada masih bisa melindungi perempuan buruh migran.
“Padahal dalam berbagai konteks, negara telah menghasilkan berbagai kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap perempuan buruh migran kita di Indonesia,” tandasnya.
Data menunjukkan bahwa selama tahun 2021 terjadi sekitar 57 kasus yang diadvokasi oleh Solidaritas Perempuan. Kasusnya terdiri dari berbagai jenis, mulai dari perempuan pekerja migran yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh perkebunan sawit, ataupun pekerja di sektor formal. Namun, Husna mengatakan perlindungan terhadap buruh migran perempuan masih lemah.
Dari 57 kasus, mayoritas terjadi di wilayah Indonesia Timur. Upaya pendampingan hukum terhadap mereka harus menempuh proses panjang. Penyebabnya karena lemahnya penyidik ketika menghadapi kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Kasus TPPO juga sulit dibuktikan.
Penindasan Seksualitas Mengatasnamakan Agama di Aceh
Rahmil Izzati dari Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Bungong Jeumpa Aceh, menyampaikan terkait persoalan kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di Aceh. Hal ini terjadi melalui kontrol dan penindasan seksualitas yang mengatasnamakan agama. Menurutnya agama dijadikan sebagai alat politik yang menghasilkan produk hukum yang menghambat kebebasan perempuan.
Melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, provinsi ini mendapatkan otonomi khusus Aceh termasuk pelaksanaan syariat Aceh. Hal ini kemudian melahirkan Qanun No. 6 tahun 2014 tentang Qanun Jinayah yang berisi 10 Jarimah dan akibatnya yaitu dieksekusi cambuk.
Rahmil Izzati menjelaskan bahwa Qanun awalnya bertujuan untuk menjunjung keadilan, kemaslahatan, kepastian hukum, perlindungan HAM, dan memberikan pembelajaran bagi masyarakat.
Namun kebijakan tersebut pada praktiknya melahirkan diskriminasi begi perempuan dan juga menjadi bentuk kontrol terhadap seksualitas. Padahal seksualitas seharusnya menjadi ranah privat dan menjadi hak warga negara yang tidak bisa diintervensi oleh negara.
Pantauan Solidaritas Perempuan Bungong Jeumpa Aceh di tujuh desa dari tiga kecamatan di Aceh Besar sepanjang 2015 hingga 2016, terdapat 90 persen perempuan tidak mengetahui informasi mengenai Qanun Jinayah. Hal ini terjadi karena minimnya sosialisasi yang terjadi di akar rumput.
Selain itu, terdapat pasal-pasal yang mendiskriminasi perempuan, mulai pasal 52 sampai pasal 55 terkait pemerkosaan. Pasal-pasal ini dapat mengkriminalisasi korban perkosaan yang berupaya menemukan keadilan. Perempuan korban pemerkosaan pun harus menghadirkan empat orang saksi. Jika tidak, maka korban akan tertuduh melakukan zina dan menuduh orang berbuat zina.
“Yang Solidaritas Perempuan lakukan dan akar rumput terus upayakan adalah perempuan di akar rumput terus merebut ruang untuk mengembangkan diri dan turut mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Kemudian terus melawan berbagai praktik-praktik kultural dengan mendorong reusam gampong. Kami juga terus mendorong pencabutan kebijakan yang mendiskriminasi perempuan di Aceh,” papar Rahmil Izzati.
Perempuan Bergerak
Dari berbagai persoalan yang dihadapi kaum perempuan, Nia Sudin menegaskan bahwa mereka harus bergerak melakukan perlawanan, berjuang untuk mendapatkan pemulihan dan sumber kehidupan. Perempuan di Poso, sebutnya, sudah mengupayakan untuk berdialog dengan pihak desa, bernegosiasi dengan perusahan, berdialog dengan DPR, bahkan mengirimkan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo. Walaupun belum membuahkan hasil yang diharapkan.
Ariska Kurniawati juga menilai saat ini gerakan-gerakan perempuan semakin bergeliat untuk melawan ketidakadilan. Ia menegaskan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh akar rumput menjadi perlawanan yang penting.
Gerakan di akar rumput diharapkan saling tersambung, mulai dari lingkup kota maupun di kampung-kampung. Dengan demikian, cita-cita Kartini dalam mewujudakan kesetaraan dan keadilan gender semakin dekat atau bahkan bisa digapai, sesuai dengan judul buku yang ditulisnya: “Habis Gelap Terbitlah Terang”.