• Berita
  • Rencana Pembangunan Jalan Tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan Mengancam Cekungan Bandung

Rencana Pembangunan Jalan Tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan Mengancam Cekungan Bandung

Rencana pembangunan jalan tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan hanya mengutamakan faktor ekonomi dan pariwisata, tanpa menimbang kerusakan lingkungan.

Cagar alam di Bandung selatan, Selasa (19/4/2022). Bandung selatan seperti Ciwidey dan Pangalengan memiliki keanekaragaman hayati yang dilindungi. Pembangunan infrastruktur akan mengancam kelestarian alam kawasan Bandung selatan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman21 April 2022


BandungBergerak.id - Rencana pembangunan jalan tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan yang direncanakan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung berpotensi besar memberikan ancaman atas keberlangsungan sosial, lingkungan, dan satwa di kawasan Bandung selatan. Ancaman tersebut juga berlaku bagi Kota Bandung.

“Tentu akan ada dampak kepada wilayah cekungan Bandung, jadi akan semakin banyak air larian karena kawasan terbangun akan semakin banyak. Contoh kasusnya akan sama seperti kawasan Bandung utara yang menyebabkan banjir di Cicaheum. Nah, kita tidak mau terjadi seperti itu, jadi perlu ada pelestarian di kawasan Bandung selatan agar tidak rusak dan tidak terjadi pembangunan secara masif,” tutur Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Meiki W Paendong, saat dihubungi BandungBergerak.id, Rabu (20/4/2022).

Cekungan Bandung terdiri dari Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bupati Bandung Barat, dan sebagian wilayah di Kabupaten Sumedang, yaitu Jatinangor. Luas wilayah Cekungan Bandung sekitar 2.300 kilometer persegi yang bentuknya jika dilihat dari peta berupa baskom raksasa sehingga disebut cekungan. Pinggiran Cekungan Bandung dikelilingi pegunungan.

Kawasan Ciwidey-Pangalengan, Kabupaten Bandung, merupakan benteng cekungan Bandung di selatan yang dalam beberapa dekade belakangan ini terus terancam pembangunan. Jika kelestarian lingkungan tak diperhatikan, maka potensi bencana di cekungan Bandung akan semakin besar, mulai dari sumber daya air, persampahan, banjir, sampah, polusi (tanah, air, udara), punahnya keanekaragaman hayati, dan banyak lagi.

Meiki menjelaskan bahwa pembangunan jalan tol akan semakin membuka peluang alih fungsi lahan, karena salah satu tujuan dibangunnya jalan tol untuk meningkatkan ekonomi dan pariwisata. Maka pembangunan tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan diprediksi akan menimbulkan alih fungsi lahan besar-besaran atas nama pariwisata namun mengancam kelestarian lingkungan.

Apabila hal tersebut tidak bisa dikontrol secara kuat, maka tentunya tekanan terhadap kondisi lingkungan Bandung selatan semakin besar, seperti jumlah sampah yang akan semakin membengkak akibat aktivitas pariwisata, kemudian banyaknya air larian yang akan mengancam daerah dataran rendah karena lahan resapan sudah banyak menjadi beton.

“Kita tahu sendiri, kalau di kita aspek monitoring dan pengawasan yang kuatnya masih lemah. Sehingga dapat dikatakan kalau potensi terjadinya alih fungsi lahan secara besar-besaran nantinya akan benar-benar terjadi,” ucapnya.

Selain itu, dampak pembangunan jalan tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan akan mengusik habitat satwa liar yang terdapat di kawasan Bandung Selatan. Pegiat lembaga konservasi satwa liar dari The Aspinall Foundation Indonesia, Sigit Ibrahim, sangat menyayangkan rencana pembangunan jalan tol tersebut karena akan mengusik area lepas liar satwa.

Ia mengaku belakangan ini telah mendapatkan satu kajian yang membahas tentang pembangunan jalan tol. Namun ia kembali menyayangkan ketika mengetahui di dalam kajian-kajian tersebut tidak ada perspektif ekologinya. Yang dibahas melulu aspek ekonomi dan pariwisatanya.

“Kemarin saya baca laporan feasibility tentang kajian tolnya. Cuma memang pembahasannya hanya mengkaji dampak kondisi sosial ekonomi masyarakat setelah adanya tol, kemudian ada juga objek wisata yang paling diangkat terutama di wilayah Ciwidey dan Pangalengan. Sayangnya, kami belum lihat kajian ekologinya, misalnya kami belum tahu bagaimana peta jalannya, kami juga belum lihat perhitungan berapa besar karbon yang dikeluarkan akibat kendaraan dan berapa banyak pohon yang harus dikorbankan,” jelas Sigit melalui pesan suara kepada BandungBergerak.id.

Sebagai warga yang tinggal di sekitar Ciwidey, Sigit mengaku pembangunan jalan tol tersebut tidak terlalu urgent untuk segera dibangun. Sigit menilai perluasan jalan dan sarana transportasi umum di daerahnya sendirilah yang semestinya segera diperbaiki.

Pada akhirnya rencana pembangunan jalan tol tidak akan banyak memberikan banyak keuntungan. Mereka berharap jangan sampai untuk memajukan satu atau dua bidang harus mengorbankan banyak hal. Sebaiknya sebelum melakukan pembangunan infrastruktur dilakukan banyak kajian dan diambil bagian yang tidak banyak merugikan banyak hal.

Baca Juga: Mengenang Ali Sastroamidjojo sebagai Penggagas Konferensi Asia Afrika
Penyebab Bandung semakin Hareudang
Nestapa Warga Korban Pembongkaran Rumah Bantaran Sungai Cibodas di Rusunawa Rancacili

Gerbang Tol Cisumdawu, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Senin (24/1/2022). Pegiat lingkungan memperingatkan pembangunan infrastruktur yang tidak ramah lingkungan akan mengundang bencana egologi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Gerbang Tol Cisumdawu, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Senin (24/1/2022). Pegiat lingkungan memperingatkan pembangunan infrastruktur yang tidak ramah lingkungan akan mengundang bencana egologi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Kawasan Bandung Selatan, Benteng Terakhir Cekungan Bandung

Kawasan Bandung selatan hingga saat ini masih menyimpan segudang kebudayaan dan keanekaragaman hayati. Tidak sedikit juga kawasan Bandung selatan menjadi rumah yang layak bagi makhluk hidup selain manusia. Ruang dan lahan terbuka hijaunya yang luas juga memberikan sumbangsih yang besar terhadap keseimbangan alam.

Sigit Ibrahim menyebut kawasan Bandung selatan masih memiliki sejumlah populasi primata Jawa yang langka seperti owa jawa dan kukang jawa. Ada juga macan tutul, binturong, elang jawa, ular kobra palsu yang masih belum banyak kajiannya, hingga kodok merah yang statusnya dilindungi undang-undang.

“Alih fungsi lahan yang awalnya hutan kemudian berubah menjadi bukan hutan merupakan ancaman besar. Apabila konteksnya pembangunan jalan, maka nanti akan ada kasus satwa yang melintas kemudian tertabrak, kalau ada jaringan listrik bisa saja membahayakan satwa. Kemudian aktivitas manusia akan mengubah perilaku satwa seperti monyet ekor panjang yang terbiasa diberi makan oleh manusia sehingga mereka enggan untuk mencari makan sendiri, kasus ini terjadi juga di kawasan Tangkuban Parahu,” jelasnya.

Pernik kawasan Bandung selatan tersebut merupakan identitas yang mesti dijaga oleh setiap orang. Adanya upaya perusakan lingkungan dalam bentuk apa pun, artinya sama dengan menghilangkan identitas kawasan Bandung selatan di mata dunia.

Meiki W Paendong menyatakan jangan sampai kawasan Bandung selatan ini nasibnya akan sama seperti kawasan Bandung utara. Seperti yang diketahui pengelolaan kawasan Bandung utara sudah tidak terkontrol lagi, alih fungsi lahan semakin masif dilakukan tanpa memiliki legalitas tanah dan pendirian kawasan wisata tanpa sertifikasi Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Walhi dan berbagai jaringan lainnya telah berupaya dari meminta pemerintah untuk melestarikan kawasan Bandung selatan dari segala tindak perilaku yang sifatnya merusak kawasan. Namun melihat adanya rencana pembangunan jalan tol tersebut, ia menyayangkan betul apabila program tersebut benar-benar akan terealisasikan.

“Kami berharap jalan tol itu tidak terbangun. Selain akan berdampak pada sosialnya, kami sebagai organisasi lingkungan lebih melihat banyak dampak buruk yang akan menimpa pada lingkungan di kawasan Bandung selatan. Harapannya Pemda mempertimbangkan kembali pembangunan tersebut dengan alasan terlalu besar resiko yang akan ditanggung oleh lingkungan dan sosial nantinya,” pungkas Meiki.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//