• Berita
  • Penyebab Bandung semakin Hareudang

Penyebab Bandung semakin Hareudang

Suhu di Bandung telah berubah menjadi lebih panas. Konon bakal sepanas Jakarta. Pembangunan harus memperhatikan keseimbangan alam dan ekonomi.

Cekungan Bandung dilihat dari Kampus UPI, Bandung, Rabu (23/3/2022). Kota Bandung yang padat penduduk dan posisinya di lembah cekungan Bandung, membuat suhu udara semakin panas. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana19 April 2022


BandungBergerak.idZadrach L Dupe, pakar sains atmosfer ITB, masih mengenang jelas masa sekolahnya di daerah Bahureksa, Kota Bandung, tahun 1970-an. Udara waktu itu dingin dan berkabut. Pepohonan tumbuh di mana-mana. Tiba di sekolah, butiran-butiran embun menempel di rambut dan bulu mata.

Kini, suhu di Bandung berubah menjadi lebih panas. Fenomena perubahan iklim yang terjadi secara global menjadi salah satu penyebabnya. Namun pembangunan yang masif tanpa menimbang kelestarian alam menjadi penyebab lainnya. Jika tidak ada upaya pencegahan pemanasan global, konon Bandung bakal sepanas Jakarta.  

Pengalaman masa kecil dosen Fakultas dan Teknologi Kebumian ITB tersebut memberikan gambaran bahwa saat ini Bandung sudah sangat berubah, terutama dari segi iklim. Zadrach menceritakannya dalam diskusi virtual bertajuk “Bandung Hareudang, Apa yang Sebenarnya Terjadi?” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, AJI Indonesia, dan Google News Initiative, Selasa (19/4/2022).

“Perubahan pembangunan di Bandung sangat luar biasa,” kata Zadrach.

Jika di masa Zadrach sekolah saja Bandung masih dingin, maka akan lebih dingin lagi bila dibandingkan dengan masa awal kolonial Belanda di mana daerah yang dikenal Tatar Ukur ini masih berupa hutan belantara. Menurut Zadrach, waktu itu Belanda membangun Bandung hanya untuk dihuni oleh 200 ribuan jiwa.

Sekarang, jumlah penduduk Kota Bandung sudah naik lebih dari 10 kali lipat. Maka tak heran jika kali ini Bandung terasa lebih hareudang atau gerah. Ilustrasinya, kata Zadrach, jika kita masuk ke dalam suatu ruangan yang lengang, maka hawanya akan terasa lapang. Ruangan tersebut akan terasa sumpek dan panas jika diisi kerumunan.

Pada tahun 1940, kata dosen yang S2-nya di Goethe Institut, Berlin – Jerman, tersebut, Bandung dihuni 177.659 jiwa. Jumlah tersebut membengkak pada 2020 menjadi 2.444.160 jiwa. Tentu dahsyatnya laju pertumbuhan penduduk ini bukan satu-satunya penyebab Bandung semakin hareudang. Ada faktor perubahan iklim yang setiap tahunnya terjadi akibat aktivitas industri atau ekonomi.

Pembangunan tersebut dilakukan demi menciptakan kenyamanan penduduknya. Sayangnya kenyamanan yang diinginkan itu tidak memerhatikan keseimbangan alam. Kelestarian lingkungan dikesampingkan.

Ini bisa dilihat dari gencarnya alih fungsi lahan ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung. Pada tahun 1970, RTH Kota Bandung sebesar 35 persen. Namun pada 2010, RTH Kota Bandung tinggal 10 persen. Setelah tahun 2010, ada peningkatan RTH Kota Bandung menjadi 12 persen.

Penyebab Bandung hareudang berikutnya, lanjut Zadrach, meningkatnya jumlah kendaraan pribadi di Kota Bandung. Padahal setiap satu kendaraan baru akan menyumbangkan dua ton emisi Co2 ke atmosfer per tahunnya. Gas emisi ini penyebab utama rusaknya lapisan ozon sehingga menimbulkan pemanasan global.

Zadrach mencatat pertambahan STNK sepeda motor di Kota Bandung mencapai 300 lembar per hari atau 108.000 lembar per tahun. Untuk mobil, STNK baru yang dibikin sebanyak 300 lembar per hari atau 15.000 per tahun. Tidak aneh jika Bandung kerap dilanda kemacetan dan kian hareudang.  

Pada tahun 1975, suhu Kota Bandung sebesar 22 derajat ceslius. Suhu ini terus meningkat hingga mencatat suhu paling panas dalam sejarah Bandung pada 2020 yang mencapai 25 derajat celsius. Peningkatan suhu ini ditunjang dengan faktor alamiah cekungan Bandung maupun faktor global, seperti mencairnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, pembabatan hutan, polusi industri, dan seterusnya.

Kondisi itu diperparah dengan kontur Kota Bandung yang berada di lembah cekungan Bandung. Zadrach mengibaratkan cekungan Bandung seperti mangkuk besar, yakni lembah yang dikelilingi dataran tinggi dan pegunungan. Kontur tanah ini membuat udara terperangkap di atas lembah.

“Sirkulasi udara Bandung terkurung dalam mangkok,” katanya.

Ciri khas iklim di cekungan Bandung adalah pada pagi ke siang cuaca terik, pada sore ke malam terjadi hujan lebat. Fenomena ini terjadi karena pengumpulan uap hujan dari cuaca terik pagi ke siang, sehingga sorenya hujan.

Baca Juga: Agus Martin (45), warga yang direlokasi dari bantaran Sungai Cibodas, Kelurahan Antapani Kidul, Kecamatan Antapani, ke Rusunawa Rancacili, Sabtu (16/4/2022). (Foto:
SUARA SETARA: RUU TPKS Pascaratifikasi, Apa Langkah Selanjutnya?
Merayakan Kemenangan ala Riverside Forest, Klub Sepak Bola Punk Bandung

Apa yang Harus Dilakukan?

Pembangunan di Kota Bandung harus memperhatikan aspek keseimbangan antara alam, masyarakat dan ekonominya. Keseimbangan dapat dilakukan dengan melakukan penghematan energi, air, penghijauaan lingkungan, dan pelestarian alam lainnya.

“Kita tidak bisa membangun demi ekonomi dan kenyamanan kemudian mengorbankan alam. Semua harus terjadi seimbang. Dengan seimbang Bandung akan tetap nyaman ditinggali,” kata Zadrach L Dupe.

Pemerintah sebenarnya sudah menyadari pentingnya konsep keseimbangan dalam pembangunan. Namun, tidak ada program dan realisasinya. Contohnya, setiap 29 November diperingati sebagai hari tanam nasional. Tetapi Zadrach tidak melihat setiap momen penting tersebut ada program massif penanaman pohon yang dilakukan pemerintah.

Tanpa keseimbangan, Bandung akan semakin panas. Kondisi alamnya akan semakin rusak. Akhirnya, bencana hidrometeorologi menyergap, seperti banjir, krisis air bersih, longsor, penurunan muka tanah, dan seterusnya.

Peran Media dan Jurnalis

Diskusi tersebut juga menghadirkan Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id, Tri Joko Her Riadi, yang mengatakan isu tentang iklim masih terkesan abstrak pada ranah jurnalistik. Isu ini perlu pendekatan khusus agar tersampaikan ke publik.

Salah satu contoh isu yang menyentuh publik adalah suhu panas Kota Bandung. Akhir-akhir ini, kata Joko artikel data tentang perubahan suhu Kota Bandung menjadi perhatian banyak pembaca.

“Orang Bandung sangat peduli dengan kotanya, peduli soal sejarah. Termasuk (peduli) kondisi (Bandung) sekarang yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja,” katanya.

Menurutnya, sudah lama Bandung kekurangan RTH seiring semakin banyaknya lahan kosong yang terbangun. Memang ada program revitalisasi taman yang dilakukan pemerintah, tetapi revitalisasi ini belum tentu berkontribusi signifikan pada luas RTH Kota Bandung. Joko khawatir revitalisasi hanya penggantian nama taman saja, sedangkan di tamannya sendiri lebih banyak bangunan betonnya yang tidak bisa menyerap air.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//