• Berita
  • Bencana Mengintai di Balik Keindahan Kawasan Bandung Utara

Bencana Mengintai di Balik Keindahan Kawasan Bandung Utara

Pembangunan Bandung yang masif berimbas pada kian cepatnya laju alih fungsi lahan-lahan konservasi alam Kawasan Bandung Utara. Bencana ekologis mengancam.

Gedung pencakar langit The Maj di antara permukiman padat dan area terbuka hijau Kawasan Bandung Utara, Dago, Jawa Barat, Rabu (17/11/2021). Gedung ini mendadak viral setelah fotonya diunggah oleh seorang netizen. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki23 November 2021


BandungBergerak.idSebuah foto berlokasi di Dago, Kawasan Bandung Utara (KBU), sempat menjadi perbincangan ramai di jagat Twitter, sepekan lalu. Foto ini memperlihatkan permukiman padat di pinggir kali dengan latar bangunan tinggi menjulang di kejauhan.

“Benarkah Bandung itu indah? Sebuah gedung yg dijadikan objek jepretan terasa mewah dari jauh namun bila dari sudut kurang lebih 50 meter. Semuanya berubah, kontras itu nyata adanya,” demikian akun novanputraa memberi keterangan foto yang diunggahnya pada 14 November 2021.

Hingga kini, foto tersebut telah 2.609 kali di-retweets, mendapat 338 komentar, dan lebih dari 10 ribu likes. Ada komentar yang setuju bahwa Bandung tak seindah dari jauh, karena kalau dari dekat, akan tampak kesenjangan yang menganga di antara warganya.

Selain itu, pembangunan Bandung yang masif membuat maraknya alih fungsi lahan-lahan konservasi alam Kawasan Bandung Utara. Perlu diketahui, KBU memiliki potensi ekologi yang besar bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya, termasuk masyarakat di Kota Bandung. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mengungkap, kawasan seluas 38.500 hektar ini menyuplai 60 persen air tanah yang mengaliri Cekungan Bandung.

Sudah lama Walhi Jawa Barat mendesak pihak pemerintah untuk memperketat pengelolaan KBU yang dirundung alih fungsi lahan, legalitas tanah, dan pendirian kawasan wisata tanpa sertifikasi Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong memprediksi akan lebih banyak bahaya bencana alam jika KBU tak diselamatkan.

“KBU ini punya kepentingan ekologi, pengendali iklim mikro. Kalau tidak segera diperketat, dampaknya akan terasa nanti. Seperti banjir yang sudah jadi langganan di Bandung,” ungkapnya ketika dijumpai di Kantor Walhi Jabar, Senin (22/11/2021).

Walhi Jawa Barat mencatat, fungsi konservasi KBU semakin berkurang seiring meningkatnya alih fungsi lahan demi kepentingan ekonomi, seperti kawasan pariwisata atau sarana komersil lainnya. Saat ini, tercatat sekitar lebih dari 4.000 titik pembangunan yang dikelola tanpa IMB sejak awal tahun 2000-an.

Pembangunan masif yang mendahulukan daya tarik dan citra wisata telah merampas vegetasi alam yang sebelumnya tumbuh subur di KBU. Tidak sedikit pula kebun dan ladang garapan warga yang terpaksa digusur. Daya serap air tanah kian menurun sehingga limpahan air berlebih memenuhi volume sungai, menyebabkan banjir dan memengaruhi perubahan iklim yang cukup signifikan.

Menurut Meiki, hal tersebut diakibatkan abainya pengawasan yang dilakukan pihak pemerintah. Sementara berbagai rekayasa sipil yang diupayakan masyarakat seperti penanaman pohon di lahan gundul tidak mampu bersaing dengan percepatan proyek properti di KBU.

“Keadaannya gak berbanding lurus. Pembangunan-pembangunan ini selalu direncanakan dari keuntungan ekonominya saja, untuk industri, untuk wisata. Rekayasa sipil kejar-kejaran dengan pembangunan,” turnya.

Fenomena terkini yang sedang menjadi sorotan Walhi Jabar terkait dampak ekploitasi lahan KBU yakni munculnya banjir di beberapa wilayah sekitar KBU. Hal ini dianggap sebagai ultimatum yang perlu segera mendapat tindakan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar).

Berdampak Banjir Kota Bandung  

Kerusakan alam di Kawasan Bandung Utara telah mendatangkan bencana banjir di Kota Bandung. Tercatat pada 20 Maret 2018, banjir bandang disertai lumpur melanda kawasan ini. Sekitar 17 mobil rusak parah, dan 8 sepeda motor rusak karena terendam lumpur.

Banjir lumpur Cicaheum melumpuhkan lalu lintas Jalan A Yani-AH Nasution di sekitar Terminal Cicaheum. Banjir ini terjadi karena luapan Sungai Cijambe yang tidak mampu mewadahi tingginya debit air dari utara atau daerah di atasnya.

Mundur lagi ke belakang, Kawasan Pagarsih, Kota Bandung, pernah dihantam banjir bandang pada 9 November 2016. Banjir ini bahkan menghanyutkan dua unit mobil. Banjir Pagarsih terjadi karena luapan Sungai Citepus yang tak mampu menahan debit air di kala hujan deras.

Di tahun yang sama, Pasteur pada 24 Oktober 2016, seorang warga, Ade Sudrajat (30), terbawa arus hingga tewas. Gerbang Tol Pasteur yang menjadi pintu utama masuk ke Kota Kembang sempat ditutup.

Untaian bencana banjir Kota Bandung itu memiliki kaitan erat dengan kerusakan alam akibat pembangunan di Kawasan Bandung Utara. Hal ini ditambah dengan tingginya laju penduduk Kota Bandung dan semakin menyempitnya sungai-sungai. Sementara drainase yang ada tidak sanggup menampung debit air.

Baca Juga: Bandung Kota Rawan Bencana (3): Kang Pisman vs Bom Waktu Sampah
Bencana di Mata 'Syekh Siti Jenar' Tony Broer
Bandung Kota Rawan Bencana (1): Kebakaran dan Sesar Lembang

Gedung pencakar langit The Maj di antara permukiman padat dan area terbuka hijau Kawasan Bandung Utara, Dago, Jawa Barat, Rabu (17/11/2021). Gedung ini mendadak viral setelah fotonya diunggah oleh seorang netizen. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Gedung pencakar langit The Maj di antara permukiman padat dan area terbuka hijau Kawasan Bandung Utara, Dago, Jawa Barat, Rabu (17/11/2021). Gedung ini mendadak viral setelah fotonya diunggah oleh seorang netizen. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Peraturan Pemanfaatan KBU Dilematis

Secara administratif, KBU menaungi 21 kecamatan yang tersebar di wilayah Bandung Raya. Terdiri dari 30 kelurahan di Kota Bandung, 20 kelurahan di Kabupaten Bandung, 49 desa di Kabupaten Bandung Barat, dan 8 kelurahan di Kota Cimahi.

Lahan di KBU telah menjadi sorotan Pemprov Jabar sejak lama dan melahirkan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengendalian Pemanfaatan Kawasan Lindung.

Pemprov Jabar kemudian menerbitkan aturan yang lebih spesifik terkait wilayah terebut, seperti yang tercatat dalam Perda No. 2 tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara Sebagai Kawasan Strategis. Kendati demikian, upaya-upaya ini dinilai belum menunjukkan dampak yang signifikan dalam mencegah kerusakan KBU.

“Kami sudah sering mengampanyekan isu-isu di KBU, sebenarnya pemerintah juga sudah pernah mengaturnya di Perda. Tapi, masih aja ada sampai sekarang pembangunan legalitasnya aja belum jelas,” ujar Meiki W Paendong.

Salah satu strategi yang diterapkan Pemprov Jabar untuk mendorong upaya perlindungan KBU yakni peraturan zonasi.  Pembagiannya ditetapkan berdasarkan tingkat risiko bencana, zona aman evakuasi dan jalur mitigasi bencana, serta pengayaan zona ruang terbuka hijau. Peraturan ini juga disusun sebagai sosialisasi penerapan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTRK) terkait pembangunan di wilayah tersebut.

Selain peratuan zonasi, bentuk lain pengendalian dan pemanfaatan ruang yang dimanatkan dalam Perda dan Peraturan Gubernur (Pergub) KBU yakni mliputi perizinan. Salah satu syarat dikeluarkannya izin oleh Wali Kota dan Bupati di KBU adalah dengan surat rekomendasi dari Gubernur. Rekomendasi yang dimaksud antara lain Izin Pemanfaatan/Penggunaan Tanah (IPPT), izin lokasi, izin perencanaan, dan IMB yang tidak melalui proses Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT).

Namun sejauh mana aturan tersebut di lapangan, faktanya menunjukkan pembangunan di KBU tak terbendung.

Bahaya Sesar Lembang

Selain banjir, KBU memiliki potensi bencana geologis berupa gempa bumi karena di sana terdapat sumber gempa bumi berupa sesar atau patahan Lembang. Menurut Agung Muljo dan Faisal Helmi dari jurusan Jurusan Geologi, FMIPA, Unpad, dalam Bulletin of Scientific Contribution, sesar Lembang membentang mulai dari selatan Tanggubanprahu-LembangMaribaya hingga ke lereng bagian barat Gunung Manglayang.

Sesar atau patahan merupakan daerah rawan gempa, hal ini disebabkan karena di dalam zona sesar sifat kekompakan batuannya berkurang, sehingga apabila terjadi gerakan pada kulit bumi sebagian besar rambatan gelombangnya disalurkan memalui jalur sersar.

Peneliti menyimpulkan, daerah-daerah rawan gempa di sepanjang jalur zona sesar Lembang adalah Lembang kota, Pasar Lembang, teropong bintang, lokasi wisata Maribaya, pemukiman di sekitar desa Cibodas dan beberapa lokasi peristirahatan di bagian barat Lembang.

“Adanya jalur sesar Lembang perlu mendapatkan perhatian dari Pemda setempat mengingat daerah ini labil terhadap peristiwa gempa,” kata peneliti.

Namun kewaspadaan terhadap potensi gerak sesar Lembang bukan hanya untuk warga Lembang saja. Warga Kota Bandung tidak bisa lepas dari ancaman gempa bumi patahan Lembang. Apalagi pusat Kota Bandung hanya berjarak 10 kilometer dari sumber gempa bumi yang membentang 29 kilometer dari kaki Gunung Manglayang (Kabupaten Bandung), melintasi Lembang, sampai Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.

Penelitian yang dilakukan Mudrik Daryono dan Danny Hilman Natawidjaya (2017) menyimpulkan bahwa aktivitas pergeseran sesar (sliprate) mencapai 3-6 milimeter per tahun. Badan Geologi juga mencatat sejumlah kejadian gempa bumi yang disebabkan sesar Lembang, salah satunya, gempa bumi pada 28 Agustus 2011 yang mengakibatkan kerusakan lebih dari 380 rumah di desa Muril Rahayu, Kabupaten Bandung Barat. Sesar ini juga pernah melepaskan energi berkekuatan di bawah 5 SR pada 1999.

Dengan panjang sesar Lembang 29 kilometer tersebut, potensi gempa buminya bisa menghasilkan kekuatan 6,5 sampai 7 magnitude. Pusat Penelitian Mitigasi Bencana (PPMB) Institut Teknologi Bandung (ITB) pernah menghitung potensi kerugian ekonomi akibat gempa bumi yang dipicu gerakan Sesar Lembang mencapai Rp 51 triliun. Hitung-hitungan ini didapat dari nilai kerusakan pada sekitar 2,5 juta rumah tinggal di Kota Bandung dengan 500 ribu rumah di antaranya diperkirakan rusak total. Jumlah kerugian ini belum termasuk sarana perkantoran, sekolah, pasar, dan fasilitas publik lainnya.

Kerusakan diperparah dengan kondisi tanah Bandung yang merupakan hasil endapan danau purba yang bersifat lunak. Kondisi tanah ini akan semakin meningkatkan amplifikasi energi gempa bumi.

Kekhawatiran aktivitas sesar Lembang juga disampaikan pegiat Perhimpunan Pecinta Alam Bandung, Rayhan Akbar. Terlebih, pembangunan di wilayah KBU sedang pesat-pesatnya.

“Sebenarnya paling bahaya itu pengalokasian daerah wisata di sana (KBU) yang secara gak langsung meningkatkan jumlah permukiman ke wilayah tinggi. Berarti semakin banyak juga kemungkinan korbannya. Harus jadi perhatian serius,” papar Rayhan Akbar, saat ditemui Bandungbergerak.id.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//