• Opini
  • Nilai Juang Kartini di Masa Kini, Kesetaraan Gender dan Menghapus Patriarkisme

Nilai Juang Kartini di Masa Kini, Kesetaraan Gender dan Menghapus Patriarkisme

Kesetaraan gender yang diperjuangkan Kartini adalah perjuangan bangsa Indonesia sepanjang masa, termasuk hari ini.

Adrian Aulia Rahman

Penulis merupakan mahasiswa Universitas Padjajaran (Unpad)

Kartini (kiri), Kardinah dan Roekmini. Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April 2021. (Sumber: KITLV 15467)

21 April 2022


BandungBergerak.idSejarah Indonesia tidak habis-habisnya menyimpan mata air jernih sebuah pelajaran dan motivasi untuk selalu progresif dan berorientasi pada kemajuan. Sejarah tidak pernah lepas dari tokoh atau pelaku sejarah itu sendiri yang tindakan atau pikirannya memiliki signifikansi pengaruh dan pelajaran bagi generasi di masa setelahnya.

Di antara sederet tokoh sejarah Indonesia, ada seorang perempuan yang pemikirannya amat progresif dan cemerlang dengan bingkaian idealisme yang luhur namun selalu diiringi ironi. Perempuan itu tiada lain adalah Kartini. Raden Ajeng Kartini adalah seorang keturunan priyayi Jawa, yang lahir pada 21 April 1879 di Mayong Jepara.

Kita sebagai orang Indonesia, sangat tidak asing dengan nama RA. Kartini dan ketokohannya juga peran besarnya dalam sejarah bangsa Indonesia. Kartini selalu diidentikkan dengan kerasnya perjuangan seorang wanita untuk mencapai kesetaraan posisi sosial dengan kaum pria. Pemikirannya amat cemerlang dan melampaui zamannya, tidak heran apabila ia dijuluki sebagai Ibu Indonesia atas segala pemikiran dan idealismenya.

Terlahir dari kasta sosial yang tinggi atau kita sebut kasta priyayi dengan konservatisme Jawa yang begitu melekat, Kartini dibesarkan tentu saja dalam ‘kerangkeng’ budaya Jawa yang konservatif dan menjunjung tinggi nilai leluhur, dan kental akan nilai feodal. Feodalisme yang masih melekat di masyarakat Jawa saat itu memang membuat aksesi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial yang progresif seakan sulit bahkan mustahil, terlebih bagi seorang perempuan.

Realita budaya feodal Jawa yang sulit sekali ditinggalkan ini, dengan berbagai implikasi negatif yang menyertainya, membuat Kartini tumbuh menjadi perempuan yang pemikirannya progresif melampaui perempuan sezjamannya. Pemikiran progresif Kartini ini tiada lain adalah idealisme atau cita-citanya untuk kebebasan dan kesetaraan perempuan dalam status sosial di masyarakat. Disparitas gender yang terjadi di lingkungan sekitarnya, di mana superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan begitu terpampang nyata.

Penentangan Kartini terhadap ketidaksetaraan gender, yang merupakan bentuk ketidakadilan sosial, bukanlah hal yang mudah dan mulus atau tanpa hambatan. Justru di situlah ironi tentang Kartini tersimpan. Yang perlu dipahami, Kartini bisa saja menikmati status sosialnya sebagai putri dari bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, dan hidup ‘normal’ sebagaimana perempuan sebayanya di masa itu. Namun Kartini tidak melakukan itu. Kartini justru muncul menjadi perempuan yang evolusioner dalam pemikiran dan tindakannya.

Baca Juga: Rencana Pembangunan Jalan Tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan Mengancam Cekungan Bandung
Mengenang Ali Sastroamidjojo sebagai Penggagas Konferensi Asia Afrika
Penyebab Bandung semakin Hareudang

Kesetaraan Gender

Pemikiran Kartini yang paling cemerlang adalah idealismenya tentang kesetaraan gender (gender equality). Kartini secara langsung menentang praktik-praktik yang syarat akan disparitas gender dan patriarkisme yang melekat pada kehidupan sosial Indonesia pada saat itu. Cita-cita dan semangatnya dalam memperjuangkan kesetaraan aksesi pendidikan antara laki-laki dan perempuan, adalah contoh perjuangan berharga Kartini yang tidak akan pernah pupus dari sejarah bangsa Indonesia.

Yang perlu direfleksikan dewasa kini, apakah benar kesetaraan gender yang dahulu diperjuangkan Kartini sudah tercapai di Indonesia? Apakah budaya patriarki sudah terhapus dalam kehidupan masyarakat Indonesia? Pernyataan itu dapat kita jawab dengan, on the way (sedang dalam perjalanan). Mengapa demikian? Karena perlu diakui bahwa kesetaraan gender belum sepenuhnya tercapai di Indonesia, tapi juga tidak berarti belum ada proses untuk mencapainya.

Cita-cita kesetaraan gender tentu relevan dengan penghapusan budaya patriarki yang mengekang dan konservatif. Mengacu pada definisi umum, patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Otoritas yang tersentralisasi di tangan laki-laki biasanya banyak dijumpai di keluarga. Laki-laki sebagai pemimpin sekaligus pengayom di dalam keluarga memang tidak ada masalah, namun yang menjadi masalah adalah apabila terjadi diskriminasi dan marginalisasi terhadap peran perempuan yang sering kali dianggap inferior. Apalagi jika budaya patriarki ini merambah dalam sistem sosial yang lebih luas lagi. Inilah yang perlu kita tentang dan lawan, sebagaimana semangat perjuangan RA Kartini satu abad silam.

Hari ini 21 April 2022, bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, haruslah menjadi momentum untuk semakin menumbuhkan semangat kesetaraan gender dan perjuangan untuk membunuh budaya patriarki di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Aksesi terhadap pendidikan, karier, IPTEK, dan berbagai aspek lainnya antara laki-laki dan perempuan haruslah setara tanpa memandang superioritas dan inferioritas gender. Perjuangan Kartini adalah perjuangan bangsa Indonesia sepanjang masa.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//