Peran Perempuan dalam Buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan
Lewat tulisan, tokoh-tokoh perempuan memberi sumbangan bagi pergerakan nasional di awal abad ke-20. Peran mereka perlu digali lebih jauh.
Penulis Iman Herdiana27 Maret 2021
BandungBergerak.id - Sejarah pergerakan nasional zaman kolonial Belanda, termasuk kerja kepenulisan, tidak dimungkiri didominasi kaum laki-laki. Namun bukan berarti masa itu sama sekali tidak ada penulis perempuan. Kesadaran kaum perempuan di bidang kepenulisan sudah tumbuh sejak awal abad ke-20.
Sartika Sari, dosen Fakultas Pendidikan Universitas Prima Indonesia (UPI) Medan, menyebut munculnya surat kabar Putri Hindia (mulai terbit 1909) yang terbit dua kali sebulan, sebagai jejak perempuan di dunia kepenulisan. Ada juga Sunting Melayu, Wanita Swara, dan Putri Mardika.
”Walaupun masa itu tentu saja dunia kepenulisan didominasi kaum laki,” kata Sartika Sari, dalam Sawala Maya 1: Bedah Buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan”, Sabtu (27/3/2021) siang.
Alumnus Magister Ilmu Sastra FIB Unpad tersebut menjelaskan, surat kabar-surat kabar tersebut khusus membahas tema-tema perempuan. Mereka berdiri sebagai surat kabar tersendiri dan bukan menjadi bagian dari koran umum yang dikelola laki-laki. Terbukti, sejak awal abad ke-20 sudah ada kaum perempuan yang melek literasi.
“Umumnya, surat kabar perempuan didorong perhimpunan (organisasi) perempuan. Ini luar biasa untuk sebuah pergerakan surat kabar masa itu. Tentu akan berbeda dengan potret media massa masa kini,” kata Sartika Sari yang pernah melakukan riset koran-koran yang berkaitan dengan perempuan pada masa 1920-an.
Hafidz Azhar dalam bukunya Bandung di Persimpangan Kiri Jalan juga mengulas peran perempuan. Terutama mereka yang aktif dalam pergerakan kaum kiri di Bandung. Beberapa kali Hafidz mengutip Putri Mardika, surat kabar perempuan yang didirikan Sarekat Islam (SI) Merah Bandung. Menurut Sartika, isu perempuan yang disajikan Hafidz tetap menarik meski fokus penulis bukan ke peran perempuannya, melainkan ke pergerakan kiri orang-orang Bandung pada era 1920-an.
Sartika berpendapat, isu perempuan yang ditampilkan Hafidz masih bersifat umum, padahal isu tersebut perlu pendalaman lebih lanjut agar tidak menimbulkan bias terhadap peran perempuan. Misalnya kutipan yang menyebutkan perempuan banyak mengulas masalah “remeh temeh" kehidupan. Soal “remeh temeh” ini menimbulkan bias.
"Pada 1912-1920 memang corak atau tema yang dibahas surat kabar perempuan banyak mengulas masalah domestik. Tetapi masalah domestik bukan hal yang remeh-temeh," katanya.
Dalam catatan Sartika, ada surat kabar yang menyebut perempuan mesti jadi guru di rumah, perempuan agar memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengurus rumah tangga, dan isu-isu lainnya yang terbilang maju di masa itu. Bahkan Putri Hindia pada 1910 menulis pentingnya pendidikan untuk kaum ibu sehingga Budi Utomo siap mendirikan sekolah khusus untuk anak perempuan. Putri Hindia sudah berpandangan bahwa seorang ibu memiliki tanggung jawab dan dan kewajiban yang besar, yaitu pekerjaan rumah tangga mengurusi suami dan anak.
“Menurut saya hal itu bukan hal yang remeh temeh. Ketika laki-laki mengangkat senjata di medan perang, perempuan punya medan perang lain,” ujarnya.
Tema lain tentang perempuan dalam buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan dibahas dalam sosok Siti Atikah Bassach. Namun Sartika Sari merasa tidak menemukan peran sentral dari Siti Atikah. Siti Atikah justru direcoki oleh sesama perempuan.
Sartika Sari kemudian menelisik sosok Syarifah Nawawi yang diceraikan Bupati Bandung Wiranatakusuma V. Masalah perceraian Syarifah Nawawi ini menjadi sorotan koran-koran kaum komunis di Bandung. Koran Matahari Indonesia yang terbit di Sumatera Utara juga membahas isu perceraian tersebut.
Syarifah Nawawi bukan perempuan biasa. Pada 1929 Syarifah memimpin kongres Sarikat Perempuan Sumatera. Tahun itu pula dia banyak menulis. Namun belum diketahui pergerakan yang dilakukan Syarifah terjadi sebelum atau setelah perceraiannya dengan sang bupati.
“Ada juga sumber yang menyebut Syarifah adalah jurnalis dan pembesar organisasi perempuan di Sumatera,” kata Sartika.
Bunga Rampai
Menjawab kritikan Sartika Sari, Hafidz Azhar mengatakan bukunya merupakan bunga rampai dan bukan sejarah utuh. Ia mengaku mengambil data dari tiap sumber dalam jumlah terbatas untuk melengkapi bukunya yang fokus pada gerakan SI Merah di Bandung yang memang didominasi laki-laki. Tidak banyak referensi tentang tokoh perempuan pada masa 1920-an, apalagi perempuan itu aktif di gerakan kiri maupun Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ia temukan.
“Saya juga sebenarnya ada ganjalan karena waktu itu kronik yang digerakkan SI Merah Bandung kebanyakan diurus laki-laki. Makanya saya menulis Atikah Bassach,” katanya.
Bedah buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan digelar oleh Program Magister Kajian Budaya dan Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Padjadjaran (Unpad). Selain Sartika Dewi, hadir dua pembahas lain, yakni Hazmirullah (redaktur halaman utama Pikiran Rakyat) dan Riki Nawawi (Guru Basa Sunda SMA Al Masoem dan alumni Magister Ilmu Sastra Konsentrasi Filologi FIB Unpad).
Juga hadir Kaprodi Magister Ilmu Sastra dan Kajian Budaya FIB Unpad Muhammad Adji, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unpad Aquarini Priyatna, serta dosen FIB USU dan Alumni Magister Kajian Budaya FIB Unpad, Rudiansyah, sebagai moderator.