Aktivis Aborigin Mengenalkan Budayanya di Bandung
David Williams dari suku Wakka Wakka, Aborigi, Australia, mengkampanyekan pentingnya pelestarian budaya nenek moyang di Bandung.
Penulis Reza Khoerul Iman7 Juli 2022
BandungBergerak.id – Suara khas keluar dari alat musik tradisional Aborigin, didgeridoo, yang dimainkan pria asal suku Wakka Wakka. Seketika 40 hadirin yang hadir di Padma Hotel Bandung, Rabu (6/7/2022), terkesima melihat penampilan bermusik asal suku asli Australia itu.
David Williams, pria asal suku Wakka Wakka yang hadir pada acara pekan National Aborigines and Islanders Day Observance Committee (NAIDOC) 2022, itu membawa visi dan misi untuk menumbuhkan dan menyampaikan budaya Aborigin kepada hadirin yang hadir di tiga kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, dan Bali.
David berharap kehadirannya yang pertama di Indonesia dapat menumbuhkan semangat pelestarian dan pengenelan budaya seperti yang telah ia lakukan, baik di bidang musik, desain, dan karya seni lainnya.
“Harapan saya dari apa yang dilakukan hari ini di Bandung, kemarin di Jakarta, dan besok di Bali, yaitu menumbuhkan semangat pelestarian dan pengenelan budaya seperti yang telah kami lakukan sebelumnya melalui desain atau karya seni lainnya. Seperti sebelumnya kami membuat logo untuk G20 pada 2014 yang pada logonya menyampaikan makna dan pesan dari budaya kami,” kata David, kepada BandungBergerak.id.
David Williams yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Gilimbaa mengatakan pengaruh teknologi atau modernisasi pada hari ini sudah masuk ke berbagai penjuru dunia dan ke seluruh elemen masyarakat. Dampak buruknya, kebudayaan asli di beberapa daerah secara perlahan tergerus sedikit demi sedikit oleh masuknya perkembangan dan kemajuan zaman.
Hal itu diakui memang tidak bisa dihindari dan bukan menjadi sesuatu yang mesti dihindarkan. Oleh karenanya, David telah berusaha untuk menggeliatkan pentingnya memahami akar budaya masing-masing agar tidak hilang di tengah era disrupsi. Ia mengaku telah melakukannya secara serius sejak 20 tahun lalu, yaitu ketika usianya menginjak 19 tahun.
“Berbicara budaya dan teknologi, menurut saya ada keindahan ketika kita menyandingkan antara keduanya. Anak muda sekarang memang terlahir dengan budaya yang kaya, jadi tidak bisa disamakan lagi dengan ribuan tahun yang lalu, di mana budayanya masih sangat kental dan masih sangat murni. Itu bukan kesalahan anak muda, bahkan sekarang di budaya kami sudah ada yang digabungkan dengan unsur pop,” tutur David.
Menurutnya, kesempatan untuk mengenalkan budaya nenek moyang kepada kawula muda tidak bisa dipaksakan. Maka pengaruh teknologi mesti menjadi pendekatan.
Namun yang perlu menjadi catatan, bukan sesuatu yang mudah menyampaikan pesan, makna, dan ajakan untuk melestarikan bu
daya kepada seluruh elemen masyarakat, khususnya anak muda. Terutama bagi David, dalam menyampaikan pesan dan makna dalam budayanya ia mesti melakukannya tanpa merubah makna aslinya, sehingga tidak ada yang lebih mengetahuinya selain penduduk asli.
Kemudian untuk menghindari tergesernya budaya asli oleh budaya pop, David menilai perlu adanya keterlibatan semua unsur untuk menurunkan nilai-nilai budaya kepada para generasi muda. Tentu cara yang dilakukannya pun berbeda dengan ribuan tahun lalu. Oleh karenanya apa yang dilakukan David dengan menyandingkan budaya asli dan modernisasi tanpa merubah makna aslinya telah membuka perspektif anak muda sekarang.
“Semua unsur harus memegang peran, karena budaya itu bukan hanya diturunkan di saat kita sudah besar, justru itu sudah harus ditanamkan sejak kanak-kanak. Dan khususnya ketua adat atau orang-orang yang sudah memiliki pengakuan lebih kuat itu menyampaikan dan menurunkannya kepada keluarga mereka yang masih muda. Apabila dikenalkan sejak dini, nilai-nilai itu akan melekat di hati mereka hingga pada dewasa nanti mereka sudah memiliki kesadaran untuk melestarikan budayanya,” tegasnya.
Baca Juga: Janji dan Pengkhianatan dalam Lakon Sokasrana
Jabang Tutuka dalam Balutan Wayang Wong di ISBI Bandung
Film Horor Indonesia Dilihat dari Budaya dan Ekonomi Kreatif
Peran Moderniasi untuk Revitalisasi Budaya
Bandung dengan segudang budaya, seni, warisan benda, dan tak bendanya membuat kota ini menjadi satu wilayah yang memiliki kekayaan budaya. Masuknya arus modernisasi di setiap penjuru daerah membuat sejumlah orang memiliki kekhawatiran akan tergesernya budaya lokal mereka dengan budaya baru yang masuk akibat arus modernisasi.
Sekali lagi, hal itu mau tidak mau tidak bisa dihindari dan bukan sesuatu yang mesti dihindarkan. Oleh karenanya menurut Maharani, salah seorang peserta yang hadir dalam gelaran perayaan pekan NAIDOC 2022, acara tersebut mendapatkan referensi baru dan membuka perspektif baru.
“Acara seperti ini membantu kita untuk membuka perspektif kita menjadi lebih luas dan baru. Sehingga penjabaran David soal proses kreatif dia di Australia untuk melestarikan budayanya dapat menjadi referensi baru buat kita. Walaupun hal itu sebenarnya berbeda konteks, tapi setidaknya itu bisa kita bawa buat referensi dan opini kita untuk mengerjakan projek pelestarian dan pengenalan budaya yang Bandung banget,” tutur Maharani, kepada BandungBergerak.id.
Pengajar dari Telkom University tersebut menilai peran modernisasi seharusnya sangat bisa membantu mengenalkan, merevitalisasi, atau melestarikan budaya di daerah. Serendah-rendahnya kesadaran orang Bandung tentang budayanya, Maharani menyebutkan bahwa industri kreatif budaya di Indonesia lahirnya di Bandung.
Bahkan, lanjut Maharani, kampung halamannya sendiri, yaitu Makassar, banyak terinspirasi industri-industri kreatif di Bandung. Namun ia juga menyebut bahwa tanggung jawab melestarikan budaya bukan tanggung jawab perseorangan. Mesti ada keterlibatan dari berbagai pihak dan ahli untuk melakukan proses ini. Ia menyayangkan bahwa fakta di lapangan banyak sekali proses yang dilewati dan malah langsung loncat ke proses eksekusi.
Ia berharap banyak diskusi dan kegiatan yang serupa diselenggarakan di berbagai daerah untuk membuka perspektif dan referensi baru, khususnya anak muda. Jangan sampai budaya setiap daerah malah tergerus dan akhirnya hilang, atau muncul gerakan-gerakan yang judulnya merevitalisasi budaya tapi ujung-ujungnya mengeksploitasi yang dapat merusak budaya, berakibat pada flora atau faunanya, dan dampak buruk lainnya.
“Indonesia itu negeri yang kaya. Saking kayanya, hal itu buat kita santai juga menyikapi kekayaan negeri kita ini. Banyak sesuatu yang biasa kita lakukan, kita dengerin, kita konsumsi, kita temui dalam keseharian, padahal menurut orang di luaran sana itu antik. Ya harapannya, jangan sampai kita baru sadar ketika kekayaan yang kita miliki itu sudah sulit ditemui atau diklaim orang lain,” pungkasnya.