Film Horor Indonesia Dilihat dari Budaya dan Ekonomi Kreatif
Film horor KKN di Desa Penari berhasil meledak dengan jumlah penonton 4,5 juta orang dalam waktu 12 hari. Ada dua pandangan berbeda terhadap film horor Indonesia.
Penulis Iman Herdiana29 Mei 2022
BandungBergerak.id - Film horor KKN di Desa Penari berhasil mencuri hati penonton Indonesia. Menurut data yang diunggah Instagram bem.unpad, film ini ditonton 4,5 juta orang dalam waktu 12 hari saja. Ini menjadi kabar positif khususnya bagi bisnis bioskop yang lama padam karena dua tahun pagebluk.
BEM Unpad memotret viralnya film horor “KKN di Desa Penari” dari sudut pandang ekonomi kreatif. Disebutkan bahwa film merupakan subsektor ekonomi kreatif yang memiliki multi efek terhadap pemulihan ekonomi.
“Tingginya euforia film KKN di Desa Penari belakangan ini menjadi angin segar bagi bidang film yang mana beberapa tahun terakhir sempat lenyap ditelan pandemi,” demikian menurut BEM Unpad, dikutip Minggu (28/5/2022).
Penonton film KKN di Desa Penari turut menggerakkan ekonomi di wilayah mereka menonton. Misalnya, di Plaza Pragoia, Pati, sambil menunggu jam tayang, penonton menghabiskan waktunya dengan membeli jajanan di sekitar plaza.
Di samping itu, BEM Unpad mencatat, lokasi syuting film KKN di Desa Penari yang berada di tempat pariwisata Plunyon Kalikuning di Sleman jadi ramai dikunjungi. Film membuka peluang usaha bagi masyarakat untuk membuka peluang usaha, seperti membuat wahana sesuai latar film, seperti Wahana Misteri Perjalanan.
Secara umum, menurut BEM Unpad, industri film di Indonesia memberikan kontribusi ekonomi (PDB) nasional sebesar 2,98 juta dolar AS dan menciptakan lapangan kerja nasional sebanyak 491.800 tenaga kerja.
View this post on Instagram
Film Horor Perspektif Budaya
Film horor Indonesia juga bisa dilihat dari perspektif budaya. Film horor menjadi salah satu genre film yang banyak ditonton masyarakat. Namun di balik pamornya yang mampu meraup banyak penonton, dosen Budaya Populer Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Justito Adiprasetio, melihat ada hal yang berkelindan dari film horor, yaitu objektifikasi terhadap perempuan.
Justito mengatakan, hantu perempuan secara dominan muncul dalam film Indonesia selama periode 1970 hingga 2019. Perempuan hampir selalu menjadi tokoh sentral dalam film horor yang direpresentasikan sebagai hantu (paranormal) atau monster/makhluk menyeramkan.
Dosen yang akrab disapa Tito itu membeberkan pemetaan yang ia lakukan bersama pengajar Luar Biasa pada Program Studi Televisi dan Film Fikom Unpad Annissa Winda Larasati, bahwa ada 559 film horor Indonesia yang diproduksi antara 1970-2019.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 60,47 persen atau 338 film menghadirkan sosok perempuan sebagai hantu utama. Sementara 24,15 persen atau 135 film menghadirkan sosok laki-laki sebagai hantu utama. Sisanya, 15,38 persen atau 86 film horor menghadirkan sosok laki-laki dan perempuan sebagai hantu utama.
“Makin ke sini, persentase hantu perempuan sebagai tokoh utama makin banyak,” ungkap Tito, dikutip dari laman Unpad.
Ia berhipotesis, jika film merepresentasikan apa yang ada di masyarakat, jika dalam konteks hantu, maka arketip hantu perempuan akan terepresentasikan dalam film-film horor.
Selain itu, dominasi laki-laki pada industri perfilman sangat kentara. Sutradara film horor banyak didominasi laki-laki sehingga cara pandang dalam film cenderung sangat laki-laki. Kendati ada sejumlah sutradara perempuan yang menyutradarai film horor, tatapan misoginistik tetap tidak bisa dihindarkan. Corak misoginisme ini menganggap perempuan sebagai obyek ketakutan.
“Data besar menunjukkan bahwa perempuan sangat dimanfaatkan untuk menakut-nakuti. Ini yang menjadi problematik, bahwa film horor menyimpan ketimpangan gender,” ucapnya.
Corak yang Sama Tito menemukan bahwa sebagian besar cerita hantu perempuan dalam film horor memiliki pola yang sama, yaitu motif balas dendam. Banyak film menceritakan bagaimana hantu perempuan muncul dan menghantui korban setelah meninggal karena diperkosa atau mengalami tindak kekerasan lainnya.
Hantu tersebut muncul untuk membalaskan dendam dengan cara menakut-nakuti hingga membunuh korbannya.
“Tidak hanya di Indonesia, beberapa film di negara lain juga motif seperti ini ada,” imbuh Tito.
Motif tersebut merepresentasikan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk membalas kejahatan yang menimpanya meskipun bukan dalam keadaan hidup. Ini menggambarkan bahwa perempuan tidak bisa melawan dominasi laki-laki, sehingga ia baru bisa melawan ketika dalam keadaan mati.
“Memang hal ini ada kesan semacam empowerment terhadap perempuan. Akan tetapi ketika direproduksi terus-menerus, kita akan mengerdilkan posisi perempuan ketika dia hidup,” tegasnya.
Baca Juga: WTP BPK Bukan Berarti Seluruh Pengelolaan Keuangan Pemkot Bandung Baik
Jadwal dan Tahapan PPDB Kota Bandung
Laga Para Penghayat Muda
Stereotipe Kebaikan Mengalahkan Kejahatan
Kendati hantu perempuan muncul untuk membalaskan dendam, film horor tetap menekankan pesan bahwa kebaikan akan selalu bisa mengalahkan kejahatan. Salah satu adegan yang kerap terjadi dalam film adalah ketika hantu perempuan takluk oleh paranormal, kiai, ustaz, hingga pastor.
Tito menemukan bahwa sosok alim yang mampu mengalahkan kesumat hantu perempuan selalu berjenis kelamin laki-laki.
“Kita bisa lihat wacana bahwa perempuan itu adalah penggoda dan sebagai lawan agama. Dan ini malah disiarkan dengan sangat kencang oleh film-film horor itu. Ini yang jadi salah satu wujud dari tatapan misoginisme,” papar Tito.
Adegan seperti itu banyak ditemukan pada film-film horor yang diproduksi pada masa Orde Baru. Selepas Orde Baru (2000 ke atas), cerita menjadi lebih banyak variasi meskipun adegan tersebut masih kerap ditemukan. Variasi adegan yang dilakukan adalah mulai munculnya adegan yang lebih gore dan mengganggu (disturbing).
Tito mengatakan, nuansa ketakutan yang diciptakan tidak hanya menampilkan sosok perempuan sebagai hantu. Akan tetapi sosok perempuan normal yang melakukan aksi sadistis.
“Ini berbeda dengan film-film Orde Baru yang cenderung mendikte bahwa kebaikan akan selalu menang terhadap kejahatan. Film selepas Orba lebih banyak variasi, akhir yang menggantung, sehingga penonton bisa memiliki imajinasi lebih luas,” papar penyuka film-film horor setelah Orde Baru tersebut.
Perbanyak Wawasan Lewat
Tito mencatat bahwa sutradara seharusnya memiliki wawasan lebih luas lagi dalam menempatkan film horor sebagai sesuatu yang memberikan pengalaman menakutkan kepada penontonnya.
“Jangan terjebak pada arketip bahwa perempuan itu hanya menakut-nakuti. Ini bisa dilakukan kalau sutradara memiliki wawasan yang luas,” tuturnya.
Saat ini, banyak film-film horor Indonesia yang mengadaptasi cerita film horor barat. Banyak film yang memunculkan tidak hanya sosok hantu, tetapi menghadirkan nuansa ketakutan yang lebih luas.
Namun, Tito mengharapkan bahwa adaptasi ini jangan sampai membuat film yang benar-benar meniru, tetapi mampu menghadirkan cerita yang lebih otentik.
“ini jadi tantangan bagaimana biar tidak terlalu menyontek, tetapi menjadi inspirasi untuk meningkatkan khazanah horison film horor kita,” kata Tito.