Janji dan Pengkhianatan dalam Lakon Sokasrana
Taman 1.000 Bulan jadi saksi ingkar janji Somantri kepada Sokasrana di Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI Bandung.
Penulis Iman Herdiana5 Juni 2022
BandungBergerak.id - Satu darah bukan berarti satu hati dan pikiran. Sokasrana dan Somantri lahir dari rahim yang sama, memiliki watak dan nasib yang berlawanan. Rupa fisik jelas bukan ukuran bagi kemuliaan seseorang. Namun karena fisik itulah Sokasrana menerima pengkhianatan dari saudara kandungnya sendiri.
Lakon klasik Sokasrana ini dikemas dalam tarian wayang wong bertajuk Dramatari Pemetik 1000 Bulan di Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI Bandung, Selasa (28/12/2021). Semua adegan yang terinspirasi lakon wayang Somantri Gugur dan Sokasrana Lena itu disajikan dalam bentuk tarian.
Dua lakon tersebut menjadi dua perlambangan sifat manusia yang fisik dan rupa bagus, belum tentu batinnya bagus pula, sebaliknya yang fisik dan rupa buruk, batinnya bisa bagus. Konsep halus dan kasar selalu berdampingan, berpasangan, atau berlawanan yang sering dicerminkan melalui kisah-kisah teladan wayang.
Somantri yang berjuang dengan ambisinya menemukan kehampaan karena sombong dan angkuh. Ia yang mengabdi ke Kerajaan Maespati justru menantang Raja Arjuna Sasrabahu yang ternyata sakti mandraguna dan mampu mengubah dirinya menjadi raksasa Triwikrama (menggenggam dunia).
Somantri dihukum harus memindahkan Taman 1000 Bulan (dalam lakon tradisi Taman Sriwedari). Somantri yang sedang kebingunan ditemukan oleh Sokasrana, adiknya. Sokasrana bersedia membantu kakaknya memindahkan taman tersebut dengan syarat Somantri tidak lagi meninggalkan Sokasrana. Somantri pun menyanggupinya.
Sokasrana dengan kesaktiannya dapat memindahkan taman dengan mudah. Kerajaan Maespati menjadi terang benderang. Maka Sokasrana pun menagih janji kakaknya, dia mencari Somantri di Kerajaan Maespati.
Di istana, putri Citrawati yang tengah bercengkerama dengan para dayangnya kaget melihat Sokasrana si raksasa buruk rupa mencari-cari Somantri. Somantri yang malu karena buruk rupa adiknya, meminta Sokasrana untuk pergi.
Somantri menakut-nakuti Sokasrana dengan gondewa dan anak panah. Tiba-tiba anak panah melesat menembus dadanya. Sokasrana pun mati dijemput para bidadari dan berjanji akan menjemput Somantri ketika gugur oleh Raja Sakti Rahwana, kelak.
Dari Lakon Wayang Kulit
Penelitian yang dilakukan Anang Suwondo menyebutkan bahwa lakon Sokrasana ada dasarnya diadaptasi dari tiga lakon wayang kulit purwa yaitu Wisnu Ratu, Arjunasasra Lahir dan Sumantri Ngenger.
Pengadaptasian tiga lakon menjadi satu lakon dengan struktur yang utuh memerlukan kecermatan dan ketelitian tersendiri dalam proses penggubahannya. Hal ini dikarenakan, satu lakon wayang merupakan satu dari ratusan cerita yang saling berkaitan, dan membentuk satu alur cerita yang panjang. Sehingga dalam penggubahan tiga lakon menjadi satu lakon yang berstruktur utuh, perlu memperhatikan dan mempertimbangkan penentuan peristiwa, maupun rangkaian dan jalinan peristiwa yang dibuat, beserta penentuan tokoh dalam kapasitasnya.
“Jalinan antarperistiwa dan persoalan yang dibuat dalam adegan maupun antaradegan harus terjalin secara logis sesuai dengan judul lakon dengan tokoh-tokoh yang dipilih dalam lakon ini,” kata Anang Suwondo, dikutip dari Jurnal Lakon Sokasrana.
Anang menuturkan, Sokasrana adalah putra Wiku Suwandagni di pertapaan Jatisarana dengan istrinya yang bernama Dewi Darini. Sokasrana memiliki saudara bernama Somantri. Walaupun satu ayah dan ibu, keduanya mempunyai wujud yang berbeda.
Somantri dikaruniai rupa yang tampan, sedangkan Sokasrana berwujud raksasa kerdil yang berwajah menakutkan.
Sokasrana bekerja sebagai juru taman di Taman Sri Wedari milik Bathara Wisnu. Sokasrana memiliki perwatakan baik, sabar, jujur, bertanggung jawab, tidak meremehkan orang lain, dan suka menolong.
Baca Juga: Tarian Satwa Liar di Kota yang Kian Ingar
Tim Advokasi: Mahkamah Konstitusi Seharusnya Mengabulkan Uji Materi UU Minerba
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #13: Adik-Kakak De Wilde dalam Catatan Harian Payen, 1818-1819
Hasil Kolaborasi
Dramatari Taman 1.000 Bulan berlansung selama kurang lebih 45 menit yang dipadupadankan dengan berbagai unsur dan komponen tarian. Semua unsur pertunjukan, seperti koreografi, pilihan musik yang dimainkan, intonasi narator, kostum, artistik pentas, bahu-membahu menghidupkan lakon ini.
Dramatari yang diselenggarakan secara hybrid ini disutradarai oleh Arthur Supardan Nalan yang juga sebagai penulis naskah. Dramatari ini hasil kolaborasi tiga fakultas ISBI Bandung yakni Fakultas Seni Pertunjukan; Fakultas Seni Rupa dan Desain dan Fakultas Budaya dan Media.
Arthur menyebutkan bahwa menyatukan seluruh komponen yang ada dalam waktu singkat seperti penari, koreografer, pemusik, artistik, kostum, dan narasi menjadi tantangan besar. Apalagi produk seni ini dipentaskan dengan jumlah penonton terbatas yang dapat menyaksikan secara langsung dikarenakan masa pandemi yang masih berlangsung.
Tafsir di dalam garapan dramatari tentu saja memiliki perbedaan dengan pertunjukan yang ada di dalam wayang kulit atau wayang golek. ISBI Bandung melalui beberapa elemen yang ada di dalamnya terus melakukan pembaruan baik dari segi cerita maupun dari segi bagaimana tafsir garapan karya seni tersebut muncul yang akan menjadi salah satu kekuatan.
“Kita sebagai manusia, mempelajari nilai-nilai dari kearifan lokal untuk bisa menghadirkan sebuah pesan tapi dalam kemasan dramatari kontemporer,” tutur Arthur Supardan Nalan.
Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Karawitan Rio Gelar Widiharsono mengutarakan kekagumannya pada para pemain dramatari yang sangat menjiwai karakter wayang yang mereka mainkan. Ia merasakan para karakter wayang tersebut lebih hidup dan nyata. Menurutnya dramatari ini menyadarkan para penonton bahwa yang buruk rupa tidak tentu hatinya juga buruk.