Tim Advokasi: Mahkamah Konstitusi Seharusnya Mengabulkan Uji Materi UU Minerba
Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap sidang uji materi UU Minerba ini akan berpengaruh pada kelestarian lingkungan di Indonesia.
Penulis Iman Herdiana3 Juni 2022
BandungBergerak.id - Uji materi (Judicial Review/JR) terhadap Undang-undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) di Mahkamah Konstitusi memasuki bab baru setelah melewati 11 kali sidang sejak 2021 lalu. Persidangan ini akan memasuki tahap putusan, di tengah kampanye Presiden Joko Widodo atas komitmen iklim Indonesia menjelang pertemuan G20.
Tim Advokasi UU Minerba menegaskan, keterangan ahli, saksi-saksi, serta bukti tertulis dalam persidangan sangat kuat sehingga sudah seharusnya hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Tim menyatakan, selama persidangan telah terungkap sejumlah fakta kuat dan tak terbantahkan tentang dampak kerusakan dari regulasi predatoris ini bagi warga. Proses persidangan mengungkapkan hak konstitusi warga dalam mempertahankan lingkungan sehat dengan sengaja dihilangkan, dan semakin mudahnya pengusaha bersama aparat hukum melakukan kriminalisasi terhadap warga yang menolak.
“Dalam sidang juga terungkap bahwa jika regulasi ini tidak dicabut, maka perampasan lahan untuk tambang akan semakin mudah,” kata Lasma Natalia, Ketua Tim Advokasi UU Minerba yang juga Direktur LBH Bandung, dikutip dari siaran pers LBH Bandung, Jumat (3/6/2022).
Pada hari ini, tim Advokasi UU Minerba telah memasukkan dokumen kesimpulan dari fakta-fakta persidangan JR UU Minerba. Penyerahan dokumen diiringi dengan pembentangan spanduk dan banner bertuliskan tentang belasan warga yang telah dikriminalisasi meski UU yang disahkan pada medio 2020 masih seumur jagung.
Perkara bernomor 37/PUU-XIX/2021 tersebut diajukan di hari Presiden Joko Widodo berulang tahun ke-60 pada 21 Juni 2021 lalu dengan pemohon Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Jatam Kaltim), Nurul Aini, dan Yaman.
“Dari keterangan ahli serta saksi-saksi fakta dan alat bukti tertulis yang dihadirkan dalam persidangan sangatlah jelas bahwa UU Minerba ini bermasalah bahkan telah berdampak besar di tengah masyarakat. Tren kriminalisasi warga dengan jeratan UU Minerba ini terus meningkat dan telah menjadi tameng bagi pengusaha tambang untuk mengamankan bisnis,” kata Lasma Natalia.
Muhammad M Jamil, Tim Advokasi UU Minerba dari Jaringan Advokasi Tambang menyebut bahwa regulasi yang disahkan tanpa partisipasi publik ini telah memperluas ancaman penguasaan lahan dan perampasan sumber ekonomi produktif warga. Partisipasi publik telah dipangkas dengan diserahkannya kuasa pertambangan kepada pemerintah pusat sebagaimana telah diungkapkan oleh saksi Ali Fahmi, pensiunan PNS di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
“Kami sangat yakin dan percaya dengan melihat fakta persidangan, para hakim Mahkamah Konstitusi akan meletakkan kepentingan warga di atas kepentingan kelompok pebisnis tambang. Ini adalah momentum bagi para hakim untuk mengembalikan kepercayaan rakyat bahwa konstitusi atau undang-undang dibuat untuk melindungi hak-hak konstitusi dan keselamatan rakyat,” kata Jamil.
Baca Juga: Melepas Eril di Sungai Aare
Kedokteran Gigi Indonesia Menghadapi Isu Lingkungan dan Pemerataan
Museum Berperan Memulihkan Ekonomi Masyarakat
View this post on Instagram
Fakta Persidangan
Berikut adalah kesimpulan yang disampaikan pemohon berdasarkan fakta-fakta selama 1 tahun proses persidangan uji materi UU Minerba di Mahkamah Konstitusi:
- Bukti kedudukan hukum pemohon yang kuat;
- Pemohon telah menyampaikan bukti dengan mengajukan 3 ahli yakni I Gusti Agung Made Wardana, Anugerah Rizki Akbari, dan Franky Butar-Butar, serta 5 saksi Taufik Iskandar, Herdiansyah Hamzah, Ali Fahmi, Anggi Maisya, Abdullah Ibrahim Ritonga;
- Pemohon memberikan tanggapan terhadap ahli yang dihadirkan pemerintah, yaitu Abdul Kamarzuki yang merupakan Plt. Dirjen Tata Ruang Kementerian ATR/BPN RI dimana ahli tidak disumpah dan keterangan saksi tidak punya kekuatan pembuktian;
- Pemohon juga memberikan tanggapan terhadap saksi yang dihadirkan pemerintah yakni Alwi Akbar (Direktur Operasi dan Produksi PT Timah) dan Dolok Robert Silaban (Direktur Pengembangan Usaha PT ANTAM), di mana keduanya BUMN, yang berarti saksi-saksi ini adalah bagian dari pemerintah sehingga keterangannya dapat menimbulkan conflict of interest;
- Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU Minerba a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), pasal 28C ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 bukti yang diberikan antara lain: Sesuai keterangan ahli I Gusti Agung Made Wardana dan Franky Butar-Butar serta didukung keterangan Saksi
Herdiansyah Hamzah dan Saksi Ali Fahmi, frasa dan/atau pemerintah yang dihilangkan dalam penguasaan pertambangan mineral dan batubara berdampak pada hilangnya peran masyarakat;
- Ketentuan Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Pertambangan Mineral dan Batubara tentang Jaminan Tidak Adanya Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Kawasan Pada WIUP, WIUPK, dan WPR Bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dalam persidangan ahli I Gusti Agung Made Wardana mengatakan adanya frasa “jaminan” dalam ketentuan terkait tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang yang diberikan bagi WIUP, WIUPK, dan WPR adalah bentuk pembekuan atas pola ruang kawasan budidaya yang bersifat permanen dan mutlak. Pembekuan tidak dibenarkan karena kemungkinan perubahan lingkungan hidup strategis yang berdampak pada penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan;
- Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana terakhir diubah oleh Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Ahli Anugerah Rizki Akbari menerangkan dalam
persidangan tanggal 19 Maret 2022 bahwa keberadaan normal pasal a quo terdapat kesalahan dan kekeliruan. Pendapat Anugerah Rizki Akbari dalam persidangan 19 Maret 2022 menyampaikan ada dua kekeliruan mendasar dalam proses kriminalisasi yang dilakukan terhadap perbuatan “merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan” dan tidak terpenuhinya syarat lex certa dan lex stricta;
- Hal ini diperkuat dengan keterangan saksi fakta. Saksi Anggi Maisa menerangkan ketika Ia bersama nelayan pergi ke kapal pertambangan bijih timah untuk menyampaikan RDP dengan Gubernur Kep Babel. Hasil RDP sepakat menghentikan dulu operasi pertambangan. Namun kemudian saksi dan 14 orang nelayan lainnya dipanggil polisi dengan tuduhan menghalangi pertambangan. Saksi Abdullah Ibrahim Ritonga menerangkan Aktivis WALHI Bengkulu dan warga Desa Pasar Seluma mengalami kriminalisasi karena melakukan aksi di lokasi tambang PT Flaming Levto;
- Pasal 169 A ayat (1), Pasal 169B ayat (3) bertentangan dengan Pasal 28 (D) ayat (1) UUD 1945, Prinsip Partisipasi Warga Negara dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Pasal ini sudah diputus oleh MK melalui putusan no 64/PUU-XVIII/2020 namun masih relevan dipertimbangkan.