Pemerintah Mengabaikan Masyarakat Terdampak Pertambangan

Perwakilan warga terdampak pertambangan melakukan permohonan Judicial Review (JR) UU Minerba. Presiden Joko Widodo memberikan keterangan melalui Dirjen Minerba.

Anak-anak bermain air di Sungai Citarum saat cuaca panas di Kampung Balekambang, Majalaya, Kabupaten Bandung, Rabu (22/9/2021). Sungai Citarum memiliki wilayah hutan yang kritis. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana5 Januari 2022


BandungBergerak - Pemerintah dinilai mengabaikan dampak kerusakan dari aktivitas pertambangan yang dialami oleh masyarakat. Penilaian ini muncul dari Tim Advokasi Undang-undang (UU) Mineral dan Batu Bara, terkait persidangan Judicial Review (JR) UU Minerba yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (5/1/2022), dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden Joko Widodo.

Dalam persidangan ini, Presiden membacakan keterangan dengan diwakili oleh Dirjen Minerba, Ridwan Djamaluddin. Namun tim advokasi menyatakan, pemerintah tidak merespons dan tidak menyampaikan lebih jelas terkait jaminan tata ruang. Hal ini semakin menguatkan bukti bahwa pengaturan terkait jaminan tata ruang tersebut bertentangan dengan pengelolaan lingkungan hidup.

Tim menyatakan, mestinya perlindungan hukum dan perlindungan hak-hak warga negara diwujudkan melalui kebijakan pemerintah dan UU. Namun dari UU Minerba dapat dilihat bahwa pemerintah mengenyampingkan perlindungan hak warga negara khususnya dalam hak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup.

“Pemerintah juga tidak serius dalam merespon permohonan pengujian UU di mana dalam keterangan pemerintah yang disampaikan dalam sidang JR minerba hari ini yang tidak menguraikan dengan jelas problem pemberian jaminan tata ruang yang bertentangan dengan prinsip pengelolaan lingkungan hidup,” ujar Lasma Natalia, tim advokasi UU Minerba, dalam siaran pers yang diterima BandungBergerak.id, Rabu (5/1/2022).

Keterangan pemerintah yang menyebut bahwa para pemohon tidak memiliki legal standing dan bukan merupakan pihak yang terkena dampak dari UU Minerba menunjukkan bahwa pemerintah mengabaikan partisipasi masyarakat yang selama ini terkena dampak negatif dari kerusakan akibat pertambangan. Walhi dan Jatam Kaltim sebagai pemohon JR merupakan organisasi yang sudah berperkara puluhan kali dan diakui oleh pengadilan, sedangkan Nur Aini dan Yaman merupakan warga yang terdampak langsung oleh kehadiran industri tambang di wilayahnya.

“Keterangan pemerintah di atas menunjukkan pada kita semua betapa pengabaian mereka kepada warga saat merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan sumber daya pertambangan yang terkait dengan cerita energi, dalam hal ini pertambangan mineral dan batubara,” kata Muhammad Jamil, juga bagian dari tim advokasi UU Minerba.

Keterangan pemerintah seolah-olah menunjukkan bahwa pihak yang berhak bicara dan punya legitimasi hanyalah otoritas pengurus negara bersama dengan pengusaha. Sementara derita, kesakitan, penderitaan hingga kematian rakyat di garis depan akibat bisnis pertambangan, diabaikan.

“Saya kira tidak berlebihan jika kita menyebut cerita ini sebagai kejahatan negara-korporasi terhadap rakyat. Semoga saja Majelis Hakim MK yang menangani JR ini memaknai legal standing dengan perspektif hak asasi manusia yang berkeadilan sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945,” ujar Muhammad Jamil.

Keterangan yang disampaikan oleh Dirjen Minerba, Ridwan Djamaluddin menunjukkan bahwa pemerintah selama ini mengabaikan kasus kriminalisasi terhadap masyarakat terdampak. Sejak UU Minerba berlaku pada Juni 2020, upaya kriminalisasi terhadap masyarakat dan pembela HAM yang sedang melindungi lingkungan hidup terus dilakukan dengan menggunakan Pasal 162.

Bahkan belakangan ini, upaya kriminalisasi itu kian masif. Awal tahun 2020 lalu, dua orang warga Padukuhan Jomboran Sleman, DI Yogyakarta menjadi korban kriminalisasi karena menolak penambangan pasir di desanya. Mereka dilaporkan menggunakan pasal 162 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba.

Dan yang terbaru, upaya kriminalisasi terhadap warga terjadi di Kabupaten Seluma, Bengkulu. Sepuluh orang warga dan pendamping yang menolak tambang pasir ilegal ditangkap dan ditahan selama 24 jam oleh aparat dengan menggunakan pasal 162.

Keterangan Ridwan Jamaluddin tentang adanya pemohon JR yang disebut tidak relevan, menurut Muhammad Jamil, tidak dapat dibenarkan. Pasal tersebut justru memberikan kepastian hukum untuk mempidanakan masyarakat yang melawan aktivitas pertambangan. Rumusan pasal sangat karet pada frasa, ‘setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan’.

“Hal ini terbukti dari jumlah kasus kriminalisasi yang terus meningkat,” pungkas Jamil.

Baca Juga: Sampah Mikroplastik tak Kasat Mata Banyak Ditemukan di Pantai Pangandaran
Menyelamatkan Hutan Indonesia dengan Teknologi dan Moratorium

Kerusakan Hutan

Di saat JR UU Minerba dilakukan, kerusakan lingkungan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada 2018 Walhi mencatat, dari 545 juta hektar wilayah Indonesia, diketahui bahwa 159.178.237 hektar di antaranya sudah terkapling dalam izin investasi industri. Dari luasan izin tersebut, sebagian besar berada di wilayah darat Indonesia. Apabila dibandingkan dengan luas wilayah darat, maka luas penggunaan wilayah yang secara legal dialokasi untuk korporasi adalah 82,91 persn.

Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan wilayah laut, maka luas izin industri ekstraktif di Indonesia sebanding dengan 29,75 persen. Bahkan catatan penggunaan ruang ini bisa lebih besar apabila data perizinan daerah dapat teregistrasi atau dikonsolidasikan dengan baik di tingkat kementerian/lembaga.

Kerusakan ekologis itu mengundang beragam bencana. Masih menurut catatan Walhi Indonesia, sepanjang tahun 2017, BNPB menyatakan terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia, dengan rincian banjir (737 kejadian), puting beliung (651 kejadian), tanah longsor (577 kejadian), kebakaran hutan dan lahan (96 kejadian), banjir dan tanah longsor (67 kejadian), kekeringan (19 kejadian), gempa bumi (18 kejadian), gelombang pasang/abrasi (8 kejadian), serta letusan gunung api (2 kejadian).

Intensitas bencana ekologis menjadi fakta nyata yang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan hidup Indonesia semakin mengalami degradasi dari hari kehari. Dampak dari kerusakan lingkungan yang berkontribusi besar terhadap bencana alam dan dampak perubahan iklim memperparah faktor-faktor pemicu bencana.

Walhi menilai, kerusakan hutan atau lingkungan Indonesia merupakan dampak langsung dari praktik buruk korporasi dan negara dalam pengelolaan sumber daya alam di berbagai sektor yang sampai saat ini belum mampu terselasaikan. Perizinan pembangunan yang mengabaikan tata ruang dan lingkungan hidup, alih fungsi lahan yang massif, kawasan hulu dan hilir yang rusak, pembangunan infrastruktur skala besar, rusaknya daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Ironisnya, faktor penyebab bencana ini merupakan praktik buruk yang dilakukan dengan perampasan tanah, kriminalisasi warga dan aktivis tanpa penegakan hukum yang lebih serius oleh negara. Faktor lain yang memperburuk adalah cuaca ektrem akibat perubahan iklim di mana curah hujan deras dan cukup lama. Ditambah lagi sekitar 70 persen aliran sungai di Indonesia dalam kondisi kritis.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//