Mengetuk Kesadaran Pemerintah di Hari Listrik Nasional
Pembangunan PLTU menimbulkan dampak serius bagi lingkungan dan warga. Sudah saatnya pemerintah beralih ke sumber energi baru terbarukan.
Penulis Putra Wahyu Purnomo28 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Produksi dan pengelolaan listrik di Indonesia sudah berumur 76 tahun setara dengan usia Republik. Di usia ini, bukan berarti tata kelola listrik tak bermasalah. Sejumlah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di berbagai wilayah mencatat pembangunan pembangkit listrik menimbulkan dampak serius pada lingkungan dan manusia.
Damar Kurnia Awami, perwakilan dari LBH Yogjakarta mengungkap persoalan mendasar yang merugikan masyarakat maupun lingkungan di sekitar aset-aset Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara. Salah satunya ialah gangguan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Batubara.
Ia mengurai kasus PLTU di dusun Winong, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, di mana banyak warga mengeluhkan limbah batubara yang dihasilkan oleh tiga unit PLTU di sana. Abu terbang yang dihasilkan oleh sisa pembakaran batubara disinyalir selain mengganggu kesehatan bagi manusia, pun mengganggu proses fotosintesis bagi tumbuhan yang ada di sekitarnya.
"Dan kita juga sempet aksas data kesehatan di puskesmas Kesugihan (Kab. Cilacap), misalnya, masalah satu penyakit tertinggi itu adalah ISPA, kisarannya itu cukup banyak selalu ada peningkatan tiap tahunnya selalu ada pengidap baru ISPA,” papar Damar Kurnia Awami dalam diskusi “Tumbuh Kembang PLTU Batubara di Jawa dan Ancamannya untuk Ketangguhan Indonesia” dalam Zoom Meeting yang digelar bertepatan dengan Hari Listrik Nasional, Rabu (27/10/2021).
Ia membeberkan, setiap tahunnya pengidap baru infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA di dusun Winong mencapai 6.000 orang. Di antaranya terdapat 11 anak yang mengidap bronkitis.
“Dugaan dokter kenapa mereka selalu ISPA dan setiap bulan harus berobat karena mereka berada dan tinggal di lokasi dekat PLTU," ujar Damar.
Senada dengan Damar, perwakilan LBH Semarang Cornel Gea menyampaikan bahwa di daerah lain pun yang di wilayahnya terdapat pembangkit listrik baik itu tenaga uap, geotermal maupun gas uap sama-sama menimbulkan masalah bagi warga setempat. Seperti di Semarang, aktivitas PLTGU yang bising sangat mengganggu kegiatan warga dan memperparah penurunan muka tanah. Sedangkan pada kasus Pembangkit geotermal di Dieng, pernah ada warga yang tewas karena kebocoran gas beracun di kawasan tersebut.
"Bagi negara dan pemilik modal lima orang mati dalam kasus pipa gas Serok Merapi itu hanya sejumlah kelinci percobaan yang dikorbankan untuk pembangkit geotermal itu," tuturnya.
Selain persoalan di atas, proses pembangunan PLTU pun seringkali menyalahi aturan-aturan yang berlaku. Muit Pelu, yang mewakili LBH Bandung menyampaikan, pembangunan PLTU Cirebon I dan II, dinilai menyalahi aturan tata ruang yang berlaku. Hal tersebut akhirnya berdampak pada penghidupan masyarakat sekitar PLTU yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil laut maupun pertanian.
"Di daerah-daerah sekitar pembangunan PLTU sebenarnya warga itu bermatapencaharian sebagai petani, petani tambak, nelayan, pencari rebon, udang kecil atau kerang, nah dari mata pencaharian ini hampir semua sektor pencahariannya sumber-sumber kehidupannya itu ternyata bermasalah semua setelah ada pembangunan PLTU," ujar Muit Pelu.
Muit menilai pemerintah dalam melaksanakan pembangunan PLTU di Cirebon menggunakan cara yang ugal-ugalan, karena menerabas aturan-aturan terkait pemanfaatan ruang yang sudah ada. Meskipun sudah sempat digugat warga dan kalah, pemerintah justru melakukan upaya lewat pembuatan aturan baru dalam hal ini merjuk ke pasal 114 a PP nomor 13 tahun 2017. Sehingga pemerintah dapat melakukan percepatan pembangunan terhadap proyek-proyek yang mereka katakan sebagai aset strategis nasional.
"Bayangkan kalau misalnya tidak ada perencanaan ruang terkait satu lokasi yang ditentukan sebagai lokasi pembangunan PLTU tapi dia dicap sebagai proyek strategis maka itu tidak bermasalah tinggal menteri ATR itu mengeluarkan satu rekomendasi saja itu bisa menyelesaikan tata ruang," imbuhnya.
Proses pembangunan PLTU pun tak jarang menimbulkan konflik di masyarakat, baik dibenturkan dengan sesama warga atau dihadapkan dengan aparatur negara. Bahkan tak jarang warga yang menolak pembangunan PLTU dikriminalisasi dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal.
Selain kriminalisasi, warga pun sering diancam atau mendapat intimidasi bila menyampaikan protes terhadap keberadaan PLTU yang merugikan mereka. Dan lebih parah lagi pola-pola tersebut terjadi tidak hanya di satu wilayah saja melainkan ada di berbagai daerah yang di wilayahnya menjadi tempat berdirinya pembangkit listrik.
Muit juga menyoroti praktik-praktik CSR dari perusahaan pembangkit listrik yang dibagikan kepada warga dan akhirnya menimbulkan konflik horizontal. Pembagian CSR membuat warga saling bertengkar, sehingga penolakan warga terhadap berdirinya pembangkit listrik menjadi tidak solid lagi.
Baca Juga: Walhi Jabar Ingatkan Pentingnya Dialog dalam Pembebasan Lahan Tol Cisumdawu
Pemkot Bandung Jangan Kelola Sampah jadi Batubara RDF
Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19
Kelapa Sawit Sebagai Lumbung Energi Terbarukan
Sampah Kota Bandung: dari Ratusan Juta Rupiah Ongkos Angkut sampai Tusuk Sate Maut
Optimalkan Energi Baru Terbarukan
Penggunaan batubara sebagai sumber penyedia listrik utama di Indonesia harus dikaji ulang. Sebab, bahan utama batubara bukan dari sumber energi terbaharukan. Pemerintah lewat PLN seharusnya sudah mulai mengoptimalkan penggunaan energi terbaru dan terbarukan.
"Kalau kita bergantung pada batubara ketahanan energi musti bisa kita pertanyakan, batubara itu adalah sumber daya yang ngga terbarukan, maka tawarannya adalah EBT, energi baru terbarukan, angin, solar panel, kemudian air gitukan itu untuk menjamin salah satunya ketersediaan energi bagi masyarakat," ungkap Hotmauli Sidabalok, akademisi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.
PLN selaku penyedia kebutuhan listrik bagi masyarakat harus komitmen menyuplai ketersediaan energi bagi masyarakat. Tidak hanya itu PLN pun harus menjamin bahwa ketersediaan energi tersebut dapat diakses oleh masyarakat dengan harga yang pantas. Pun dengan wilayah-wilayah yang masih kesulitan mengakses energi, PLN harus melakukan inovasi dengan memanfaatkan sumberdaya terbarukan seperti sinar matahari dan angin, dan lain-lain.
"Juga ketika wilayah-wilayah remote yang tidak punya sumber energi sama sekali lalu siapa yang berkewajiban, seharusnya PLN berpikir berkewajiban untuk menyediakan," imbuh Hotmauli Sidabalok.
Pria yang akrab disapa Uli itu mengungkap kasus di pulau Karimun Jawa yang masih bergantung dengan diesel sebagai sumber energi mereka. Padahal di pulau tersebut memiliki sumberdaya yang melimpah yaitu angin, dan sinar matahari. PLN seharusnya mampu memberikan dukungan baik teknologi maupun transmisi untuk memanfaatkan sumber daya tersebut.
Dalam paparannya, Uli pun menyebut sudah ada program transisi energi yang akan dilakukan oleh PLN di tahun 2021-2030 dalam menyediakan energi bagi masyarakat. Program transisi energi tersebut saat ini masih memiliki beberapa tantangan yang salah satunya adalah biaya investasi yang tinggi di awal. Namun, tentu hal tersebut akan lebih menguntungkan jika dibandingkan bertahan menggunakan batubara yang lama kelamaan pasti akan habis.
"Kalau kita buat energi yang sumberdayanya solar panel itu memang investasinya tinggi sekali di awal, tapi lihat aja kebelakang dia akan turun. Kalau misalkan kita bandingkan dengan batubara, batubara itu stay harganya tetapi begitu nanti dia sudah ga ada sumbernya dia akan mahal. Yang kedua, dampaknya seperti yang tadi temen-temen cerita itu luar biasa dibandingkan kalau sumbernya dari angin atau matahari," pungkasnya.