Kelapa Sawit Sebagai Lumbung Energi Terbarukan

Keuntungan menggiurkan di balik sawit, terdapat sisi gelap di bidang lingkungan. Kerusakan lingkungan akibat perkebunan sawit getol disuarakan Walhi Indonesia.

Kelapa sawit. (Dok. ebtke.esdm.go.id via laman ITB, Selasa (8/6/2021))

Penulis Iman Herdiana8 Juni 2021


BandungBergerak.idDunia sedang gencar mengalihkan sumber energi utama dari fossil based energy menjadi renewable green energy. Hal ini didasari oleh semakin maraknya fenomena pemanasan global yang disebabkan kenaikan kadar gas rumah kaca, kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung.

Tercatat bahwa pada tahun 2018, kadar karbondioksida di bumi meningkat hingga mencapai angka 407 ppmv dan sektor energi fosil menjadi kontributor utama greenhouse gas (GHG) dengan persentase 68 persen. “Maka dari itu, penggunaan energi fosil diimbau untuk semakin dikurangi,” ujar Tungkot dalam acara webinar “Sawit sebagai Tambang Energi Berkelanjutan”, dikutip Selasa (8/6/2021) dari laman ITB.

Tungkot menilai kelapa sawit menjadi “lumbung” energi terbarukan. Keunggulan pertama dari sumber energi terbarukan ini adalah berlimpahnya kelapa sawit di Indonesia. “Indonesia menjadi raja biodiesel dengan produksi 7.9 miliar liter mengalahkan Amerika dan Jerman,” jelasnya.

Tungkot menyatakan produksi minyak sawit di Indonesia tergolong stabil. Selain itu, berbagai keunggulan sawit sebagai sumber energi terbarukan di antaranya adalah harga bahan baku yang kompetitif, hemat lahan dan deforestasi, sawit sebagai bahan dasar biodiesel hemat polusi tanah, dan sudah tersertifikasi sustainable.

“Kebun sawit sangat efisien untuk dimanfaatkan untuk diolah menjadi sumber energi karena banyak menyerap oksigen,” ujar Tungkot.

Dosen Teknik Kimia ITB, Tatang Hernas mengatakan energi merupakan “oksigen” dari perekonomian, dan seiring berjalannya waktu, sumber energi harus diperbaharui untuk menjaga lingkungan dan juga memperhatikan ketersediaannya.

“Karena saking pentingnya energi, proses transisi fosil ke sawit harus diperhatikan dan dikembangkan lebih serius melalui pendidikan dan iptek,” ujarnya.

Tatang juga memaparkan berbagai jenis sumber daya nabati yang cocok untuk menjadi energi, mulai dari lignoselulosa, gula, pati, minyak-lemak, protein, alkaloid, dan steroid. Ia percaya, bahwa Indonesia dapat menjadi pemimpin BBN dunia dengan sawit sebagai modal, Indonesia bisa mengembangkan semua potensi sumber daya minyak-lemak nabati dengan maksimal.

Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE, Andriah Feby Misna, menjelaskan Indonesia menargetkan energi baru terbarukan memegang 25 persen porsi dari total sumber energi yang dipakai di Indonesia pada 2025. Berbagai strategi telah disiapkan untuk mempercepat perkembangan EBT. Mulai dari substitusi energi final, konservasi energi primer fosil, penambahan kapasitas EBT, dan pemanfaatan EBT nonlistrik.

Duta Besar Luar Biasa Indonesia Untuk Belgia dan Uni Eropa, Andi Hadi memaparkan materi mengenai kebijakan dan isu perdagangan sawit dan biodiesel di Uni Eropa. juga menceritakan mengapa Uni Eropa cenderung memandang negatif kelapa sawit.

“Uni Eropa menciptakan kebijakan bernama The EU Green Deal dengan ambisi mewujudkan Eropa sebagai kawasan climate neutral, yang berarti keseimbangan antara tingkat emisi yang diproduksi dan kemampuan serapan karbon,” ujarnya.

Salah satu alasan kuat yang melatarbelakangi kebijakan ini adalah, klaim Uni Eropa akan keberhasilan mereka menurunkan tingkat emisi hingga 23 persen berdampak pada terjaganya pertumbuhan ekonomi hingga 61 persen. “Sayangnya, karena kebijakan ini ada kecenderungan Uni Eropa menganggap kalau biodiesel dari sawit tidak lestari pada alam,” ujarnya.

Sisi Gelap Sawit

Keuntungan menggiurkan di balik sawit, terdapat sisi gelap di bidang lingkungan. Kerusakan lingkungan yang disebabkan perkebunan sawit getol disuarakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia. Disebutkan bahwa sawit adalah tanaman monokultur, karena dipastikan menghancurkan hutan dengan keragaman biodiversity di dalamnya dengan segala fungsinya baik secara ekologis, sosial budaya dan ekonomi, mencemari lingkungan hidup.

Walhi Indonesia juga memaparkan peristiwa kebakaran hutan yang terjadi Agustus 2018 di wilayah hutan Sumatera dan Kalimantan, bahkan di Kota Pontianak sampai meliburkan semua anak sekolah karena dampak asap yang semakin tinggi. Faktanya di Kalimantan barat sebagai wilayah titik api tertinggi hingga Agustus 2018, terdapat 102 titik api di konsesi perkebunan kelapa sawit (Laporan WALHI Kalimantan barat berSumber: Hotspot NASA (firms.modaps.eosdis.nasa.gov), dikutip dari laman resmi Walhi Indonesia, Selasa (8/6/2021).

Walhi Indonesia mengungkap perkebunan sawit juga turut berperan dalam kerusakan 4.389.757 hektar ekosistem gambut di Indonesia. Di samping kerusakan lingkungan, Walhi memaparkan potensi korupsi sampai kasus perburuhan terkait sawit. Walhi merilis temuan KPK tentang adanya sekitar 63.000 Wajib Pajak terkait dugaan penghindaran setoran pajak.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//