Sampah Kota Bandung: dari Ratusan Juta Rupiah Ongkos Angkut sampai Tusuk Sate Maut
Sampah yang tak dipilah di rumah menjadi ancaman mematikan bagi para petugas kebersihan. Sudah ada korban petugas sampah yang tewas karena tusuk sate.
Penulis Iman Herdiana22 Mei 2021
BandungBergerak.id - Baru-baru ini, rombongan Panitia Khusus (Pansus) II DPRD Provinsi Jawa Barat, mendatangi Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung untuk membicarakan masalah pengelolaan sampah. Salah satu yang dibahas mengenai besaran biaya angkut (tipping fee) sampah yang harus dibayarkan Pemkot Bandung kepada TPPAS Regional Legok Nangka.
Pemkot hingga kini masih belum menemukan angka ideal untuk tipping fee membuang sampah Kota Bandung yang per harinya di kisaran 1.200 ton. “Tentang besaran tipping fee kemampuan kita itu terus kita bicarakan. Alhamdulillah, Pansus 2 ke sini, sehingga kami bisa menyampaikan,” kata Wali Kota Bandung Oded M Danial, dalam siaran persnya.
Sementara Ketua Pansus 2 DPRD Provinsi Jawa Barat, Abdy Yohana mengatakan sampah menjadi masalah serius yang harus segera ditangani. Masalah terkait lingkungan hidup ini bahkan menjadi problem pemerintahan daerah secara umum di Indonesia.
"Ini bagian dari upaya DPRD Provinsi Jawa Barat untuk menyelesaikan persoalan sampah yang terus menerus menjadi problem dari pemerintahan," kata Abdy Yohana. Pansus II menggarisbawahi persoalan sampah menjadi dua persoalan besar, yakni koordinasi antara provinsi dan enam kabupaten kota di Bandung Raya, dan kedua program kontinuitas penanganan sampah.
Maut Intai Petugas Sampah
Penanganan sampah memang rumit karena membutuhkan banyak pihak yang harus terlibat. Selain membutuhkan kebijakan elit yang serius dan pro lingkungan hidup, penanganan sampah juga membutuhkan peran masyarakat secara luas.
Jika Wali Kota Oded dan Pansus 2 masih merumuskan ongkos angkut, persoalan di ranah mikro lain lagi. Sebelum dibuang ke TPPAS Regional Legok Nangka, berbagai jenis sampah harus ditangani terlebih dahulu oleh para petugas kebersihan Kota Bandung.
Mereka saban hari mengumpulkan sampah, memilahnya mulai dari sampah yang bisa didaur ulang, sampah organik, sampai harus bersentuhan dengan sampah B3 (bahan beracun berbahaya). Di luar sampah B3, mereka juga masih menghadapi ancaman sampah berbahaya lainnya, yaitu tusuk sate.
Tusuk sate pun menjadi "B3" dalam artian lain jika bersampur dengan sampah busuk dan beracun dan kemudian menusuk petugas kebersihan. Ancaman bahaya dari sampah tusuk sate yang dibuang tanpa dipilah oleh warga, dirasakan betul oleh Udin, petugas sampah di RW 09 Kelurahan Sukaluyu, Kota Bandung.
Dikisahan Udin di laman Yayasan Pengembangan Biosains dan Teknologi (YPBB), Udin mengaku sudah beberapa kali terluka akibat sampah tusuk sate yang tercampur di antara sampah lainnya. Beruntung, ia selalu sigap pergi ke puskesmas atau rumah sakit terdekat setelah terkena tusuk sate, sehingga tidak berujung pada infeksi yang mematikan.
Nahas menimpa rekan pengumpul sampah Udin, Hermawan, yang akhirnya harus kehilangan nyawa setelah terluka akibat tusuk sate. Berbeda dengan Udin yang sigap untuk mendapat pertolongan medis saat terluka oleh tusuk sate, Hermawan atau akrab disapa Wawan, membiarkan luka yang dideritanya sampai terjadi infeksi parah.
Hal yang sama dialami petugas pengumpul sampah lainnya, Udung. Petugas di Kelurahan Neglasari ini kehilangan nyawa setelah 1 bulan menjalani perawatan di rumah sakit akibat terluka sampah tusuk sate.
Sebagai petugas pengumpul sampah, Udin mengaku, tusuk sate hanya salah satu ancaman dari sekian banyak resiko bahaya yang bisa mengancam kesehatan petugas.
Udin pernah mengalami penyumbatan saluran darah di otak yang mengakibatkan dirinya tak dapat bekerja hingga 1 bulan. Menurut dokter, penyakit Udin disebabkan paparan zat dari sampah yang tercampur, yang sehari-hari digelutinya.
Kosasih, petugas sampah di RW 07 Kelurahan Padasuka, Kota Cimahi, juga membenarkan bahaya di balik sampah tusuk sate yang dibuang tanpa dipilah. Kosasih yang akrab disapa Engkos, pernah terluka oleh tusuk sate saat ia tengah memilah sampah yang bisa dijual. Akibatnya, ia harus berjalan pincang selama seminggu.
Engkos membeberkan, selain tusuk sate, sampah lain yang berbahaya dan berpotensi menimbulkan luka serius adalah pecahan kaca, keramik, dan benda-benda tajam lainnya.
Ancaman-ancaman yang dialami para petugas kebersihan dapat dikurangi dengan cara pemilahan sampah sejak dari rumah. Udin sangat setuju apabila setiap rumah tangga berinisiatif memisahkan sampahnya, walaupun pada awalnya proses pemisahan sampah ini “merepotkan”.
“Awalnya saya menentang program pemilahan di RW 09 Sukaluyu. Tapi, setelah jatuh sakit akibat sampah tercampur, saya jadi berpikir ulang kalau ternyata program ini juga sangat membantu saya (dalam segi kesehatan). Pesan saya untuk para warga masyarakat, kan sudah ada contoh-contoh petugas sampah yang meninggal akibat tercampur sampahnya, tolong bantu saya juga jangan sampai bernasib sama seperti mereka. Bantu saya dengan memilah sampah dari rumah,” ungkap Udin.
YPBB sebagai organisasi nirlaba yang bergerak di bidang lingkungan, pun mengajak agar semua warga mulai memilah sampah di rumahnya masing-masing, sebelum menyerahkannya ke tong sampah atau petugas kebersihan.
Dengan pemilahan sampah, volume sampah di Kota Bandung bisa berkurang. Sehingga ongkos angkut sampah yang kini dipikirkan Pemkot Bandung juga jadi lebih murah. Memang tidak disebutkan berapa ongkos tipping fee sampah Kota Bandung saat Oded bertemu Pansus 2. Tetapi mengacu pada pembuangan sampah Kota Bandung ke TPA Sarimukti, tipping fee-nya Rp 50.000 per ton. Jadi, jika sampah Kota Bandung sebesar 1.200 ton, maka ongkos pembuangan Rp 60 juta.
Namun tipping fee ke TPSA Legok Nangka diperkirakan lebih besar 5 kali lipat dari biaya pembuangan ke Sarimukti yang tutup per 2020 lalu. Maka biaya angkut pun diperkirakan bisa menelan dana ratusan juta per hari.