Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19
Berdasarkan sains, bumi sedang memanas dan keruntuhan ekologi telah dimulai. Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer bumi telah melampaui batas.
Penulis Iman Herdiana29 Juni 2021
BandungBergerak.id - Desk Study Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Indonesia pernah menurunkan laporan Analisis Kesenajangan Kebijakan Iklim Indonesia. Laporan ini diawali dengan mukadimah: “Umat manusia sedang menghadapi krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah,” demikian laporan yang diterbitkan 2020.
Krisis tersebut bahkan bisa jadi lebih besar dari bencana pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal 2020 (dan masih terjadi hingga kini), lanjut laporan tersebut.
“Krisis yang apabila tidak segera diatasi secepat mungkin, mengancam kita menuju kehancuran semua hal yang kita sayangi, ekosistem planet kita, dan masa depan generasi mendatang. Krisis ini disebabkan oleh aktivitas manusia, yakni krisis iklim. Kita harus berhenti memperburuk keadaan atau kita akan menghadapi bencana yang mungkin tidak akan ada jalan keluarnya.”
Di tempat berbeda, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani juga sepakat bahwa krisis iklim dampaknya akan sangat-sangat besar. Salah satu cara untuk mengurangi dampak risiko krisis iklim yang bisa dilakukan masing-masing negara adalah dengan menurunkan emisi karbon dioksida (CO2).
Masing-masing negara di dunia wajib menurunkan produksi karbon dioksida. Tujuannya untuk mengurangi karbon yang terperangkap di atmosfer dan menyebabkan suhu bumi menjadi lebih hangat. Sri Mulyani menyebut, Indonesia punya kewajiban menurunkan emisi CO2 29 persen atau 41 persen dengan dukungan internasional.
Biaya penurunan emisi tersebut membutuhkan dana Rp 3.461 triliun hingga 2030. “Dana ini lebih besar dari pada program pemulihan ekonomi nasional Indonesia untuk penanganan Covid-19,” ujar Sri Mulyani, webinar “Climate Change Challenge: Preparing for Indonesia’s Green and Sustainable Future” yang digelar Direktorat Inovasi dan Science Techno Park (DISTP) Universitas Indonesia (UI), Jumat (11/6/2021) lalu.
Sri Mulyani mengatakan, bicara soal perubahan iklim sangat penting meskipun saat ini Indonesia dan dunia sedang menghadapi tantangan global Covid-19. Berbagai studi menunjukkan bahwa dampak dari climate change akan sangat dahsyat; setiap negara harus menyiapkan strategi dan berkontribusi karena isu ini merupakan masalah global.
Salah satu studi yang sering dijadikan referensi untuk pertemuan-pertemuan perubahan iklim di dunia merujuk pada laporan United Nations Environment Programme mengenai kesenjangan emisi. Bahwa dunia saat ini suhunya 1.10 derajat Celsius lebih hangat dibandingkan pra-industrialisasi. Konsekuensinya, di berbagai belahan dunia terjadi fenomena catastrophic atau bencana hidrometeorologi.
Di Indonesia frekuensi hujannya terus-menerus hinga 18 bulan terakhir. Di kutub utara dan selatan adalah fenomena cairnya es, di seluruh negara mengalami perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan atau hujan yang terus-menerus.
Masyarakat dihadapkan pada konsekuensi, yaitu harus beradaptasi pada perubahan iklim atau aktif memitigasi risikonya. Kalaupun setiap negara melaksanakan kontribusi penurunan karbon, ternyata dunia tidak akan terhindar dari kenaikan suhu. Berdasarkan Nationally Determined Contribution (NDC) di Paris bahwa dunia pada tahun 2030 suhunya naik menjadi 3,2 derajat Celsius di atas pra-industri.
Suhu tersebut telah melewati batas kenaikan suhu maksimal yang bisa ditahan/dilalui oleh bumi yaitu 1.5-2 derajat Celsius. “Oleh karena itu, belajar dari pandemi Covid-19, maka dengan waktu kurang dari 10 tahun dunia dihadapkan pada bencana lain, yaitu Climate Change,” katanya.
Sri Mulyani mengatakan, Indonesia berkomitmen untuk menuju Change CO2 emission-nya yaitu 29 peren dengan menggunakan upaya dan resources sendiri; atau dapat menurunkan CO2 emission sebesar 41 persen apabila mendapatkan dukungan internasional.
“Untuk mengaddress issue Climate Change bukan sebuah upaya yang murah dan gratis. Indonesia sudah menerjemahkan upaya penurunan emisi karbon untuk bisa mencapai komitmen tersebut pada program nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah di antaranya program Prioritas Nasional nomor 6,” ujar Sri Mulyani.
Baca Juga: Pemkot Bandung Jangan Kelola Sampah jadi Batubara RDF
Walhi Jabar Ingatkan Pentingnya Dialog dalam Pembebasan Lahan Tol Cisumdawu PENULIS IMAN HERDIANA
Pemerintah Indonesia Kurang Ambisius
Indonesia menjadi salah satu negara yang menandatangani Perjanjian Paris yang menuntut setiap negara diharuskan menyampaikan Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) dalam mengurangi produksi karbon dioksida penyebab pemanasan global.
Sebagai negara yang menandatangani Perjanjian Paris, Walhi Indonesia mencatat, Indonesia mengesahkan UU Nomor 16 Tahun 2016. Namun Walhi Indonesia menilai, Indonesia kurang ambisius dalam merealisasikan penurunan emisi karbon.
Padahal, berdasarkan sains sudah jelas bahwa bumi sedang memanas dan keruntuhan ekologi telah dimulai. Tingkat konsentrasi karbon dioksida yang saat ini ada di atmosfer bumi telah melampaui batas tertinggi dalam sejarah manusia. Saat ini, bumi sudah berada 1 derajat Celsius di atas suhu rata-rata global sebelum revolusi industri.
Walhi Indonesia melansir pernyataan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia, Dwikorita Karnawati, dalam pembukaan Rakornas BMKG pada tanggal 23 Juli 2019, ada tren peningkatan suhu udara di Indonesia sebesar 0,5 derajat C pada 2030.
Dampak dari pemanasan suhu bumi bukan hanya berupa rusaknya ekosistem, tetapi juga disrupsi akan semua kebutuhan dasar manusia, seperti gangguan terhadap ketahanan pangan, semakin sering terjadi bencana alam seperti banjir dan kekeringan, memburuknya kualitas udara bersih, dan bahkan akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, demikian laporan Walhi Indonesia.
“Dampak-dampak yang timbul dari krisis iklim tidak hanya merugikan manusia secara materil tetapi juga memperlebar jurang kesenjangan dan ketidaksetaraan serta akan memperbesar kemungkinan akan terjadinya konflik sosial,” ungkap laporan yang disusun Defrio Nandi Wardhana, Novita Indri Pratiwi, dan Syaharani, itu.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak buruk dari perubahan iklim. Indonesia sudah mengalami kejadian iklim ekstrem seperti banjir dan kekeringan, kemarau berkepanjangan yang mengakibatkan ribuan hektar sawah gagal panen pada 2019, kebakaran hutan yang meskipun mayoritas disebabkan karena praktek pembukaan lahan untuk perkebunan skala besar, namun juga dipicu intensitas El-Nino.
Dampak-dampak akibat perubahan iklim lain yang juga terjadi di beberapa kota di Indonesia seperti Kota Demak yang telah kehilangan dua dusun akibat banjir rob tinggi yang diduga dipicu oleh krisis iklim.
Isu krisis iklim sebenarnya bukanlah sebuah isu baru. Para pemimpin negara di seluruh dunia sudah diberikan peringatan dari tahun 1990 oleh para ilmuwan dari seluruh dunia yang tergabung dalam IPCC. Pada tahun 1997, Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) memutuskan untuk mempercepat upaya untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi.
Protokol Kyoto merupakan kesepakatan pertama yang diadopsi pada tahun 1997. Negara-negara lain melanjutkan untuk meratifikasi perjanjian tersebut dan mulai berlaku pada tahun 2005. Namun, target emisi awalnya hanya diperpanjang hingga 2012. Ketika tiba waktunya untuk merundingkan putaran kedua hingga tahun 2020, beberapa negara maju lainnya menolak untuk ikut serta.
Di Indonesia, desakan terhadap pemerintah untuk menjadikan krisis iklim sebagai agenda utama disuarakan lewat aksi Climate Strike yang digerakkan oleh anak-anak muda. Sentimen ini juga terefleksikan dari survei oleh Change.org Indonesia, di mana 97 persen warga muda aktif Indonesia setuju bahwa Indonesia menilai bahwa krisis iklim harus menjadi agenda utama pemerintah.
“Oleh karena itu, pemerintah harus mulai serius dan mereformasi kebijakannya agar mampu memenuhi hak hidup dan hak atas lingkungan hidup yang baik tak hanya untuk generasi saat ini tetapi juga untuk generasi yang akan datang,” ungkap laporan Walhi Indonesia.