Akar Masalah DAS Citepus Bukanlah Sampah melainkan Tata Ruang
Pada musim hujan, anak sungai Citarum ini kerap meluber dan menimbulkan bencana banjir. Jika musim kemarau, air Sungai Citepus surut dan dipenuhi sampah.
Penulis Iman Herdiana31 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Sungai Citepus yang melintas di Kota Bandung kerap menjadi pemberitaan miring baik di saat musim hujan maupun kemarau. Pada musim hujan, anak sungai Citarum ini kerap meluber dan menimbulkan bencana banjir. Jika musim kemarau, air Sungai Citepus surut dan dipenuhi sampah.
Pemerintah Kota Bandung baru-baru ini berencana melakukan normalisasi sub-daerah aliran sungai (DAS) Citepus, yakni sungai Cipedes. Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi luapan air pada musim hujan nanti. Salah satu strategi mengurangi luapan air di anak Sungai Cipedes ialah dengan membersihkan aliran sungai dari beragam hambatan, seperti pohon, beton, dan juga terdapat utilitas atau kabel yang melintang.
Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, mengatakan hambatan-hambatan itu membuat sampah tersangkut sehingga air tidak lancar. Ia juga menyoroti perilaku membuang sampah ke sungai, serta pembangunan di bantaran sungai. Yana pun mengimbau masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai.
"Karena faktanya, ada sampah-sampah," jelas Yana Mulyana, saat menelusuri sungai Cipedes, Jalan Sukagalih, Kecamatan Sukajadi, dalam siaran pers, Senin (30/8/2021).
Yana mengungkapkan, Pemkot Bandung sudah melakukan berbagai langkah pencegahan banjir akibat luasan DAS Citepus tersebut, di antaranya pembangunan kolam retensi di Jalan Bima dan Sirnaraga, dan kini rencana normalisasi sungai Cipedes. Langkah ini diharapkan efektif mengurangi luapan air di kawasan Sukajadi tersebut.
Minimnya Fasilitas Membuang Sampah
Masalah sampah di sungai-sungai yang melintas di Kota Bandung sudah lama menjadi perhatian banyak pihak, termasuk para peneliti. Salah satunya penelitian dilakukan mahasiswa Pascasarjana Fakultas Teknik dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Adelia Untari.
“Sungai Citepus nyaris tidak pernah sepi dari sampah,” demikian dalam penelitian berjudul “Studi Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Di Das Citepus, Kota Bandung”.
Namun studi tersebut menyatakan perilaku membuang sampah ke sungai tak lepas dari tidak memadainya fasilitas tempat sampah serta pengangkutannya. Hal itu diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya.
Kondisi memprihatinkan tersebut “menjadikan sungai Citepus ini memiliki dua fungsi, yaitu tempat sampah dan tempat pembuangan air kotor dari rumah-rumah tangga dan industri yang dilewati oleh aliran sungai,” ungkap Adelia Untari.
Tentu membuang sampah ke sungai adalah perilaku yang tidak bisa dibenarkan. Namun ketiadaan fasilitas pembuangan dan pengangkutan sampah yang mestinya disediakan aparat kewilayahan di bawah Pemkot Bandung, juga tak bida dibenarkan.
Pada saat peninjauan sungai Cipedes, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Bandung, Didi Ruswandi, mengungkap persoalan lain yang mendera DAS Citepus. Disebutkan bahwa DAS Citepus termasuk sungai dengan debit air tinggi. Karena tangkapan air dari hulu di kawasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat cukup banyak.
Sedangkan Sungai Citepus yang mengalir di Kota Bandung masuk dalam kategori ordo 3, yakni ukuran cukup kecil dibandingkan jumlah debit. Oleh karenanya, air kerap meluap apabila terjadi hujan lebat di daerah hulu. Sekalipun di wilayah Kota Bandung tidak sedang hujan.
Baca Juga: Sidak Penegakan Aturan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandung Minim
Selain Penanaman Pohon, Pemkot Bandung Disarankan Menambah Luas RTH
"Cipedes (Sub-DAS Citepus) termasuk yang catchment (tangkapan) areanya membesar di kabupaten (hulu). Jadi di atasnya tangkapan airnya itu lebih besar. Ini sama seperti di sub-DAS Cinambo dan sub-DAS Cibeureum," kata Didi Ruswandi.
Sejauh ini belum ada terobosan untuk melakukan normalisasi sungai Cipedes selain penertiban, yakni membersihkan sampah dan penghalang yang bisa dijangkau. Walaupun sungai Cipedes sebenarnya membutuhkan pelebaran diameter drainase dan penambahan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai daerah resapan air. Namun upaya ini sulit dilakukan mengingat sungai tersebut sudah dikepung permukiman, tak ada lagi ruang tersesia.
"Tadi sudah dibahas, ini jalan aktif dan pengalihannya agak susah. Kalau cukup dengan penertiban itu selesai ya cukup dengan itu aja," kata Didi.
Masalah Tata Ruang
Dalam penelitiannya, Adelia Untari, memaparkan bahwa Sungai Citepus merupakan sungai sepanjang 17,23 kilometer yang mengalir melalui Kota Bandung dan bermuara di Kampung Bojong Citepus, Desa Cangkuang Wetan, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Sungai Citepus merupakan sub-DAS dari DAS Sungai Citarum Hulu.
Dalam konteks hidrologi, bagian hulu dan tengah merupakan daerah resapan yang cukup potensial. Peruntukan lahan tahun 1986 yang dominan di DAS Citepus dipergunakan untuk kawasan permukiman atau komplek perumahan.
Di sebelah utara atau hulunya adalah kawasan Lembang yang mempunyai nilai ekonomis dan merupakan daerah pariwisata. Mulai bergeraknya penduduk untuk bermukim di pinggiran bagian atas DAS Citepus secara tidak lansung mendorong terbangunnya infrastruktur, munculnya kawasan perdagangan, dan jasa.
Hasil penelitian Adelia Untari menunjukkan, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung tahun 2011-2031, penggunaan lahan terbesar di DAS Citepus adalah untuk kawasan perdagangan. Ruang terbuka hijau (RTH) tahun 2009 sebesar 7.6 persen dari luas total DAS Citepus. Jumlah tersebut terus menyusut menjadi 3.45 persen (Rencana Tata Ruang Wilayah 2011-2031).
Adelia Untari menyimpulkan, salah satu penyebab permasalahan banjir di hilir sungai Citepus disebabkan oleh penyimpangan penggunaan lahan yang terjadi pada tata guna lahan tahun 1986 dan 2009.
“Kebun campur, tanah kosong, sawah, semak belukar, taman, hutan kota mengalami perubahan yang cukup drastis,” ungkapnya.
Pemkot Bandung kemudian direkomendasikan untuk meninjau penggunaan lahan di sekitar DAS Citepus. Diperlukan pula kebijakan membangun kolam-kolam tampungan atau ruang terbuka hijau lainnya dan menjadikan sebagai zona konservasi dalam rencana tata ruang wilayah Kota Bandung 2031 khususnya pada hulu dan tengah DAS Citepus.
Pemkot juga disarankan membangun teknologi konservasi air sebagai salah satu solusi dari permasalahan banjir. Hal ini harus disosialisasikan melalui kampanye yang bertujuan untuk mempersuasi dan memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui strategi komunikasi dan media yang efektif.