Sidak Penegakan Aturan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandung Minim

Mal atau hotel wajib menyediakan minimal 10 persen ruang terbuka hijau. Tetapi pelaksanaannya patut dipertanyakan.

Dataran tinggi Kawasan Bandung Utara (KBU), yang merupakan daerah resapan air yang banyak mengalami alih fungsi lahan, Kamis (12/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana27 Agustus 2021


BandungBergerak.idPemerintah Kota (Pemkot) Bandung kembali melakukan optimalisasi ruang terbuka hijau dengan penanaman pohon. Kali ini, penanaman dilakukan di Jalan Cisitu, Desa Cimekar, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jumat (27/8/2021).

Pegiat lingkungan merekomendasikan perlunya audit Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan-kawasan perumahan dan komersil. Rekomendasi lain, Pemkot Bandung diminta melakukan terobosan berani di bidang pengadaan RTH dengan cara membeli lahan.

Dalam acara penanaman pohon tersebut, disebutkan bahwa Pemkot Bandung memang berjanji akan terus memperluas RTH walau tak dirinci bagaimana strategi perluasan tersebut. Selain mengantisipasi banjir, RTH diharapkan dapat menjadi daya tarik baru bagi wisatawan.

Mengenai penanaman pohon di Jalan Cisitu, Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengatakan, pihaknya sengaja melakukan penghijauan di luar Kota Bandung. Sebab, Kota Bandung merupakan dataran cekungan yang hulunya meliputi daerah-daerah di Bandung Raya, antara lain, Kabupaten Bandung.

Penghijauan dilakukan guna menambah resapan aliran air dari hulu untuk mengantisipasi banjir di musim hujan. Yana yakin, penanapan pohon di luar kawasan Kota Bandung bisa meningkatkaan resapan air. Ia menyebut ada ratusan pohon produktif ditanam di sana.

"Hari ini kita menanam pohon untuk upaya mengantisipasi banjir, karena meskipun ini wilayah kabupaten Bandung, ini kan menjadi hulu bagi sungai sungai yang ada di kawasan Kota Bandung," tutur Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana, dalam siaran persnya.

Baca Juga: Selain Penanaman Pohon, Pemkot Bandung Disarankan Menambah Luas RTH
Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19
Pemkot Bandung Jangan Kelola Sampah jadi Batubara RDF
Walhi Jabar Ingatkan Pentingnya Dialog dalam Pembebasan Lahan Tol Cisumdawu
Banyak Jalan Mengharumkan Citarum

Perlu Sidak RTH dan Pengadaan Lahan

Masalah RTH Kota Bandung bisa dibilang sudah lama menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mencatat luas RTH Kota Bandung diperkirakan hanya 12 persen. Bahkan luasan ini cenderung menurun, alih-alih bertambah. Sementara undang-undang mewajibkan setiap daerah harus memiliki RTH minimal 30 persen.

Diperlukan upaya agresif oleh Pemkot Bandung untuk menambah luasa RTH. Beberapa langkah yang bisa dilakukan ialah membeli lahan untuk dijadikan RTH dan melakukan audit untuk menegakkan hukum terkait RTH.

“Pemkot Bandung ataupun Pemda Jawa Barat harus berani menganggarkan untuk membeli lahan khusus untuk RTH, selain juga harus memastikan penegakan hukumnya,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong, kepada BandungBergerak.id.

Sudah menjadi rahasia umum, susutnya RTH Kota Bandung terjadi karena alih fungsi lahan mengingat RTH-RTH yang ada milik publik atau swasta dan rentan mengalami alih fungsi lahan. Maka untuk menghindari alih fungsi lahan ini, perlu ada RTH yang kepemilikannya dikuasai pemerintah. Dengan begitu, RTH tidak mudah beralih fungsi.  

Langkah lain yang harus ditempuh adalah audit implementasi ketentuan RTH itu sendiri. Dalam regulasi, setiap bangunan atau sarana komersil wajib menyediakan RTH minimal 10 persen dari luasan terbangun.

Walhi Jabar menduga, audit ini tidak jalan atau paling tidak, kurang gencar. Jika audit jalan, luasan RTH bisa lumayan bertambah, minimal untuk mengejar angka 30 persen RTH sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang tata ruang.

“Karena ada kewajiban sektor privat (swasta) harus sediakan RTH 10 persen jika si privat ini merencanakan usaha. Faktanya, pemenuhan 10 persen ini tidak dilaksanakan oleh sektor privat,” kata Meiki W Paendong.

Sebagai ilustrasi, setiap mal atau hotel harus menyediakan minimal 10 persen luas area terbangunnya sebagai RTH. RTH ini berarti lahan yang tidak dibangun apa pun, kecuali ditanami tanaman.

“Faktanya itu tidak dipatuhi, kalau diaudit malah ada yang terkesan mengakali ditanami pohon-pohon, tanaman-tanaman, tapi tumbuhnya tidak di atas tanah melainkan di pot. Sedangkan lahannya semua ditutup tembok,” ungkapnya.

Seharusnya yang namanya RTH ya ruang terbuka hijau yang bebas dari bangunan, tembok, beton, atau semen. Salah satu fungsi RTH adalah untuk menyerap air. Bagaimana mau menyerap air jika lahan tersebut ditutup semen.

Itulah sebabnya Walhi Jabar mendorong pemerintah daerah untuk gencar inspeksi mendadak (sidak) agar terjadi penegakan hukum dan pengawasan implementasi RTH di ranah swasta atau komersil.

Meiki W Paendong melihat sidak ini masih kurang. Padahal perencanaan 10 persen RTH sudah tertuang di dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) suatu pembangunan. Malahan Walhi Jabar pernah menemukan suatu perusahaan yang tidak memasukan 10 persen RTH di dalam Amdalnya.

“Kami melihat penegakan hukum dan pengawasan ini masih kurang,” ujarnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//