Menyelamatkan Hutan Indonesia dengan Teknologi dan Moratorium

Kebakaran hutan Indonesia harus bisa dicegah dengan pemanfaatan teknologi. Kebijakan moratorium diperlukan untuk memulihkan hutan-hutan yang rusak karena industri.

Gunung di Bandung selatan, terlihat dari kawasan Ibun, Kabupaten Bandung, Jumat (24/9/2021). Salah satu kekayaan Indonesia adalah hutan tropisnya yang luas, kedua di dunia setelah Brazil. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana1 Desember 2021


BandungBergerak.idJumlah luasan hutan di Indonesia diperkirakan akan terus menurun jika tidak ada kebijakan pencegahan yang agresif dari pemerintah. Penyebabnya, tingginya potensi kebakaran hutan dan meluasnya industri kehutanan. Di saat yang sama, Indonesia harus mempertahankan luasan hutan dan menekan produksi karbon dioksida untuk membantu menurunkan suhu bumi.

Karbon dioksida dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil dan pembakaran hutan termasuk polutan udara yang berbahaya. Contohnya, Kalimantan Tengah diprediksi akan menghasilkan 340Mt karbon dioksida dari 2005 ke 2030 akibat kebakaran gambut dan perubahan penggunaan lahan. Dengan urgensi Indonesia di peringkat ke-5 sebagai negara penghasil karbon dioksida terbanyak di dunia, solusi penanganan emisi karbon perlu dibuat.

“Karena itu, kita perlu mengimplementasikan program MRV,” kata Masahiro Kawasaki dari Kyoto University, saat menjadi narasumber untuk webinar “Field Monitoring of Greenhouse Gas and Air Quality in Indonesia”, Selasa (19/11/2021), sebagaimana dikutip dari laman resmi ITB.

Dalam webinar yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) ITB tersebut, profesor emeritus itu menjelaskan, MRV adalah singkatan dari Measuring, Reporting dan Verification, di mana program tersebut berfokus kepada aspek pendataan dan prediksi konsentrasi karbon dioksida di atmosfer.

Sebagai peneliti di Research Institute for Humanity and Nature Japan, Masahiro Kawasaki melakukan berbagai riset mengenai kimia atmosfer, pengukuran kualitas udara dan dinamika fotoreaksi. Dari situ dia menjelaskan bahwa ketiga studi tersebut teraplikasikan kepada program-program MRV untuk memitigasi efek karbon dioksida berlebihan kepada lingkungan.

Salah satu dampak gas rumah kaca berlebihan adalah pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan emisi global sebanyak 35Gt di 2020. Sumber emisi global tersebut dapat berupa aktivitas-aktivitas bersifat natural atau antropogenik.

Di Kalimantan, warga sering menderita efek kabut yang berasal dari pembakara hutan dan gambut. Kabut ini menurunkan jarak penglihatan orang-orang dan berbahaya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Selain itu, kabut dapat merambat ke negara-negara lain sepert Singapura dan Filipina. Maka dari itu, tingkat emisi gas rumah kaca harus diminimalisir agar dampaknya terhadap temperatur dan lingkungan Bumi mengurang.

Pengukuran MRV terhadap pembakaran hutan dan gambut tergantung pada jenis pembakaran yaitu panas dan dingin. Pembakaran panas yang bersifat carbon neutral menyebabkan kekeringan dan berujung kebakaran hutan, sedangkan pembakaran dingin bersifat carbon loss menyebabkan penguraian tanah dalam kondisi aerobik.

“Dua-duanya berkontribusi terhadap emisi karbon dioksida di Indonesia, tetapi dampak terhadap lingkungan berbeda; jika pembakaran panas dapat dipulihkan dalam jangka waktu yang cukup panjang, pembakaran dingin mengakibatkan kerusakan permanen terhadap lingkungan,” ujar Kawasaki.

Salah satu program MRV adalah observasi satelit yang mendeteksi lokasi polusi udara serta intensitas emisi. Program lainnya adalah field sampling dengan sensor untuk mendata konsentrasi gas rumah kaca dan visibilitas lingkungan yang dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran partikel gas. Observasi air tanah pun dapat memprediksi terjadinya kebakaran hutan; pengukuran ketinggiannya tidak hanya mengontrol kebakaran panas maupun dingin, tetapi juga memprediksi dan mencegah kejadian pembakaran.

MRV mempunyai peran dalam kebijakan pengurangan karbon dioksida dan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Dari penerapan program-pragram berbasis MRV, penurun karbon di negara dapat terkontribusi terhadap carbon market ke depannya.

“Pengukuran MRV perlu dilakukan di Indonesia. Dan saat ini ada banyak opsi alternatif yang murah dari sebelumnya untuk diterapkan,” ungkapnya.

Baca Juga: Berbagai Ancaman yang Dihadapi Taman Nasional Gunung Ciremai, Leuser, dan Way Kambas
Film Preserving the Seke: Menggagas Kawasan Gedong Cai Cibadak, Ledeng, sebagai Laboratorium Alam
Mengetuk Kesadaran Pemerintah di Hari Listrik Nasional

Hentikan Industrialisasi Hutan

Selain masalah karbon dioksida, Indonesia menghadapi krisis hutan akibat industrialisasi. Seperti diketahui, Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah luar biasa. Negeri ini menduduki urutan kedua sebagai negara yang memiliki hutan tropis dengan keanekaragaman hayatinya, setelah Brazil.

Di hutan tropis ini, berbagai bahan obat-obatan tersedia, hutan juga sebagai apotik hidup. Beraneka rupa pepohonan yang berada di hutan, mampu menyerap oksigen dan air yang dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup. Hutan, tempat bersandar hidup bagi masyarakat adat, dengan segala pengetahuan dan kearifan lokal yang melekat dan menjadi kebudayaan tersendiri.

Namun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sebagaimana dikutip dari laman resminya, melihat kekayaan alam Indonesia seperti kutukan, akibat salahnya cara pandang terhadap tata kelola hutan. Hutan dan pepohonan dianggap sebagai komoditas dan menjadi tulang punggung ekonomi melalui berbagai kebijakan, dan mendelegasikan pengelolaan hutan kepada korporasi skala besar.

Keanekaragaman hayati diubah menjadi tanaman monokultur. Bahkan yang bahaya, perkebunan monokultur dikampanyekan oleh korporasi seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) alias  kebun kayu atau sawit.

Walhi Indonesia mencatat, sampai tahun 2014 monopoli kawasan hutan dari empat sektor saja telah mencapai 57 juta hektar, dari total 132 juta hektar kawasan hutan Indonesia. Sektor HPH (logging) menguasai 25 juta hektar, perkebunan sawit mencapai 12,35 juta hektar, tambang 3,2 juta hektar.

Tahun 2001, luas area HTI mencapai 5,043,772 hektar. Meningkat pada tahun 2005 menjadi 5,734,980 hektar, dan hingga tahun 2015 luas area hutan tanaman industri semakin meluas menjadi 10,700,842 hektar,

Walhi menyatakan, di tengah carut marutnya tata kelola sumber daya alam, khususnya di sektor kehutanan, telah melahirkan begitu banyak masalah, antara lain deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, dan konflik tenurial yang begitu tinggi di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pada konflik ini masyarakat adat atau lokal menjadi korban.

Walhi merekomendasikan tentang perlunya kebijakan moratorium berbasis capaian dengan indikator yang terukur. Jeda memberikan izin dalam kurun waktu minimal 25 tahun, sembari secara bersamaan melakukan review perizinan, penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi, mengembalikan dan melindungi wilayah kelola rakyat. Dengan kebijakan tersebut, hutan Indonesia diharapkan bisa diselamatkan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//