• Ruang Terbuka Hijau
  • Berbagai Ancaman yang Dihadapi Taman Nasional Gunung Ciremai, Leuser, dan Way Kambas

Berbagai Ancaman yang Dihadapi Taman Nasional Gunung Ciremai, Leuser, dan Way Kambas

Taman Nasional Gunung Ciremai akan berdampak pada kelangsungan keseimbangan ekosistem setempat karena penggunaan pupuk dan pestisida kimia.

Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. (Dok. tngciremai.com)

Penulis Iman Herdiana17 November 2021


BandungBergerak.idKawasan konservasi seperti taman nasional merupakan penyangga kehidupan dan tempat bergantung manusia serta flora maupun fauna. Dalam perjalanannya, kawasan konservasi ini menghadapi kemungkinan ancaman gangguan dari manusia. Masalah di kawasan konservasi ini dibahas dalam kuliah umum program studi Biologi ITB bertajuk “National Park Management in Indonesia and Around the World”, Jumat (5/11/2021) secara daring.

Kuliah umum dengan narasumber Kepala Taman Nasional (TN) Way Kambas, Kuswandono, itu fokus menyoroti tiga Taman Nasional, yakni Gunung Ciremai, Jawa Barat; Gunung Leuser di antara Aceh dan Sumetera Utara; dan Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, Sumatera.

“Kawasan konservasi menjadi penyangga kehidupan dan tempat bergantung manusia serta flora maupun fauna. Pengawetan keanekaragaman hayati ini akan menjaga proses ekologi maupun keseimbangan ekosistem. Kelestarian kawasan konservasi menjadi tanggung jawab bersama,” kata Kuswandono, dikutip dari laman resmi ITB, Rabu (17/11/2021).

Menurutnya, tiga taman nasional tersebut memiliki karakter berbeda-beda. Taman Nasional Gunung Ciremai tidak memiliki hutan penyangga dan berada di kawasan gunung soliter yang dikepung 54 desa dengan pertanian sebagai penggerak utama perekonomian masyarakatnya.

Secara ekologis, TN Gunung Ciremai akan berdampak pada kelangsungan keseimbangan ekosistem setempat karena penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Karena itu, pengelolaan TN Gunung Ciremai juga menggunakan pendekatan dalam aspek sosial budaya dan ekonomi.

Sementara TN Gunung Leuser merupakan gabungan dari beberapa hutan konservasi, hampir semuanya adalah suaka margasatwa dan memiliki hutan penyangga yang ideal. Kawasannya dibagi menjadi kawasan inti, penyangga, dan peralihan yang memiliki perlakuan tersendiri dalam mengelolanya.

Tantangan berbeda dihadapi oleh pengelola TN Way Kambas. Wilayahnya cenderung datar dan tidak terlalu luas. Taman nasional ini menjadi habitat kunci bagi gajah Sumatera, harimau Sumatera, dan badak Sumatera. Situasi tak ideal yang dihadapi adalah gajah membutuhkan wilayah jelajah yang luas. Seringkali terjadi konflik dengan masyarakat karena memasuki wilayah pemukiman penduduk.

Taman nasional menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, merupakan salah satu fungsi hutan, bukan status hutan. Ia masuk ke dalam hutan konservasi dan merupakan kawasan pelestarian alam.

Selain tiga taman nasional di atas, ada taman nasional lainnya yang ditetapkan selepas Indonesia merdeka, yaitu TN Ujung Kulon, TN Gunung Gede Pangrango, TN Baluran, dan TN Komodo.

Kuswandono menyatakan, berbagai taman nasional di Indonesia juga terus berjibaku untuk memerangi masalah kebakaran hutan dan perburuan liar yang sangat merugikan kegiatan konservasi.

“Ada tiga prinsip konservasi yang harus dipatuhi, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,” ucap Kuswandono.

Ia juga mengulas tentang potensi bencana akibat terganggunya hutan atau taman nasional. Menurutnya, air merupakan salah satu sistem penyangga kehidupan. Siklus air memegang peranan vital bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hilangnya hutan sebagai daerah tangkapan hujan di gunung akan menyebabkan bencana di hilir.

Dalam prinsip pengawetan, ia menganalogikannya seperti hikayat Nabi Nuh yang membawa beraneka ragam hewan secara berpasangan dalam bahteranya ketika air bah datang. Hal ini digunakan untuk menyelamatkan kehidupan di muka bumi. Sementara pemanfaatan lestari akan menguntungkan manusia, flora, fauna, dan ekosistem yang menunjangnya.

Baca Juga: Film Preserving the Seke: Menggagas Kawasan Gedong Cai Cibadak, Ledeng, sebagai Laboratorium Alam
Mengetuk Kesadaran Pemerintah di Hari Listrik Nasional
IPB Kembangkan Teknologi Artificial Intelligence untuk Tanggulangi Perburuan Satwa Liar

Taman Nasional Gunung Ciremai

Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat, dengan puncak tertinggi 3.078 meter di atas permukaan laut. Taman Nasional ini berada di tiga kabupaten, yaitu kabupaten Kuningan, kabupaten Cirebon dan kabupaten Majalengka.

Menurut tngciremai.com, perubahan kawasan hutan gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai  (TNGC) ditunjuk oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober Tahun 2004, berdasarkan  usulan dari Pemerintah Kabupaten Kabupaten Kuningan dan Majalengka.

Dalam perjalanan sejarahnyanya tutupan hutan gunung Ciremai telah beberapa kali mengalami perubahan fungsi dari mulai zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Di zaman kolonial Belanda, Gunung Ciremai ditunjuk menjadi hutan lindung. Di era kemerdekaan, kawasan hutan Gunung Ciremai ditunjuk menjadi Hutan Produksi wilayah kerja Unit Produksi (Unit III) Perusahaan Umum Perhutani Jawa Barat.

Pada tahun 2003, sebagian Kelompok Hutan Produksi Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka yang pengelolaannya pada waktu itu oleh Perum Perhutani melalui KPH Kuningan dan KPH Majalengka ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No :195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat seluas 603 hektar.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, kelompok hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas 15.500 hektar yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).

Editor: Redaksi

COMMENTS

//