• Ruang Terbuka Hijau
  • IPB Kembangkan Teknologi Artificial Intelligence untuk Tanggulangi Perburuan Satwa Liar

IPB Kembangkan Teknologi Artificial Intelligence untuk Tanggulangi Perburuan Satwa Liar

Kepunahan satwa liar di Indonesia disebabkan perburuan dan menyusutnya jumlah hutan akibat alih fungsi lahan.

Orangutan di Taman Satwa Cikembulan, Garut, Jawa Barat. Sudah lama mereka tidak bersua dengan pengunjung, sejak Covid-19 merebak di Indonesia dan diberlakukannya penutupan sejumlah tempat wisata. (Foto-foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana20 Oktober 2021


BandungBergerak.idPerburuan dan penjualan satwa liar di Indonesia kian mengkhawatirkan. Profauna mengungkap, tidak sedikit satwa yang akhirnya tewas dalam proses perdagangan. Beberapa satwa bahkan mengidap penyakit yang menular pada manusia.

Menghadapi tingginya perdagangan satwa ilegal, Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS) IPB University bersama Wildife Conservation Society (WCS) sepakat mengembangkan teknologi artificial intelligence (AI). Pengembangan teknologi kecerdasan buatan ini tidak lain untuk menanggulangi perdagangan dan perburuan satwa liar.

Damayanti Buchori, Kepala CTSS IPB University menjelaskan, program ini bertujuan melindungi satwa-satwa liar baik yang berstatus dilindungi maupun bukan. Caranya, menggunakan artificial intelligence untuk mendeteksi perburuan dan perdagangan satwa liar.

“Kita tahu bahwa saat ini teknologi artificial intelligence ini memiliki peran penting dalam dunia konservasi. Jadi ini merupakan pengalaman berharga kami di CTSS IPB University bersama WCS,” kata Prof Damayanti Buchori dalam expert meeting kedua CTSS IPB University, sebagaimana dikutip dari laman IPB University, Rabu (20/10/2021).

Dosen IPB University itu berharap, software yang akan dihasilkan nanti bermanfaat dalam mengatasi perdagangan dan perburuan satwa liar. Lebih lanjut, hasil software yang dibuat juga akan disampaikan kepada pihak terkait seperti Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Kami berharap, pada expert meeting ini kami ingin mengetahui apakah software yang sudah dibuat ini menjadi embrio bagi pengembangan riset maupun kerjasama lainnya di masa mendatang,” ungkap Damayanti Buchori yang juga Guru Besar IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman.

Terkait software yang dibuat, Irman Hermadi, mengatakan software tersebut dapat digunakan untuk mengetahui hewan yang sering diperjualbelikan, mengetahui bagian (part) hewan yang diperjualbelikan, dan mengetahui sebaran spesies yang diperjualbelikan setiap tahun.

“Dengan software ini, kita rancang juga untuk mengetahui sebaran kasus setiap spesies per tahun dan mengetahui lokasi terbanyak terjadinya kasus jual beli,” kata Irman Hermadi, dosen IPB University dari Departemen Ilmu Komputer.

Software juga dapat melihat visualisasi dari banyaknya kasus wildlife trade setiap tahun. Pada dashboard juga disajikan data 10 hewan yang paling banyak diperjualbelikan secara ilegal.

Untuk mengakses data tersebut, katanya, user diminta untuk melakukan login atau mendaftar terlebih dahulu sebelumnya. Pada software ini, user juga dapat memanfaatkan berbagai layanan seperti halaman upload training data, halaman training, halaman summaries, dan halaman prediction.

“Saat ini software masih dalam pengembangan dan akan di-upgrade sesuai dengan kebutuhan di masa mendatang,” pungkas Irman Hermadi.

Baca Juga: Kebun Binatang Bandung dan Taman Satwa Cikembulan bakal Pasrahkan Satwanya ke Negara
Film Spesies Liar, Suara Keprihatinan atas Penyiksaan Satwa Liar yang Melonjak selama Pagebluk
Wisata Satwa di Ujung Tanduk

Fakta Satwa Liar Indonesia

Organisasi perlindungan satwa, Profauna, merilis Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17 persen satwa di dunia terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan dunia. Indonesia nomer satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak 45 persen ikan di dunia, hidup di Indonesia.

Indonesia juga menjadi habitat bagi satwa-satwa endemik atau satwa yang hanya ditemukan di Indonesia saja. Jumlah mamalia endemik Indonesia ada 259 jenis, kemudian burung 384 jenis dan ampibi 173 jenis (IUCN, 2013). Keberadaan satwa endemik ini sangat penting, karena jika punah di Indonesia maka artinya mereka punah juga di dunia.

Namun Indonesia dikenal juga sebagai negara yang memiliki daftar panjang tentang satwa liar yang terancam punah. Menurut IUCN (2013) jumlah total spesies satwa Indonesia yang terancam punah dengan kategori kritis (critically endangered) ada 69 spesies, kategori endangered 197 spesies dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis. Satwa-satwa tersebut benar-benar akan punah dari alam jika tidak ada tindakan untuk menyelamatkanya.

Penyebab Kepunahan Satwa Liar

Penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia setidaknya ada dua hal yaitu: berkurang dan rusaknya habitat dan perdagangan satwa liar.

Berkurangnya luas hutan menjadi faktor penting penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia, karena hutan menjadi habitat utama bagi satwa liar itu. Daratan Indonesia pada tahun 1950-an dilaporkan sekitar 84 persen berupa hutan (sekitar 162 juta ha), namun kini pemerintah menyebtukan luasan hutan Indonesia sekitar 138 juta hektar. Bahkan berbagai pihak menyebutkan luasan hutan Indonesia tidak lebih dari 120 juta hektar.

Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industri dan pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar, termasuk satwa langka seperti orangutan, harimau sumatera, dan gajah sumatera.

Di saat yang sama, perburuan satwa liar berjalan seiring dengan pembukaan hutan alami. Satwa liar dianggap sebagai hama oleh industri perkebunan, sehingga di banyak tempat satwa ini dimusnahkan.

Setelah masalah habitat yang semakin menyusut, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak.

Sebanyak 40 persen satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak memadai, kandang sempit dan makanan yang kurang. Sekitar 60 persen mamalia yang diperdagangkan di pasar burung adalah jenis yang langka dan dilindungi undang-undang. Sebanyak 70 persen primata dan kakatua yang dipelihara masyarakat menderita penyakit dan penyimpangan perilaku. Banyak dari penyakit yang diderita satwa itu bisa menular ke manusia.

Perburuan dan perdagangan satwa liar di Indonesia sebenarnya sudah diatur Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya, bahwa perdagangan satwa dilindungi adalah tindakan kriminal yang bisa diancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//