Film Spesies Liar, Suara Keprihatinan atas Penyiksaan Satwa Liar yang Melonjak selama Pagebluk
Selama masa pagebluk, jumlah konten penyiksaan terhadap hewan melonjak tinggi. Indonesia berada di urutan pertama. Seniman dan aktivis bersuara lewat film.
Penulis Bani Hakiki18 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Selama masa pagebluk, nasib satwa liar semakin mengenaskan. Bukan hanya tentang perdagangan ilegal yang semakin marak dan tak terkendali karena sulitnya pengawasan, namun konten media sosial yang menampilkan perburuan dan penyiksaan terhadap hewan liar juga semakin banyak. Kondisi tersebut dikisahkan dalam sebuah film bertajuk “Spesies Liar” ditayangkan di Gelanggang Olah Rasa, Dago Pakar, Sabtu (16/10/2021).
Film ini menggambarkan tentang dampak dan ancaman pagebluk Covid-19 terhadap satwa liar. Penayangan film “Spesies Liar” sekaligus menyambut hari hak asasi hewan sedunia tahun 2021 yang diperingati setiap tanggal 15 Oktober. Film dokumenter ini sendiri merupakan sebuah kampanye kolaborasi yang diinisiasi dan digarap oleh sejumlah seniman dan musisi.
Beberapa nama yang berkecimpung di antaranya, yakni Wanggi Hoed, Harry “Koi”, Bintang Manira, dan 16 orang lainnya yang menggarap mulai dari teknis pembuatan film hingga mengampanyekan isu yang diusung. Pada kesempatan yang sama, diadakan juga sebuah diskusi mengenai kondisi satwa liar di Indonesia selama pagebluk bersama seniman, musisi, dan aktivis satwa.
Sebelumnya, film tersebut diputar perdana secara virtual melalui Zoom Meeting pada tanggal 30 Januari 2021 bertepatan dengan Hari Primata Indonesia. Tim Spesies Liar pun kembali menayangkannya di ruang tatap muka sebagai rangkaian Tur Liar 2021.
“Spesies Liar ini bukan komunitas atau organisasi, apalagi NGO (non-government organization), terbuka untuk teman-teman yang concern dengan isu satwa liar. Kita pengen seniman-seniman ikut mengampanyekan awareness-nya (kesadarannya),” tutur Wanggi setelah pemutaran film dan diskusi di lokasi, Sabtu (16/10/2021).
Baca Juga: Spesies Liar, Kampanye Lingkungan di Tengah Maraknya Eksploitasi Hewan Dilindungi di Media Sosial
Kebun Binatang Bandung dan Taman Satwa Cikembulan bakal Pasrahkan Satwanya ke Negara
Konten Kekerasan terhadap Hewan Melonjak
Pagebluk Covid-19 membuat banyak kegiatan masyarakat dilakukan secara virtual. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada manusia, tapi juga terhadap hewan liar di Indonesia, termasuk di sekitar wilayah Bandung Raya. Penggunaan internet sebagai alat untuk melakukan aktivitas semakin meningkat, bahkan banyak pula yang semata-mata mencari hiburan saja. Ironinya, banyak satwa liar yang dijadikan sebagai objek mainan dan peliharaan yang dipamerkan di berbagai kanal digital selama pagebluk berlangsung.
Pihak Protection of Forest & Fauna (ProFauna) Indonesia menegaskan bahwa berbagai permasalahan ini perlu segera mendapat tanggapan serius dari pemerintah. Hal yang paling disoroti yakni berupa perdagangan ilegal secara daring maupun tradisional. Keberadaan pasar ilegalnya justru semakin sulit terdeteksi selama pagebluk. Ada pula tindak kriminalisasi satwa liar lainnya, seperti kekerasan dan pemeliharaan primata ataupun hewan sejenisnya secara ilegal.
Nadya salah satu pembicara diskusi yang juga menjabat sebagai Koordinator Representatif ProFauna menuturkan, diperlukan diskusi serta sosialisasi yang rutin agar berbagai permasalahan yang dihadapi ini perlahan dapat diatasi oleh bukan hanya oleh para aktivis, melainkan oleh masyarakat itu sendiri.
“Permasalahan ini ya harus segera ditangani, cuma kalau cara kami ya seperti ini. Dengan pertemuan tatap muka, diskusi kayak begini harapannya bisa membangun kesadaran yang efeknya bisa nerap untuk orang-orang,” ujarnya kepada Bandungbergerak.id seusai diskusi, Sabtu (16/10/2021).
“Kita tahu selama pandemi, kalau kita lihat layar hp (handphone) gitu ya banyak banget video penyiksaan hewan yang beberapa sempat viral. Sebenarnya awareness-nya sudah terbangun, tapi masih banyak pelaku-pelaku yang menganggap praktik itu sebagai konten,” ujar Nadya pada kesempatan yang sama.
Merujuk hasil penelitian termutakhir dari Asia for Animal Coalition, ditemukan sebanyak 5.840 konten penyiksaan hewan dan satwa liar di dunia sepanjang pagebluk. Data tersebut dihimpun dari berbagai media sosial di antaranya Twitter, Instagram, YouTube, Facebook dan Tiktok.
Indonesia bertengger di peringkat pertama sebagai penghasil video konten penyiksaan hewan terbanyak di antara beberapa negara lainnya. Sepanjang 2020-2021, ada sebanyak 1.626 konten penyiksaan hewan yang muncul dan dilakukan di Indonesia.
Mandek dan Tumpulnya Penegakan Hukum
Pada kesempatan yang sama, Nadya juga mengkritik bagaimana penarapan kebijakan hukum yang dinilai tidak berjalan di Indonesia. Apalagi belum ada ayat-ayat atau pasal yang secara spesifik membahas perlindungan hak asasi hewan di dalam Undang-undang konstitusi.
Hukum-hukum mengenai konservasi satwa liar hanya tercatat pada Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Meskipun demikian, segala aturan yang tercantum didalamnya pun tidak diterapka secara serius oleh pihak pemerintah. Misalnya, masih banyak surat ilegal yang meloloskan sebagian orang untuk memelihara hewan yang dilindungi.
Nadya secara singkat menjelaskan bahwa kesadaran masyarakat soal hak asasi hewan akan percuma jika tidak ada advokasi dan penanganan hukum yang jelas dari pihak pemerintah. Saat ini, pihak pemerintah pusat maupun daerah dipandang lemah dalam hal penyuluhan dan penelitian permasalahan satwa liar di lapangan.
“Kelemahan kita itu studinya masih sedikit, hukum-hukumnya juga gak diterapkan dengan jelas dan malah semakin tumpul. Sekarang, Menteri Kehutanan aja gak bisa diandalkan, (kebijakannya) selalu aja bersebrangan. Bahkan, cagar alam aja dijadikan kawasan wisata," ujarnya menegaskan.
Penayangan dan diskusi film “Spesies Liar” tidak hanya diadakan di Kota Bandung, tapi juga telah selenggarakan di 11 kota lainnya di Indonesia termasuk di Yogyakarta, Subang, Bogor, Cimahi, dan beberapa kota di Kalimantan Tengah. Secara garis besar, film ini merupakan sebuah bentuk kampanye dan seruan kepada masyarakat umum untuk memutus mata rantai perburuan satwa liar yang marak terjadi di dunia.
Rangkaian tur ini memiliki misi dan berupaya memperluas serta mengetuk kembali kesadaran masyarakat akan satwa liar, khususnya di Indonesia. Kini, habitatnya dikabarkan kian terancam, bahkan semakin banyak pula yang dijadikan obyek konten di media sosial.
Sementara itu, penggarapan film “Spesies Liar” hingga saat ini belum selesai dan masih dalam tahap pengembangan. Penyempurnaannya bakal disesuaikan dengan respons dan tingkat kesadaran masyarakat di titik-titik penayangannya. Upaya ini dilakukan untuk memperkuat kaitan isu dalam film dengan kondisi nyata di lapangan.