Tarian Satwa Liar di Kota yang Kian Ingar
Ruang terbuka hijau di Kota Bandung rentan tergusur. Ini berpengaruh pada satwa liar seperti bajing, burung, bahkan kalong sudah lama tak terlihat.
Ruang terbuka hijau di Kota Bandung rentan tergusur. Ini berpengaruh pada satwa liar seperti bajing, burung, bahkan kalong sudah lama tak terlihat.
BandungBergerak.id - Seekor tupai, mamalia kecil keluarga bajing (Sciuridae), asyik menggerogoti buah ketapang. Matanya tetap awas mengamati lingkungan sekitarnya. Posisi sang tupai cukup aman, di ketinggian lebih dari 5 meter di atas sebatang pohon ketapang yang cukup rimbun.
Biji ketapang yang sudah bersih akan terlempar ke tanah, kelak mungkin akan tumbuh pohon katapang di bekas si tupai tadi makan. Begitulah aturan alam yang kadang diabaikan oleh manusia.
Sekitar 10 meter dari pohon ketapang, seekor burung sriganti madu (Nectarinia jugularis) hinggap di ranting berbunga pohon jati emas. Cuitannya khas, mengundang beberapa ekor burung sejenis untuk hinggap di ranting yang sama. Beberapa ekor prenjak (Prinia familiaris Horsfield ) ikut bertengger, juga burung sepah berkepala merah hinggap di ranting yang lain. Hanya burung kacamata dari keluarga Zosteropidae yang tak pernah lagi terlihat.
Beberapa meter dari pohon jati, sekelompok burung takur ungkut-ungkut (Megalaima haemacephala) hinggap di kanopi pohon sukun yang meranggas, paruhnya mematuk-matuk batang pohon yang kering, mencari serangga atau ulat di balik kulit pohon.
Di bagian bawah pohon sukun yang masih ditumbuhi daun cukup lebat, seekor burung pelatuk ulam (Dendrocopos macei) hinggap dengan posisi vertikal, paruhnya mematuk-matuk dahan pohon untuk mencari serangga atau ulat. Warna bulu kombinasi hitam putih dengan jambul warna merah, terkamuflase sempurna di antara warna kayu dan daun. Burung liar ini mulai jarang terlihat dalam waktu beberapa tahun terakhir.
Kumpulan burung kutilang (Pycnonotus aurigaster) jadi yang paling dominan menguasai pepohonan di permukiman atau taman kota. Keriuhan suara burung pengicau beragam jenis itu sesekali ditimpali kicauan burung wiwik kelabu (Cacomantis merulinus) atau orang Sunda bilang manuk cungcuing, burung yang kerap disebut sebagai pembawa petaka atau kematian dengan suara monontonnya yang tidak nyaman di telinga.
Aktivitas satwa-satwa liar itu jadi ritual pagi di sebuah permukiman yang masih banyak ditumbuhi tegakan pepohonan yang cukup rapat. Kawanan satwa tersebut tak terganggu lalu lalang manusia atau kendaraan yang lewat. Namun burung-burung itu beterbangan saat sebuah sepeda motor berknalpot bising melintas. Sang tupai pun sigap menghindar lalu meniti kabel listrik dengan cepat dan pindah ke batang pohon alpukat, lalu lenyap di ketinggian pohon yang rapat.
Tupai yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di atas pohon (arboreal) mutlak membutuhkan pepohonan yang rapat dan saling menyambung. Kondisi pepohonan di perkotaan yang tak selalu rapat dan terpisah oleh persimpangan jalan atau padatnya permukiman membuat tupai beradaptasi. Bentangan kabel-kabel listrik jadi penghubung antar pepohonan, tupai masih bisa leluasa memilih pepohonan saat mencari makan atau perlindungan.
Kabel-kabel listrik juga kerap jadi tempat bertengger beberapa jenis burung liar. Namun kanopi atau cabang-cabang pohon tetap jadi area berburu atau berlindung banyak jenis burung. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, jenis-jenis satwa terutama burung, silih berganti datang dan pergi. Ada yang populasinya bertambah banyak, ada juga yang hilang entah ke mana. Selain burung kacamata, koloni bondol peking (Lonchura punctulata) sempat muncul lalu hilang. Begitu juga dengan burung ayam-ayaman (Gallicrex cinerea) yang sempat muncul lalu hilang lagi.
Burung-burung pemangsa nokturnal masih sering terlihat di pepohonan. Burung hantu yang merupakan burung pemangsa dari ordo Strigiformes seperti serak Jawa (Tyto alba) dan burung kowak malam (Nycticorax nycticorax) kerap terlihat di kegelapan malam. Sayang, serak jawa juga kerap terlihat di lapak pedagang satwa ilegal di pinggir jalan. Bahkan saya pernah mendapati seekor burung raja udang endemik jenis cekakak jawa (Halycon cyanoventris) dijajakan di pinggir ruas jalan nasional antarkota.
Makin terdesaknya ruang terbuka hijau oleh pembangunan infrastruktur jadi salah satu penyebab hilangnya satwa-satwa liar di area-area hijau perkotaan. Perburuan satwa liar terutama burung-burung di kota-kota juga ikut memperburuk keadaan. Kita dengan mudah bisa mendapatkan burung hantu atau burung gelatik jawa di pasar-pasar burung ketimbang di alam.
“Burung-burung seperti bondol haji atau gelatik jawa sudah sangat sulit ditemui di perkotaan, kawanan burung jenis itu pindah ke daerah-daerah yang masih berlimpah sumber makanannya, misalnya daerah yang masih banyak sawah,” kata Ade Mamad, seorang fotografer profesional yang juga dikenal sebagai pengamat burung dan pemerhati konservasi.
Terus menciutnya ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan selain mengancam kelestarian satwa-satwa liar juga mengancam kemampuan kota untuk mengurangi emisi gas buang dari asap kendaraan dan industri. RTH adalah kebutuhan vital sebuah kota untuk menjamin udara bersih bagi warganya selain fungsi rekreatif.
Tren penambahan RTH di Kota Bandung sebenarnya mengalami penambahan. Dari 132,31 hektare pada tahun 2006, luasan RTH bertambah menjadi 2.048,97 hektare di tahun 2020. Namun jika dibanding luas total wilayah Kota Bandung, cakupan RTH baru di angka 12,25 persen. Masih jauh dari angka minimal yang ideal yaitu 30 persen dari luas total wilayah.
Ruang-ruang terbuka hijau atau hutan kota rentan tergusur di Kota Bandung. Beberapa yang masih bertahan sejak era Hindia Belanda, contohnya seperti Taman Maluku yang berada di kawasan instalasi militer, cukup aman keberadaannya. Di hutan kota ini saya pernah melihat burung migran asal Cina dan Eurasia di masa migrasi burung dari benua-benua 4 musim.
Apakah Kota Bandung mampu menambah luasan RTH mendekati batas ideal? Kita masih harus menunggu. Selama masa penantian itu, tak ada jaminan satwa-satwa liar yang ada tidak akan punah. Atau jika kondisi membaik, bukan tak mungkin malah akan bertambah.
Jangan sampai nasib satwa-satwa itu punah seperti kelelawar besar pemakan buah (kalong) yang telah hilang dari “alam liar” perkotaan sejak beberapa dekade ke belakang. Si rubah terbang dari keluarga Pteropodidae ini dulunya banyak menghuni hutan-hutan di wilayah perbatasan kota dan kabupaten di Kawasan Bandung Utara. Namun kepak sayap raksasa penguasa angkasa yang dulunya kerap terlihat di langit senja Kota Bandung itu hilang setelah KBU semakin sesak oleh permukiman mewah dan resor-resor wisata.
Teks dan Foto: Prima Mulia
COMMENTS