Elang Jawa Bernama Iskandar Dilepasliarkan setelah Dipasang GPS

Elang jawa mirip burung garuda. Elang ini telah dipasang PTTs jenis PinPoint Solar GPS-Argos dengan berat 21 gram yang berfungsi untuk melacak keberadaannya.

Elang jawa (Nisaetus bartelsi). (Sumber: Profauna)*

Penulis Iman Herdiana22 Februari 2022


BandungBergerak.idSeekor elang jawa (Nisaetus bartelsi) yang diberi nama Iskandar telah dilepas ke alam liar area blok Cisalimar, Bogor, Jawa Barat. Pelepasliaran burung elang yang terancam punah itu hasil kerja sama antara IPB University, Kyoto University, dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Sebelum dilepas, elang yang mirip burung garuda itu telah dipasang Platform Transfer Terminal (PTTs) jenis PinPoint Solar GPS-Argos dengan berat 21 gram. Alat ini berfungsi untuk melacak keberadaan elang. Iskandar merupakan elang jenis kelamin jantan yang diperkirakan berusia 1 tahun 5 bulan.

Elang jawa tersebut serahan dari masyarakat Lido-Bogor pada tanggal 9 Januari 2022. Ia siap dilepasliarkan setelah melewati masa rehabilitasi yang relatif sangat singkat, yaitu hanya 15 hari di Pusat Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) Loji-Bogor yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Pelepasliaran kali ini sangat penting, mengingat untuk pertama kalinya elang jawa yang dilepasliarkan,” ujar Cici Nurfatimah, yang sedang melakukan studi Program Doktor di Laboratorium Landscape Ecology and Planning, Graduate School of Global Environmental Studies, Kyoto University, Jepang, mengutip laman resmi IPB University, Selasa (22/2/2022).

“Sebelum Iskandar dilepasliarkan, pihak Balai TNGHS telah melakukan beberapa prosedur. Di antaranya memastikan kesehatan satwa, memastikan bahwa perilaku satwa menunjukkan kesiapan untuk pelepasliaran dan lokasi pelepasliaran adalah kawasan yang telah sesuai untuk pelepasliaran,” imbuhnya.

Menurutnya, hal ini sesuai dengan hasil kajian habitat menggunakan tool Maxent tahun 2020 dan didetailkan oleh tim PSSEJ pada tanggal 18-19 Januari 2022. 

Area blok Cisalimar sendiri dinilai paling cocok berdasarkan beberapa kriteria, seperti kondisi habitat, keberadaan elang jawa, aksesibilitas, dan potensi keberadaan pakan.

Menurut Cici, elang jawa termasuk salah satu dari 25 satwa prioritas yang terancam punah dan merupakan salah satu dari tiga spesies kunci di TNGHS serta sebagai satwa endemik pulau Jawa. International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengkategorikan elang jawa sebagai jenis satwa terancam punah (endangered), kategori Appendix II menurut Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dan dilindungi oleh Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

“Pelepasliaran satwa liar merupakan program yang terus dilaksanakan untuk menjaga kelestarian satwa di habitat alaminya. Dukungan dan kerjasama para pihak, baik sektor pemerintah, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi dan masyarakat merupakan modal utama untuk pelepasliaran satwa liar untuk kepentingan pelestarian dan pengawetan keragaman hayati di kawasan TNGHS,” tandas Cici.

Elang jawa telah ditetapkan sebagai Satwa Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 4 tahun 1993.  Elang jawa adalah termasuk ke dalam jenis burung raptor (burung pemangsa). Burung pemangsa merupakan top predator di alam yang peranannya sangat penting sebagai pengatur rantai makanan sehingga keseimbangan ekosistem dapat terjaga. 

Namun demikian, keberadaannya dari tahun ke tahun terancam akibat perdagangan ilegal, perburuan liar dan degradasi habitat. Kawasan TNGHS yang merupakan hutan hujan tropis pegunungan terluas yang masih tersisa di pulau Jawa diyakini sebagai habitat terbaik dari raptor ini.

“Terdapat 17 jenis raptor yang teridentifikasi di kawasan TNGHS termasuk di antaranya elang jawa yang dilepasliarkan,” tuturnya.

Baca Juga: IPB Kembangkan Teknologi Artificial Intelligence untuk Tanggulangi Perburuan Satwa Liar
Film Spesies Liar, Suara Keprihatinan atas Penyiksaan Satwa Liar yang Melonjak selama Pagebluk
Wisata Satwa di Ujung Tanduk

Pelepasliaran elang jawa bernama Iskandar di Bogor. (Sumber: IPB University)*
Pelepasliaran elang jawa bernama Iskandar di Bogor. (Sumber: IPB University)*

Fungsi GPS

Cici Nurfatimah melakukan penelitian elang jawa di bawah dibimbing Shozo Shibata (Graduate School of Global Environmental Studies, Kyoto University) dan rekan peneliti Syartinilia (Departemen Arsitektur Lanskap, IPB University), Yeni Aryati Mulyani (Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University).

Cici Nurfatimah merupakan alumnus Departemen Arsitektur Lanskap IPB University dari program sarjana dan program magister. Judul penelitian doktoralnya adalah Movement behavior of Javan Hawk-Eagle based on satellite-tracking.

"Penggunaan satellite-tracking dapat membantu memahami ekologi spasial Elang Jawa di habitat aslinya. Dari riset ini kami juga ingin memperoleh informasi yang lebih akurat tentang struktur lanskap dan matriks yang mendukung pergerakan Elang Jawa. Selain itu penggunaan teknologi ini juga digunakan untuk pemantauan tingkat keberhasilan pasca pelepasliaran, lokasi dan luas wilayah jelajah dan ketinggian terbang,” terang Cici.

Elang Jawa Terancam Perburuan

Elang jawa termasuk satwa yang terancam perburuan. Ciri reptor ini memiliki jambul di kepala, bulu sayap dan punggung coklat tua, bulu dada bergaris-garis lintang putih, ekor bergaris-garis hitam, tungkai berbulu.

Profauna menyatakan hewan endemik di pulau Jawa ini dilindungi UU No. 5 Tahun 1990 dan PP No. 7 Tahun 1999. Bukan hanya elang jawa, semua jenis elang dilindungi undang-undang tersebut.

Profauna pernah merilis bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17 persen satwa di dunia terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan dunia. Indonesia nomer satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat lebih dari 1.539 jenis burung. Sebanyak 45 persen ikan di dunia, hidup di Indonesia.

Indonesia juga menjadi habitat bagi satwa-satwa endemik atau satwa yang hanya ditemukan di Indonesia saja. Jumlah mamalia endemik Indonesia ada 259 jenis, kemudian burung 384 jenis dan ampibi 173 jenis (IUCN, 2013). Keberadaan satwa endemik ini sangat penting, karena jika punah di Indonesia maka artinya mereka punah juga di dunia.

Namun Indonesia dikenal juga sebagai negara yang memiliki daftar panjang tentang satwa liar yang terancam punah. Menurut IUCN (2013) jumlah total spesies satwa Indonesia yang terancam punah dengan kategori kritis (critically endangered) ada 69 spesies, kategori endangered 197 spesies, dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis. Satwa-satwa tersebut benar-benar akan punah dari alam jika tidak ada tindakan untuk menyelamatkanya.

Penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia setidaknya ada dua hal yaitu: berkurang dan rusaknya habitat dan perdagangan satwa liar. Berkurangnya luas hutan menjadi faktor penting penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia, karena hutan menjadi habitat utama bagi satwa liar itu. Daratan Indonesia pada tahun 1950-an dilaporkan sekitar 84 persen berupa hutan (sekitar 162 juta hektare), namun kini pemerintah menyebtukan luasan hutan Indonesia sekitar 138 juta hektare. Bahkan berbagai pihak menyebutkan luasan hutan Indonesia tidak lebih dari 120 juta hektar.

Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industri dan pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar, termasuk satwa langka seperti orangutan, harimau sumatera, dan gajah sumatera. Di saat yang sama, perburuan satwa liar berjalan seiring dengan pembukaan hutan alami. Satwa liar dianggap sebagai hama oleh industri perkebunan, sehingga di banyak tempat satwa ini dimusnahkan.

Setelah masalah habitat yang semakin menyusut, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak.

Sebanyak 40 persen satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak memadai, kandang sempit dan makanan yang kurang. Sekitar 60 persen mamalia yang diperdagangkan di pasar burung adalah jenis yang langka dan dilindungi undang-undang. Sebanyak 70 persen primata dan kakatua yang dipelihara masyarakat menderita penyakit dan penyimpangan perilaku. Banyak dari penyakit yang diderita satwa itu bisa menular ke manusia.

Perburuan dan perdagangan satwa liar di Indonesia sebenarnya sudah diatur Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya, bahwa perdagangan satwa dilindungi adalah tindakan kriminal yang bisa diancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//