Perjalanan Ronggeng Gunung Desa Cikalong, dari Tarian Sakral kemudian Nyaris Tenggelam
Ronggeng gunung sempat diselewengkan dan dicap sebagai tarian negatif. Bangkit kembali, namun kini terancam minimnya regenerasi.
Penulis Iman Herdiana11 Desember 2021
BandungBergerak.id - Desa Cikalong, Kecamatan Sidamulih, Kabupaten Pangandaran, banyak menarik minat para peneliti yang konsen di bidang seni dan budaya. Cikalong bukan kampung biasa karena memiliki kekayaan budaya Sunda. Salah satu kesenian yang lahir di desa ini ialah ronggeng gunung yang kini keberadaannya nyaris punah.
Salah satu penelitian tentang ronggeng gunung dilakukan Kuswandi, dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Galuh (Unigal) Ciamis, dan Dwi Novi Carolin, Mahasiswa Pendidikan Sejarah Unigal. Keduanya meneliti seni ronggeng dalam makalah berjudul “Keberadaan Ronggeng Gunung di Desa Cikalong Kecamatan Sidamulih Kabupaten Pangandaran dari Tahun 1950-2014”.
Dijelaskan bahwa ronggeng gunung merupakan seni tari lahir dan berkembang di Desa Cikalong kurang lebih tahun 1950. Kata ronggeng berasal dari kata renggana (bahasa Sansekerta) yang berarti wanita pujaan.
Ronggeng gunung merupakan kesenian asli dan warisan budaya para leluhur Desa Cikalong yang telah diakui oleh masyarakat luas. Seni tari ini memiliki makna kebersamaan serta kekompakan dalam semua gerakan penari.
“Puncak kejayaan ronggeng gunung kurang lebih terjadi antara tahun 1970-1980. Seiring perkembangan zaman, ronggeng gunung semakin meredup, hal ini bukan disebabkan karena adanya anggapan negatif dari masyarakat, akan tetapi tidak adanya kesadaran dari generasi muda untuk tetap melestarikan Kesenian Ronggeng Gunung,” kata Kuswandi dan Dwi Novi Carolin, sebagaimana diakses dari Jurnal Artefak, Sabtu (12/12/2021).
Faktor lain yang membuat kesenian ini redup, ungkap Kuswandi dan Dwi Novi Carolin, pada awal perkembangannya seni Ronggeng Gunung desa Cikalong tidak memiliki personel pendukung yang tetap seperti jenis kesenian tradisi lainnya yang diwadahi oleh suatu organisasi yang sifatnya melembaga dalam grup kesenian, karena yang disebut ronggeng gunung adalah nyi ronggeng itu sendiri.
Dari segi gerak, ronggeng gunung berbeda dengan seni ronggeng lainnya. Gerak ronggeng gunung lebih terfokus pada gerakan kaki walaupun ada sebagian gerakan tangan tapi semuanya berpatokan pada kaki. Pola lantai ronggeng gunung juga selalu melingkar walaupun sesekali berpencar pada gerkan adu dalam lagu sigaran. Pada pertunjukan ronggeng gunung, juru kawih juga bertindak sebagai juru ibing.
Sekitar tahun 1950 sampai 1970, ronggeng gunung banyak digunakan masyarakat pegunungan untuk sarana upacara yang berkaitan dengan pertanian atau kesuburan, misalnya pada prosesi upacara mimiti ngawuluku atau pertama menanam padi, atau pertama mengangkut padi dari sawah ke rumah, Ronggeng Gunung juga menjadi prosesi dalam khitanan, nikahan, dan acara hajat lainnya.
Penyelewengan Ronggeng Gunung
Namun ada masa ketika ronggeng gunung mengalami pergeseran nilai dalam penyajiannya, misalnya dengan cara menghormat yang semula dengan cara merapatkan tangan di dada berganti dengan cara bersalaman. Akan tetapi akhirnya cara bersalaman ini banyak disalahgunakan di mana penari laki-laki atau orang-orang tertentu bukan hanya bersalaman melainkan bertindak lebih jauh lagi seperti mencium, meraba, dan sebagainya. Bahkan kadang-kadang penari dapat dibawa ke tempat sepi. Karena tidak sesuai dengan adat-istiadat, maka kesenian ini sempat dilarang untuk dipertunjukan.
“Pada tahun 1950, kesenian Ronggeng Gunung mulai dihidupkan kembali dengan beberapa pembaruan, baik dalam tarian maupun dalam pengorganisasiannya, sehingga dapat mencegah timbulnya hal-hal negatif dapat dihindarkan,” ungkap dua peneliti tersebut.
Untuk mencegah pandangan negatif terhadap kesenian ronggeng gunung yang hampir punah ini, diterapkan peraturan-peraturan yang melarang penari dan pengibing melakukan kontak (sentuhan) langsung. Beberapa adegan yang dapat menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang penari, dilarang sama sekali.
“Peraturan ini merupakan suatu cara untuk menghilangkan pandangan dan anggapan negatif dari masyarakat bahwa ronggeng gunung tidak identik dengan perempuan yang senang menggoda laki-laki,” katanya.
Masalah lain, seiring perkembangan zaman, kesenian tradisional ronggeng gunung sedikit tergantikan dengan jenis musik modern seperti band dan dangdut. Sehingga seluruh lapisan masyarakat serta pemerintah harus bisa melestarikan kesenian tradisional yang sudah turun-temurun tersebut.
Pemerintah direkomendasikan memfasilitasi kesenian tradisional ronggeng gunung agar tetap lestari. Caranya, bisa dengan menggelar acara-acara yang berhubungan dengan pertunjukan kesenian, mengenalkannya kepada anak-anak baik oleh guru di sekolah maupun orang tua di rumah, supaya generasi muda bisa lebih menjaga dan mencintai budaya dari daerahnya sendiri.
Warisan Kerajaan
Masyarakat Desa Cikalong percaya lahirnya Ronggeng Gunung terkait dengan kerajaan Pananjung. Sekitar abad ke-XVI, Raden Anggalarang mendirikan Kerajaan di Ujung Pananjung itu atas kehendak sendiri meminta kepada ayahnya, Prabu Haur Kuning, yang memegang pimpinan kerajaan di daerah Galuh. Ayahnya meramalkan kerajaan Raden Anggalarang tidak akan berlangsung lama.
Kerajaan Pananjung pun berdiri, Raden Anggalarang sebagai rajanya, dan Dewi Siti Samboja atau dikenal Dewi Rengganis sebagai permaesuri, dengan patih kerajaan bernama Aria Kidang Pananjung. Dalam perkembangannya, kerajaan Pananjung menjelma sebagai kerajaan makmur, penghasilan mereka terutama bidang perikanan laut dan pertanian.
Tidak lama kemudian para Bajo menyerang Kerajaan Pananjung secara diam-diam. Patih Kidang Pananjung dikalahkan para Bajo dalam suatu pertempuran. Ini membuat kerajaan porak poranda. Raden Anggalarang yang merasa kalah, memutuskan melarikan diri ke tempat yang sekarang disebut Babakan. Ia meninggalkan permaesurinya di kerajaan yang dikuasi kaum Bajo.
Anggalarang tetap menjadi incaran para Bajo. Mereka mengendus keberadaannya di Babakan. Raden Anggalarang berhasil meloloskan diri ke Cikembulan. Dari sana ia berangkat lagi menyusuri pantai dan melihat situasi dari Batu Hiu, kemudian terus ke Serang.
Di tempat itu, rombongan Raden Anggalarang yang terdiri dari Mama Lengser dan lain-lain, berembuk untuk menyelamatkan Dewi Siti Samboja. Disepakati Dewi Siti Samboja akan dibawa Mama Lengser pergi ke arah utara, dan Raden Anggalarang menuju selatan. Di selatan itulah Raden Angglarang terbunuh dalam pertempuran dengan kaum Bajo.
Dewi Siti Samboja ditemani oleh Mama Lengser melanjutkan perjalanan sampai Sungai Citanduy. Di tempat ini, sang Dewi bertemu dengan jejaka tukang rakit yang bisa menyeberangkan orang-orang. Keesokan harinya, Dewi Siti Samboja sampai di sebuah anak sungai Citanduy dan menemukan mayat seorang laki-laki muda yang tidak lain tukang rakit. Tempat penemuan mayat ini disebut Patimuan.
Di tengah perjalanan, Dewi Siti Samboja menyepi dan bertapa. Dia mendengar suara tanpa kelihatan wujudnya bahwa untuk menyelamatkan diri dari para Bajo, yaitu dengan cara menyamar sebagai rombongan seni doger (ketuk tilu). Bersama dengan para pemuda setempat, Dewi Siti Samboja berperan sebagai Waranggana (ronggeng) dan Dewi Siti Samboja namanya diganti menjadi Dewi Rengganis.
Tiap malam mereka mengadakan pertunjukan seni ronggeng gunung dari satu tempat ke tempat lainnya, sedangkan pada siang hari tetap bersembunyi menghindari para Bajo.
Kabar porak porandanya kerajaan Anggalarang sampai ke telinga Prabu Haur Kuning. Sang Prabu lalu mengutus salah seorang kepercayaannya, yaitu Raden Sawung Galing, untuk membantu permaesuri. Dalam pencariannya, Raden Sawung Galing sempat menyaksikian pertunjukan kesenian yang belum pernah dilihatnya, yaitu ronggeng gunung.
Raden Sawung Galing mengenal Mama Lengser di pertunukkan ronggeng tersebut. Akhirnya ia memberitahukan bahwa dirinya adalah utusan dari Raja Galuh Pangauban. Dewi Rengganis kemudian dipersunting Raden Sawung Galing.
Bukti Arkeologis dan Etalase Kampung Budaya Sunda
Menurut penelitian Kuswandi dan Dwi Novi Carolin, asal mula kesenian Ronggeng Gunung juga diperkuat dengan ditemukannya bukti Arkeologis pada tahun 1997 berupa reruntuhan candi di Kampung Sukawening, Desa Sukajaya, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Pangandaran.
Masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan Candi Ronggeng, karena di lokasi Candi ditemukan Arca Nandi dan batu berbentuk kenong, goong kecil, serta dipercaya mempunyai kaitan erat dengan kesenian ronggeng gunung.
Fase berikutnya, sejumlah ronggeng ternama lahir dari Desa Cikalong, mulai Nyi Raspi, Nyi Tarsem, Nyi Kasem, dan Nyi Sadiah. Ronggeng Gunung Nyi Raspi bahkan pernah pentas di Bandung, tepatnya di Kebon Seni Bandung.
Desa Cikalong juga menarik perhatian Universitas Pasundan (Unpas), Bandung. Kampus ini berencana membangun Etalase Kampung Budaya Sunda di desa tersebut. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan (Unpas), Ade Priangani, mengatakan Etalase Kampung Budaya Sunda diharapkan menjadi tempat yang dapat memperkuat jiwa kesundaan agar tetap eksis di masyarakat.
Menurutnya, rencana tersebut mendapat dukungan penuh dari Dekan FISIP Unpas, M. Budiana. “Bahkan agenda ini masuk dalam Rencana Strategis FISIP Tahun 2022,” ujar Ade Priangani, mengutip laman resmi Unpas, Sabtu (11/12/2021).
Dalam istilah Sunda, membangun kampung baru disebut gonggong atau ngababakan (membuka kampung/daerah baru). Saat ini istilah tersebut mungkin sudah jarang terdengar, malah bisa jadi hilang dari peradaban kata dan bahasa Sunda.
Maka, pembangunan Etalase Kampung Budaya Sunda sekaligus sebagai implementasi dari istilah di dalam bahasa Sunda. Sebab, apabila hilang bahasanya, maka akan hilang pula bangsanya.
Rencana pembuatan Etalase Kampung Budaya Sunda tak lepas dari sejarah Desa Cikalong itu sendiri. “Masyarakat Desa Cikalong sampai sekarang masih memelihara dan menjaga budaya nenek moyang, seperti tradisi ngijabkeun atau tawasul sebagai bentuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah SWT,” sambungnya.
Ngijabkeun merupakan kearifan budaya sebagai cikal bakal pembentukan karakter masyarakat yang guyub, gotong royong, dan sabilulungan. Masyarakat Desa Cikalong memiliki daya juang sosial dan ekonomi yang diekspresikan dengan rasa syukur dalam dialektika dan tata cara masing-masing.
Tradisi menarik lainnya di Desa Cikalong yaitu Festival Budaya Nampaling. Festival ini diadakan setelah panen, sekitar Oktober-September. Nampaling adalah tradisi membasmi hama tanaman/menangkap belalang menggunakan alat bernama tampaling, lalu dimasukkan ke bakul (kembu).
“Membentuk Etalase Kampung Budaya Sunda di Desa Cikalong tak lain untuk mempertahankan dan memajukan budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Nantinya, Desa Cikalong diharapkan menjadi pusat peradaban budaya Sunda,” terangnya.
Ketua UPT Penguatan Visi Misi FISIP Unpas, Iwan Ridwan Zaelani sekaligus Kepala Desa Cikalong yang juga mengusulkan rencana ini siap membantu mewujudkan Etalase Kampung Budaya Sunda, didukung Ketua Paguyuban Pasundan Cabang Pangandaran, Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pangandaran, serta DPRD Jawa Barat.
“Mudah-mudahan ke depannya juga jadi perhatian Gubernur Jawa Barat serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” tutupnya.