• Literasi
  • Benang Merah Ajip Rosidi, Hasan Mustapa dan Pantun Sunda

Benang Merah Ajip Rosidi, Hasan Mustapa dan Pantun Sunda

KIBS III membahas Ajip Rosidi dan karya-karyanya, mulai dari dangding Hasan Mustapa, hingga juru pantun Sunda yang kini nyaris punah.

Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) III daring, Minggu (26/12/2021). Salah satu topik KIBS membahas Ajip Rosidi dan karya-karyanya. (Tangkapan layar KIBS daring)

Penulis Iman Herdiana26 Desember 2021


BandungBergerak.idBerbicara peran Ajip Rosidi pada kesusastraan Sunda sudah tidak bisa diperdebatkan lagi. Salah satu karya paling mutakhir Ajip Rosidi adalah buku Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana, buku hasil penelusuran yang panjang, mulai dari mendatangi komunitas yang mengagumi Hasan Mustapa di Garut, kemudian terbang ke Belanda dan Mesir.

Dibutuhkan energi sangat besar untuk menelusuri belasan ribu puisi dangding Hasan Mustapa. Tetapi energi yang sama dicurahkan Ajip Rosidi dalam melestarikan pantun-pantun Sunda. Sehingga tidak hanya karya pujangga besar seperti Hasan Mustapa yang ia perhatikan, pantun-pantun Sunda yang tersebar di pelbagai pelosok pun ia garap dengan menelusuri para juru pantun yang kini di ambang kepunahan.

Benang merah Ajip Rosidi dengan Hasan Mustapa dan pantun Sunda – berikut juru pantunnya – menjadi salah satu isu sentral yang dibahas dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) III yang digelar daring, Minggu (26/12/2021).

Ada dua narasumber KIBS III yang mengusung tema saling beririsan tentang Ajip Rosidi, yakni Jajang A Rohmana, mengangkat tema “Menjaga Khasanah Sastra Sunda: Kontribusi Ajip Rosidi terhadap Warisan Karya-karya Haji Hasan Mustapa”, dan Endin Saparudin yang membedah “Dokumentasi dan Transmisi Carita Pantun: Setelah Ajip Rosidi, Siapa Lagi?”.

Mengenai kontribusi Ajip Rosidi bagi khasanah sastra Sunda, menurut Jajang A Rohmana, hal itu dapat dilihat dari nama besar Ajip Rosidi sendiri sebagai sastrawan nasional yang juga banyak melahirkan karya dalam bahasa Sunda.

Khusus pada sastra Sunda, Jajang mengulas tentang upaya Ajip Rosidi dalam menggali karya-karya Hasan Mustapa. Ia menilai Ajip Rosidi berhasil membangkitkan kembali Hasan Mustapa sebagai pujangga yang pada era 60-an tak banyak dilirik.

Menurutnya, penggalian karya-karya Hasan Mustapa pada awalnya dilakukan Ajip Rosidi terkait dengan upayanya dalam melakukan pencairan jati diri. “Ajip Rosidi awalnya terkesan pada puisi dangdingnya. Berkaitan dengan pencarian jati diri Ajip Rosidi sendiri. Merasa menemukan jawaban dari puisi-puisi Hasan Mustapa,” kata Jajang, dalam KIBS III daring dengan moderator Cecep Burdansyah.

Ajip Rosidi, lanjut Jajang, merasa karya-karya Hasan Mustapa mampu menjawab kegelisahan batinnya. Hasan Mustapa sebagai pencerah. Salah satu puisi paling masyhur Hasan Mustapa yang dianggap Ajip Rosidi mencerahkan adalah:

sapanjang neangan kidul,

kaler deui kaler deui,

sapanjang neangan wetan,

kulon deui kulon deui,

sapanjang neangan aya,

euwueh deui euwueh deui.

(sepanjang mencari selatan. hanya utara kujumpa. sepanjang mencari timur. hanya barat kujumpa. sepanjang mencari ada. hanya tiada kujumpa (terjemahan: Jajang A Rohmana)). 

Melalui puisi tersebut, Hasan Mustapa berusaha menjawab tentang perdebatan soal keberadaan Tuhan—perdebatan yang Ajip Rosidi rasakan.

Jajang lalu meringkas garis besar pandangan Ajip Rosidi pada Hasan Mustapa, bahwa hingga kini belum ada sastrawan Sunda yang mampu menandingi karya-karya Hasan Mustapa. Ini karena puisi Hasan Mustapa sangat kaya akan perlambang.

Sebagai sastrawan, Hasan Mustapa juga ulama tasawuf. Kedalaman ilmu mistik Hasan Mustapa kemudian memperkaya dangding-dangdingnya. Makanya, Ajip Rosidi sangat ingin karya-karya Hasan Mustapa dikenal lebih luas lagi dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

“Ajip Rosidi merasa tidak ada puisi Sunda yang kualitasnya lebih tinggi dari puisi-puisi Hasan Mustapa,” katanya.

Di sisi lain, Ajip Rosidi memandang Hasan Mustapa adalah representasi dari manusia Sunda sejati, masagi ilmunya. Hasan Mustapa bisa disejajarkan dengan sufi atau mistikus lainnya, misalnya, Jalaluddin Rumi.

Meski demikian, Jajang melihat Ajip Rosidi tidak ikut mendalami tasawuf atau kebatinan. Menurut Jajang, hal itu bisa jadi karena Ajip Rosidi tidak tidak memiliki latar belakang pesantren, walaupun ia pernah belajar tarekat pada seorang kiai.

Pada perkembangan berikutnya, Ajip Rosidi banyak bergaul dengan Islam modernis yang corak pemikirannya mengedepankan rasionalitas.  

“Ketika bersentuhan dengan kalangan modernis, terutama aktivis Masyumi, jadi cara berpikirnya menjadi lebh rasional. Tapi bukan berarti Ajip Rosidi tidak lagi kagum pada Hasan Mustapa,” ungkap Jajang.

Baca Juga: Menggali Warisan Ajip Rosidi
ameran Haus Buku 2 di Perpustakaan Ajip Rosidi, Menjual Buku Lawas dan Baru
BUKU BANDUNG (25): Si Pucuk Kalumpang, Dongeng Sunda Buhun dari Ajip Rosidi

Ajip Rosidi dan Juru Pantun

Seperti telah disinggung, Ajip Rosidi memiliki perhatian yang kuat terhadap pantun Sunda. Menurut Endin Saparudin yang juga meneliti juru pantun di Kanekes, sejak tahun 70-an hingga kini sudah tidak ada lagi upaya pendokumentasian pantun-pantun Sunda dari juru pantun langsung, pascameninggalnya Ajip Rosidi.

Di antara para peneliti pantun, Endin mengatakan Ajip Rosidi yang paling banyak melakukan pendokumentasian dan publikasi pantun-pantun Sunda. Ajip Rosidi berhasil mengumpulkan 30 cerita pantun dari 14 juru pantun yang ia undang untuk direkam.

Masing-masing juru pantun rata-rata menyampaikan pantun selama tiga jam, dan Ajip Rosidi merekamnya dengan perangkat pita rekaman yang tentunya belum secanggih sekarang.

Endin juga melakukan penelitian yang sama dengan merekam cerita juru pantun selama 3 jam. “Saya merekam 3 jam butuh mentranskrip lebih dari 2 minggu, dengan bantuan digital saat ini. Saya tidak bisa membayangkan bagiamana Ajip Rosidi waktu dulu menggunakan rekorder pita,” katanya.

Dari 30 cerita pantun yang didokumentasikan Ajip Rosidi, sebanyak 20 cerita dipublikasikan. Sisanya terkendala masalah teknis, seperti terkendala izin dari tukang pantunnya, bahasa atau jalan cerita yang tidak jelas, kosa kata yang terlalu tua dan sulit dicarikan padannya ke dalam bahasa Sunda kekinian, dan lain-lain.

Mengenai izin dari juru pantun ini, Endin menuturkan suatu cerita pantun tidak bisa sembarangan diceritakan. Sebagai contoh, pantun Lutung Kasarung disakralkan oleh juru pantun dari Ujung Berung. Tetapi bagi juru pantun di Kanekes, cerita Lutung Kasaung bisa mudah diceritakan.

Satu hal lagi, Ajip Rosidi sangat memperhatikan penelitian pantun dan kehidupan juru pantunnya. Sementara kebanyakan peneliti hanya meneliti teks-teks pantunnya saja. Padahal bagi Ajip Rosidi, penelitian teks di dalam pantun sama pentingnya dengan meneliti teks yang ada di luar pantun, yakni pada kehidupan para juru pantunnya.  

Sebab, pantun memiliki unsur pertunjukkan atau ritual. Pada orang Kanekes, pantun menjadi bagian dari ritual yang terkait erat dengan pertanian huma.

Selain Jajang A Rohmana dan Endin Saparudin, KIBS III sesi ke-10 itu juga menghadairkan dua narasumber lainnya, yaitu Atep Kurnia membahas makalah bertajuk “Belok Kiri (Tidak) Jalan Terus: Hayat dan Karya Aktivis Pergerakan dan Pengarang Sunda Achmad Bassach (ca. 1894-1929)”, dan Lungguh Ariang Bangga membahas “Sundanese relational clauses: a systemic functional linguistics”.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//