NGALEUT BANDUNG: Himpunan Saudara Jawa di Tanah Sunda
Dalam pelariannya di Bandung, sebagian prajurit Pangeran Diponegoro merintis usaha batik, menjadi saudagar besar, lalu sukses mengembangkan Himpunan Sudara.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
31 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Saat itu hari Minggu, 28 Oktober 1830. Bulan puasa baru saja berlalu. Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa, ditangkap dalam perundingan yang diadakan di kediaman Residen Magelang. Maka berakhirlah perang besar yang telah berlangsung selama lima tahun ini.
Lalu, apa yang terjadi pada bekas kombatan pasukan Diponegoro? Ternyata, sebagian dari mereka menyingkir ke Bandung dan memulai usaha yang di kemudian hari terus membesar.
Dari Jawa ke Tanah Sunda
Seusai Perang Jawa, salah satu senapati laskar Pangeran Diponegoro bernama R. Endrokoesoemo yang berasal dari kampung Settu, Demak, melarikan diri ke Bandung, sebelum kemudian kembali ke kampung halamannya. Endrokoesoemo merupakan putra seorang pemuka agama di Demak bernama R. Adipati Tjokro Winokoesoemo. Ia meninggalkan Settu untuk bergabung dengan pasukan Diponegoro di Magelang pada awal Perang Jawa berkobar tahun 1825.
Selama masa pelariannya, Endorokoesoemo merasa selalu diikuti oleh polisi Belanda sehingga memutuskan untuk meminta perlindungan kepada Kyai Demang Singarangi. Ketika dalam masa perlindungan inilah, Endrokoesoemo menikah kembali dan setelah pergi haji, mengganti namanya menjadi Haji Hoesen. Perubahan indentitas ini mungkin bertujuan untuk menghilangkan jejak dari pantauan polisi rahasia Belanda.
Kisah pelarian senapati dalam pasukan Diponegoro ini dituliskan oleh Syamsuri dalam buku Himpunan Silsilah (Stamboom) Keluarga Pasar Baru Bandung (1971), berdasarkan keterangan tertulis dari Dadang Sukri yang memperoleh kisah ini dari H. Abdoelbasah pada tahun 1937.
Dadang Dachmir, yang merupakan salah satu keturunan keluarga Pasar Baru Bandung, kemudian menuliskan kisah yang mendukung cerita tadi, yakni bahwa salah seorang senapati dalam pasukan Diponegoro masuk ke Bandung untuk menjadi pedagang di lingkungan Pasar Baru setelah sebelumnya menanggalkan identitas gelar kebangsawanannya di daerah Plered, Cirebon. Cerita mengenai keluarga Pasar Baru ini kemudian dimuat sebagai artikel dalam surat kabar lokal Jawa Barat pada tahun 1984-1985. Kisah yang sama kemudian dikutip dalam beberapa buku yang menjelaskan mengenai asal-usul "urang pasar", di antaranya adalah Semerbak Bunga di Bandung Raya dan Bank Saudara 1906-2006.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Tuan Tan Djin Gie, Tanah Harapan, dan Tragedi Keluarganya
NGALEUT BANDUNG: “Di-Yasin-kanâ€
NGALEUT BANDUNG: Preanger Planters Kumpulan Orang Gagal
Dari Panglima Perang Menjadi Pedagang
Menurut R. Moech. A. Affandie dalam bukunya Bandung Baheula Djilid I (1969), bekas prajurit Diponegoro yang melarikan diri dari daerah Jawa Tengah setelah Pangeran Diponegoro ditangkap kemudian menjadi pedagang barang batikan dengan sistem “mandoran". Para pedagang tersebut akan membeli barang dagangannya ke daerah-daerah di Jawa Tengah, seperti Mataram (Solo), Kaliwungu, Pekalongan, Lasem, Jogjakarta, Banyumas, dan Gresik.
Mereka biasanya pergi berbelanja dalam rombongan seperti kafilah pedagang di zaman Nabi untuk mencegah gangguan keamanan di jalan. Mengutip informasi dari buku “Gedenkboek vereeniging Himpoenan Soedara 1906-1936”, besarnya modal dagang yang harus dikeluarkan saat berbelanja paling sedikit sebesar f 20.000 karena pembelian barang dagangan sebelum tahun 1906 harus dibayar secara kontan.
Sebelum Bandung memiliki Pasar Baru di awal abad ke-20, setelah terbakarnya Pasar Ciguriang karena kerusuhaan Munada di pertengahan abad ke-19, para pedagang menjual barang dagangannya di sepanjang Pangeran Sumedangweg, atau sekarang Jalan Oto Iskandar di Nata. Selain di daerah sekitar Pasar Baru, para pedagang barang batikan "mandoran" tadi akan menjajakan barang dagangannya ke daerah-daerah sekitar Bandung, seperti Cimahi, Soreang, Banjaran, Ciparay, Majalaya, Cicalengka, Ujungberung, Lembang, dan Padalarang.
Selain dengan sistem mandoran, barang batikan juga dijual dengan sistem komisi. Para padagang batik yang beberapa perintisnya adalah bekas pengikut Pangeran Diponegoro kemudian menguasai perniagaan di Pasar Baru Bandung, khususnya barang batikan dengan menjadi pedagang grosiran atau pedagang besar.
Kondisi Pasar Baru Bandung sekitar tahun 1906 masih sangat sederhana. Kios dan rumah toko yang berada di pinggir jalan besar masih berupa bangunan bertiang kayu dan bambu. Tempat berjualan para pedangang batik belum teratur.
Lambat laun Bandung menjadi pusat perniagaan batik, dan banyak pedagang dari luar daerah, seperti Cianjur, Sukabumi, Bogor, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis datang berbelanja barang batikan. Kemajuan perniagaan batik kian pesat setelah rute kereta api ke Bandung dibuka sehingga berimbas pada peningkatan taraf ekonomi para pedagang batik yang memiliki sebutan baru "saudagar Bandung" selain julukan lain yaitu "urang pasar".
Para saudagar Bandung itu lalu menguasai aset tanah di sekitar Pasar Baru. Sebutlah keluarga H. Pahroeradji, M. Masdoeki, H. Syarif, H. Idris, H. Oemar Kadar, H. Ayoeb, H. Pagieh, H. Achsan, dan H. M. Boekri yang memiliki tanah-tanah di seputar Pasar Baru dan Suniaraja. Selain di kedua kawasan itu, properti keluarga para saudagar pasar tersebar tersebar di penjuru kota Bandung, seperti daerah Kebon Kawung, Kresna, Wastukancana, dan Sudirman.
Selain saudagar Bandung yang memiliki latar belakang dari suku Jawa Tengah, kemudian datang pula pedagang perantau dari Palembang. Beberapa yang terkenal adalah Ki Agus H. Anang Thayib, Ki Agus Abdul Syukur, Ki Agus M. Thamim, dan Kiagus Asep Abdullah bin Kiagus Haji Abdul Syukur (Asep Berlian).
Bisa disebutkan bahwa ketika itu, di awal abad ke-20, para saudagar Bandung adalah para pedagang yang terkemuka.
Dari Kelompok Kecil ke Perkumpulan Besar
Pada tahun 1906, 10 orang saudagar pasar, yaitu H. Basoeni, H. Domiri, H. Bajoeri, M. Marta, R. Wargadipradja (R. H. Djoewaeni), H. Domiri, H. Maksoedi, Basar, Jahja Adiwinata, Oenoed (H. Hoetomi), dan Kasah (H. Boekri), yang beberapa di antaranya masih memiliki hubungan saudara sebagai "rehrehan urang pasar" (keluarga pasar), mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Himpoenan Soedara (H.S.). Pendirian perkumpulan ini bermula dari obrolan antara H. Basoeni, H. Domiri, dan H. Bajoeri. Mereka hendak memajukan perdagangan dengan mengikat para saudagar batik dalam satu perkumpulan, semacam kongsi dagang mirip dengan Sarikat Dagang Islam, perkumpulan yang didirikan setahun sebelumnya di darah Surakarta oleh para saudagar batik Laweyan.
Dalam buku peringatan 100 tahun Himpunan Saudara yang diberi judul Bank Saudara 1906-2006, dikisahkan bahwa keinginan untuk memenuhi kecukupan modal usahalah yang mengawali ikhtiar para saudagar tadi untuk mendirikan sebuah kongsi dagang.
Usaha untuk mengumpulkan modal kegiatan usaha ini dilakukan dengan cara mengharuskan anggota perkumpulan menyimpan dananya dengan jumlah tertentu dan dengan syarat tidak bisa diambil selama lima tahun. Modal yang terkumpul kemudian digulirkan di antara anggota. Contohnya terjadi pada tahun 1907 ketika H. Basoeni meminjam dana dari Himpunan Sudara untuk modal membeli barang-barang kulit dari Solo. Ia kemudian mengembalikan dana tersebut dengan disertai bunga.
Dana Himpunan Sudara semakin lama menjadi semakin besar sehingga dapat digunakan tidak hanya untuk modal usaha, tapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Dialokasikan juga dana untuk sumbangan kematian, pengobatan, dan dana musibah.
Himpunan Sudara semakin lama menjadi perkumpulan yang besar, baik dari sisi jumlah dana maupun anggotanya. Sejak tahun 1909, keanggotaan tidak lagi dibatasi sehingga banyak pedagang pasar lainnya ikut mendaftar. Dari perkumpulan kongsi dagang, Himpunan Sudara berubah menjadi usaha simpan-pinjam (mutual savings).
Kebutuhan perkumpulan yang semakin besar akhirnya menuntut kejelasan legalitas. Pengajuan status badan hukum memperoleh izin dari pemerintah kolonial dengan nama Vereeniging Himpoenan Soedara pada tanggal 4 Oktober 1913 dengan keluarnya Governement Besluit No. 33.
Pada masa awal berdirinya, Himpunan Saudara dipimpin oleh H. Bajoeri sebagai ketua yang pertama. Perkumpulan ini kemudian berada di puncak keberhasilan saat berada di bawah kepemimpinan M. Masdoeki yang menjabat sejak 1919 hingga tutup usia pada tahun 1965.
Pada masa kepemimpinan M. Masdoeki, jumlah anggota Himpunan Sudara mencapai angka seribu orang pada tahun 1929. Hal ini dikarenakan syarat keanggotan yang semula harus pedagang dihilangkan. Perlu dicatat, di awal berdirinya Himpunan Sudara menetapkan syarat keanggotan yang mirip dengan Serikat Dagang Islam di Solo, yaitu pedagang dan beragama Islam.
Membengkaknya jumlah anggota Himpunan Sudara, dari hanya 62 orang pada tahun 1919 menjadi 736 orang di akhir tahun 1935, berimbas pula pada naiknya kas, dari f 2.640 pada tahun 1919 menjadi f 308.568,50 di akhir tahun 1935. Dengan jumlah kas yang banyak, Himpunan Sudara telah menjadi perserikatan atau perkumpulan dagang yang besar di Bandung, dengan aset tanah dan gedung kantor yang megah terletak di Moskeeweg (sekarang Jalan Dalem Kaum). Padahal di awal pendiriannya, perkumpulan ini menyewa sebuah ruangan di Gedung Societeit Merdika di Jalan Kebonjati dan sempat pula menyewa sebuah rumah di Achter-Pasarstraat (Jalan Belakang Pasar).
Maka bukanlah satu hal yang mengejutkan jika pada peringatan 30 tahun Himpunan Sudara, perayaan diselenggarakan secara meriah selama dua malam berturut-turut, yakni pada tanggal 18 dan 19 April 1936. Sekitar seribu orang datang. Beberapa tokoh penting yang turut hadir di antarannya, Bupati Bandung R. A. A. Wiranatakusumah V dan Ketua Pengurus Besar Paguyuban Pasundan R. Oto Iskadar di Nata.
Kemeriahan perayaan 30 tahun Himpunan Sudara ini kemudian diawetkan dalam sebuah buku peringatan berjudul “Gedenkboek Vereeniging Himpoenan Soedara 1906-1936” yang sebagian isinya berupa tulisan ucapan dan penghargaan kepada Himpunan Saudara dari tokoh-tokoh di kota Bandung seperti sesepuh Bandung, D. K. Ardiwinata dan Walikota (Burgemeester) Bandung, J. M. Wesselink. Semua ini membuktikan bahwa perhimpunan (vereeniging) Himpunan Sudara telah diakui eksistensinya di kota Bandung.
Kisah perkumpulan Himpuan Sudara kiranya sesuai juga dengan cita-citanya: “Bibirintik, tut saeutik, geus gede ngan kari make” atau “Berhemat, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Bermula dari perkumpulan kecil yang terdiri dari beberapa orang saudagar pasar, Himpunan Sudara menjadi perkumpulan yang besar di Bandung.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG, yang terbit tiap Selasa, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut