• Buku
  • BUKU BANDUNG (25): Si Pucuk Kalumpang, Dongeng Sunda Buhun dari Ajip Rosidi

BUKU BANDUNG (25): Si Pucuk Kalumpang, Dongeng Sunda Buhun dari Ajip Rosidi

Buku Si Pucuk Kalumpang berisi dongeng tentang anak yang tak dikehendaki orang tuanya. Sebagaimana dongeng umumnya, ada bumbu fantasi di dalamnya.

Buku Si Pucuk Kalumpang, penulis: Ajip Rosidi, cetakan ke-5 tahun 2019. (Foto: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana5 Desember 2021


BandungBergerak.idDi sebuah kampung terpencil pada zaman suatu kerajaan, hiduplah petani bernama Ki Waruga dan istrinya, Ambu Waruga. Kondisi mereka serba kekurangan. Mereka punya tanah garapan, tetapi tidak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari.

Jika musim paceklik, para penduduk kampung, terutama laki-laki, banyak yang kuli ke kota. Lahan di kampungnya yang tidak begitu subur, tak bisa diandalkan untuk membendung paceklik. Dengan berangkat ke kota, diharapkan warga kampung bisa terus menyambung hidup.

Ki Waruga termasuk warga yang selalu pergi ke kota manakala paceklik tiba. Ia hendak berangkat ke kota meninggalkan Ambu Waruga yang hamil tua. Ambu Waruga tidak setuju dengan ide suaminya, apalagi ia harus tinggal seorang diri di rumahnya.  

“Ari ceuk kuring mah, leuwih hade ulah nyaba ka mamana, Ka...” omong Ambu Waruga. “Ku kitu ku kie, mending ngariung di imah.”

“Ari manehna sok ngaco!” tembal Ki Waruga. “Ngariung di imah mah apan batan sakieu! Meureun urang duaan moal barang dahar!”

“Atuda kuring keueung, mangkaning beuteung bureuyeung...” walon Ambu Waruga.

Tetapi Ki Waruga semakin tinggi nada suaranya karena tak biasa didebat oleh istrinya. Ia mulai marah dan membentak-bentak Ambu Waruga. Intinya, dia tetap harus pergi ke kota untuk mencari sesuap nasi.

Jika suaminya sudah marah, Ambu Waruga tak bisa apa-apa selain menangis. Tak terbayang bagaimana ia harus melahirkan jabang bayi ketika suaminya selagi di kota. Sementara Ki Waruga yakin dengan cara pergi ke kota, ia akan mendapat penghasilan untuk menghidupi istri dan anaknya.

Satu hal yang bikin Ambu Waruga semakin sedih. Suaminya, memiliki hobi sabung ayam. Ayam jagonya dinamai si Jelug. Ayam ini sangat dimanja dengan pakan ikan dan daging, sehingga tubuhnya tinggi dan besar, ia pun selalu juara dalam setiap pertarungan.  

Sebelum pergi, Ki Waruga mewanti-wanti kepada Ambu Waruga agar anak yang dikandungnya sebaiknya laki-laki yang kelak akan berguna membantu orang tua. Ki Waruga tidak mau punya anak perempuan. Jika selama dirinya berada di kota, kemudian Ambu Waruga melahirkan anak perempuan, maka sebaiknya anak tersebut dijadikan pakan untuk si Jelug.

“Yeuh, meunggeus montong ceurik!” ceuk Ki Waruga, kepada Ambu Waruga yang terus menangis. “Anggur regepkeun papatah kami: Lamun budakna lalaki, masing geten ngurusna. Ulag gagabah! Sing sehat jeung gancang ngagedean, sangkan bisa mantu-mantu kami. Tapi lamun awewe, tong rea omong, paehan bae. Dagingna bikeun ka si Jelug, ambeh rosa. Keur nanahaon budak awewe! Paling-paling ngan nambahan karipuh, da sungut nu kudu diparaban nambahan. Kabisa ngan leweh!”

Tetap sebuah Dongeng

Buku Si Pucuk Kalumpang, sebagaimana dijelaskan anak judulnya, merupakan dongeng buhun Sunda yang diceritakan kembali secara modern oleh Ajip Rosidi. Dongeng ini berbentuk novelet, lebih panjang dari cerpen, yang terdiri dari 44 halaman. Cukup dibaca dalam sekali duduk.

Si Pucuk Kalumpang merupakan salah satu buku lawas Ajip Rosidi yang bergenre fiksi. Cetakan pertamanya terbit pada 1964 ketika Indonesia masih ada di zaman Orde Lama. Sebuah dongeng umumnya ditujukan kepada anak-anak. Namun jika menyimak dialog dan jalan ceritanya, dongeng Ajip ini terkesan lebih cocok untuk orang dewasa.

Tetapi itu hanya kesan. Sebab yang namanya dongeng berlaku untuk semua umur. Memang ada adegan kekerasan, bahkan terasa sadis, tetapi pengaranya berhasil mengemasnya dengan gaya dunia dongeng yang teatrikal.

Dikisahkan bahwa Ki Waruga membuat tangga bambu dengan anak tangga terbuat dari golok-golok tajam. Si Pucuk Kalumpang—demikian nama anak yang dilahirkan Ambu Waruga—yang telah tumbuh menjadi gadis dewasa, harus meniti tangga terbuat dari golok-golok tajam itu, di bawah ancaman Ki Waruga.

Sementara si Jelug begitu gembira karena ia akan menerima tumbal daging segar dari seorang gadis. Si Jelug siap pesta pora, lantas berkokok.

“Blak! Blak! Kongkorongong!

Tacan dahar daging orok!

Nu enggeus mah bali wungkul!

Jeung tali ari-arina wungkul!

Orok n amah dibawa ka kidul!

Nini Paraji jema gejul!”

Si Pucuk Kalumpang mulai menetekan kakinya ke atas anak tangga pertama. Tetapi baru saja ia memanjat, kakinya langsung terluka. Bahkan sampai terpenggal. Ketika melihat darah mengucur, si Pucuk Kalumpang bertanya kepada ibunya:

“Ema, Ema!

Nu nyaah lain ceuk beja!

Na naon nu beuteum-beureum

Dina suku mani euceuy?”

Adegan-adegan yang penuh kekerasan tersebut jadi terasa tidak menteror karena dibalut dengan fantasi dan dialog berima. Bahkan kokok ayam pun terbaca seperti sajak.

Sayangnya, tidak dijelaskan dari mana asal usul dongeng Sunda buhun ini, mengingat judul bukunya menyatakan bahwa dongeng Si Pucuk Kalumpang “dicaritakeun deui kalayan modern” oleh Ajip Rosidi.

Dari ide-ide ceritanya, dongeng tersebut memang terasa sangat lawas. Misalnya mengenai orang tua yang lebih menyukai anak laki-laki daripada anak perempuan, di mana kisah ini juga muncul pada cerita para nabi.

Demikian pula mengenai suami yang menguasai perempuan sebagaimana Ki Waruga yang menguasai Ambu Waruga, yang merupakan ide lawas yang lazim dipraktikkan pada masa feodal atau bahkan sebelumnya. Walaupun di zaman sekarang pun budaya kuasa laki-laki terhadap perempuan ini masih tampak, seperti terlihat pada maraknya kasus kekerasan seksual pada perempuan akhir-akhir ini.

Tentang Ajip Rosidi

Buku dongeng Si Pucuk Kalumpang juga memuat riwayat singkat Ajip Rosidi, budayawan yang meninggal dunia 29 Juli 2020 lalu. Ajip Rosidi lahir di Jatiwangi, 31 Januari 1983. Buku pertamanya berjudul Tahun Kematian yang terbit tahun 1955. Sejak itu karyawanya terus terbit baik dalam bahasa Sunda, Indonesia, maupun diterjemahkan ke dalam bahasa asing.

Dari riwayat singkat itu pula diketahui bahwa Ajip Rosidi merupakan penulis produktif. Ia menulis fiksi, kritik sastra, esai, memoar, dan lain-lain. Karena produktivitasnya itu, ia diganjar banyak penghargaan, antara lain hadiah sastra oleh Badan Musawaratan Kebudayaan Nasional, The Order of Sacred Treasure, Gold Rays with Neck Ribbon oleh pemerintah Jepang, peraih Hadiah Professor Teeuw dari pemerintah Belanda, dan lain-lain.

Ia juga membidangi sejumlah media cetak, seperti Suluh Pelajar (1953-1955), pimred Prosa  (1955), pimred Madjalah Sunda (1965-1967). Sejak 1989, ia menjadi guru besar di Universitas Osaka, Jepang. Selain banyak menerima penghargaan, Ajip juga konsisten memberikan penghargaan Sastra Rancage—penghargaan yang masih berlanjut hingga kini.

Tahun 2000, karya monumentalnya diterbitkan Dunia Pustaka Jaya, yaitu Ensiklopedi Sunda, setelah melewati penyusunan selama 10 tahun.

Informasi Buku

Judul: Si Pucuk Kalumpang

Penulis: Ajip Rosidi

Penerbit: PT Kiblat Buku Utama, Bandung

Cetakan: V, 2019

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//