• Opini
  • Toxic Masculinity Membutakan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual

Toxic Masculinity Membutakan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual

Toxic masculinity yang merupakan tekanan berlebihan psikologi, lingkungan, dan budaya untuk bersikap agresif secara seksual, telah menjadi budaya di Indonesia.

Vhanya Trimardian Novianadara

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Infografis kekerasan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2008-2020. (Desain: Sarah Ashilah, Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 Juli 2022


BandungBergerak.idNilai maskulinitas dan feminitas tradisional tengah dilanda perubahan. Satu indikasinya dapat dilihat dari munculnya momentum Hari Antihomophobia Internasional. Peringatan ini menjadi bukti perubahan tersebut, walaupun banyak yang memprotes tidak bisa disangkal bahwa perubahan tetap terjadi.

Kita bisa mengingat reaksi penolakan terjadi ketika Kedutaan Besar Inggris melakukan pengibaran bendera LGBT pada tanggal 18 Mei 2022. Tujuan dari pengibaran bendera LGBT untuk memperingati hari Antihomophobia Internasional yang diperingati pada tanggal 17 Mei. Mayoritas yang memprotes berasal dari umat beragama di Indonesia.

Sulit diterimanya perubahan nilai-nilai maskulinitas dan feminitas yang tradisional di Indonesia, berimbas pada hak-hak korban yang tidak terlindungi. Salah satunya hak-hak korban dari perlindungan kekerasan dan pelecehan seksual yang disebabkan oleh pria atau yang berkorban pria. Hak-hak korban yang terabaikan disebabkan tekanan berlebihan dari psikologi, sosial, dan budaya untuk bersikap dengan “seharusnya”. Dalam kasus ini “seharusnya” memiliki arti pria untuk bersikap kuat, berani, tidak menunjukan emosi, agresif secara seksual dan berkuasa, atau dapat disebut sebagai toxic masculinity. Lalu apa saja dampak yang disebabkan oleh toxic masculinity? Mengapa toxic masculinity menyebabkan ketidakadilan pada korban kekerasan atau pelecehan seksual?

Membudayanya Toxic Masculinity di Masyarakat

Lingkungan sosial patriarki seperti di Indonesia rentan lahirnya toxic masculinity, yang menganggap kedudukan pria lebih tinggi daripada kedudukan perempuan. Dampaknya bukan hanya pada pria yang mengalami ekspektasi yang berlebihan tetapi berdampak juga pada perempuan yang sering menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual, karena posisinya lebih direndahkan. Penyebab dari adanya toxic masculinity adalah faktor sosial yang mengajarkan perbedaan gender tradisional. Dimulai dari lingkungan  keluarga, kelompok bermain, sekolah dan media massa.

Sifat maskulinitas terhadap anak laki-laki dan sifat feminitas terhadap anak perempuan sudah ditanamkan oleh keluarga melalui pembelajaran gender sejak dini (gender learning), sesuai dengan peran kehendak dari lingkungan sekitar (gender role). Perlakuan yang diterima oleh anak laki-laki cenderung berbeda dibandingkan dengan anak perempuan.

Dimulai dari mainan yang diberikan, mainan anak laki-laki yang menonjolkan sisi maskulin seperti mainan konstruksi, robot atau mobil remot, sedangkan mainan untuk anak perempuan menonjolkan sisi feminim yang lemah lembut seperti boneka, mainan memasak atau mainan alat kecantikan; perbedaan terjadi juga pada perlakuan sikap orang tua dan kerabat terhadap anak, perlakuan kepada anak perempuan lebih dimanja dibandingkan dengan anak laki-laki. Perbedaan-perbedaan perlakuan ini tanpa disadari menanamkan pengertian toxic masculinity kepada anak-anak yang menggambarkan anak laki-laki harus bersikap kuat, berani dan tidak boleh menunjukan emosinya.

Kelompok bermain merupakan salah satu faktor sosial yang berperan besar dalam membentuk perilaku dan sikap. Di dalam kelompok sosial terdapat pemisahan golongan antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan atau yang disebut segregasi. Selain segregasi, pada kelompok bermain terdapat kontrol sosial. Berbeda dengan segregasi, pada kontrol sosial terdapat pengasingan yang dilakukan kelompok jika terjadi penyimpangan dari anggota kelompok. Contoh seorang kelompok dari laki-laki yang lebih suka bermain boneka atau berperilaku selayaknya perempuan akan diasingkan dan dicap “banci” oleh kelompoknya, begitu pun sebaliknya; pada perempuan yang berperilaku mirip seperti anak laki-laki cenderung diasingkan oleh sesama kelompok anak perempuan, dan dicap “tomboy”. Segregasi dan kontrol sosial pada kelompok bermain cenderung memperkuat nilai-nilai maskulinitas dan feminitas tradisional.

Klasifikasi gender yang dilakukan sistem pendidikan formal atau sekolah, melalui kurikulum dan perlakuan-perlakuan guru. Melalui kurikulum formal “peran” siswa dengan “peran” siswi sudah mulai diarahkan sesuai kehendak lingkungan sosial. Contoh sederhana pada pelajaran jasmani, siswa disuruh melakukan olahraga yang lebih berat dibandingkan siswi. Sama dengan lingkungan keluarga, perlakuan guru pada siswi berbeda berbeda dengan perilaku terhadap siswa, bahkan sikap siswa lebih ditoleransi daripada sikap siswi. Semakin terbentuknya “peran” oleh sekolah, mulai ditanamnya sikap toleransi terhadap perilaku siswa. Sikap toleransi ini mengarahkan pada sikap normalisasi masyarakat terhadap perilaku-perilaku tercela yang dilakukan pria.

Produk-produk yang dihasilkan oleh media massa tulis maupun elektronik seperti pemberitaan, cerita fiksi dan iklan mengandung stereotip gender. Iklan yang berhubungan dengan kendaraan misalnya kebanyakan diperankan oleh pria, sedangkan iklan yang berhubungan dengan rumah tangga kebanyakan diperankan oleh perempuan. Peran-peran perempuan pada produk media massa cenderung lebih rendah dibandingkan dengan posisi yang diperankan pria. Pasalnya melalui media massa telah menunjukan superioritas pada pria yang dapat mengarahkan pada toxic masculinity.

Berdasarkan faktor-faktor sosial klasifikasi gender di atas, dapat disimpulkan bahwa dari sejak dini, anak telah ditanamkan “peran” dan “perilaku” sesuai gender menurut perspektif pandangan masyarakat. Pertama klasifikasi gender berasal dari keluarga, diperkuat di kelompok bermain, sekolah, dan media massa. “Peran” dan “perilaku” yang diberikan sejak kecil dapat berubah menjadi tekanan berlebihan yang dapat berdampak fatal untuk diri, atau bahkan dapat berdampak pada masyarakat yang menormalisasi suatu kekerasan atau pelecehan seksual seperti pada kasus nyata dari toxic masculinity.

Dampak yang Disebabkan oleh Toxic Masculinity

Kasus pemerkosaan yang terjadi di Probolinggo, Jawa Timur, pada seorang pria berinisial FU (16) oleh wanita berinisial DAP (28) setahun yang lalu menjadi salah satu contoh dari toxic masculinity. Mirisnya kasus ini menjadi bahan candaan karena korbannya pria. Contoh lain adalah terjadi kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dinormalisasikan dan dianggap sebagai salah satu cara “mendidik istri”. 

Selain dari dampak ekstrim di atas, terdapat dampak mental yang berasal dari dalam diri pria yang tertekan oleh toxic masculinity, seperti depresi atau memiliki merasa superioritas dari perempuan. Dampak mental merupakan tahap awal dari dampak-dampak yang ekstrim. Seperti tidak boleh menangis atau mengeluh, membuat pria untuk menahan emosi yang dapat menyebabkan depresi dan berakhir dengan kekerasan. Dituntut harus kuat dan tidak masalah bersikap kasar menyebabkan muncul perasaan superior yang tidak disadari dan dapat berakhir pada kekerasan dan pelecehan seksual. Tentu saja dampak mental masih dianggap sepele dan dampak yang ekstrim dinormalisasikan oleh masyarakat.

Permasalahan utama bukan berada pada jenis kelamin korban maupun pelaku, tetapi pandangan masyarakat yang membenarkan kekerasan dan pelecehan seksual beralasan jenis kelamin. Masyarakat mengabaikan fakta-fakta bahwa telah terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual dan mengabaikan mental korban, bahkan sering terjadi korban yang disalahkan dan pelaku dimaklumi. Pasti sering mendengar kalimat-kalimat seperti ini:“pantesan selingkuh, emang perempuannya aja gatel”, “jadi laki-laki jangan cemen harus bisa ngelawan”, atau “wajarlah namanya juga laki-laki ….”.

Baca Juga: Menagih Peran Negara Menangani Kekerasan Seksual
Menghapus Kekerasan Seksual di Kampus dengan Sekolah
Alfanya Pasal Hukum bagi Pelaku Pelecehan Seksual Fetish

Korban yang tidak Terlindungi

Kasus pemerkosaan terhadap pria marak dibicarakan beberapa waktu lalu, yang terjadi di Manchester Inggris. Pemerkosaan telah lama dilakukan oleh pelaku yakni dari tanggal 1 Januari 2015 sampai 2 Juni 2017, diketahui telah dilakukannya 159 pemerkosaan dengan 48 korban, dari bukti yang dikumpulkan, hakim memutuskan untuk dijatuhi penjara seumur hidup. Berbeda jika kasus tersebut terjadi di Indonesia, karena pada undang-undang yang berlaku di Indonesia hanya mengatur pemerkosaan terhadap wanita, seperti yang tercantum pada Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Peraturan yang dapat digunakan adalah perbuatan cabul karena tidak menentukan jenis kelaminnya seperti pada Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berisi

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dihukum karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana selama-selamanya sembilan tahun”.

Kasus tersebut merupakan contoh dari toxic masculinity yang menganggap bahwa pria tidak dapat menjadi korban kekerasan seksual. Pada zaman Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918, pengertian gender masih tradisional, dapat dimengerti jika isinya tidak sesuai dengan zaman modern, tetapi tidak terdapat undang-undang baru yang mengatur kekerasan seksual pada pria menandakan bahwa toxic masculinity masih kuat dampaknya di negara Indonesia.

Konklusi

Toxic masculinity yang merupakan tekanan berlebihan psikologi, lingkungan dan budaya untuk bersikap gagah, berani, kuat, dan agresif secara seksual telah menjadi budaya pada negara Indonesia. Toxic masculinity yang telah menjadi budaya terjadi karena adanya faktor-faktor sosial mengenai klasifikasi gender pada usia dini.

Dampak yang terjadi dari toxic masculinity membahayakan diri dan orang lain, dampaknya dapat berakhir pada kekerasan dan pelecehan seksual. Dampak yang paling berbahaya adalah normalisasi masyarakat kepada peristiwa-peristiwa tertentu bahkan sampai menyalahkan korban. Menyikapi toxic masculinity dengan bijaksana tidak mudah, tetapi bisa dimulai dari tidak menormalisasi segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual dan tidak memberikan tekanan terhadap anak mengenai gender.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//